JAKARTA, KOMPAS — Dorongan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi untuk mengembangkan perkara pengadaan kartu tanda penduduk elektronik ke ranah tindak pidana pencucian uang terus muncul.
Oleh
Riana A Ibrahim
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Dorongan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi untuk mengembangkan perkara pengadaan kartu tanda penduduk elektronik ke ranah tindak pidana pencucian uang atau TPPU terus muncul. Sementara itu, bekas Ketua DPR Setya Novanto tidak kunjung melunasi uang pengganti sesuai dengan vonis pengadilan.
Berdasarkan putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta pada 24 April 2018, Novanto dijatuhi pidana 15 tahun penjara dan denda Rp 500 juta subsider 3 bulan kurungan. Novanto juga diperintahkan membayar uang pengganti senilai 7,3 juta dollar AS atau setara Rp 101,98 miliar dikurangi Rp 5 miliar yang telah dititipkan kepada penyidik KPK.
Hingga November 2018, total uang pengganti yang dibayarkan Novanto baru Rp 14,7 miliar, termasuk uang yang sudah dititipkan sebelumnya. ”Sampai saat ini masih sama jumlah yang telah dibayarkan. Belum ada penambahan lagi,” kata Koordinator Unit Pelacakan Aset, Pengelolaan Barang Bukti, dan Eksekusi KPK Mungki Hadipratikto di Jakarta, Jumat (10/5/2019).
Dengan demikian, kekurangan uang pengganti yang harus dibayarkan Novanto dalam kasus megaproyek yang merugikan negara sebesar Rp 2,3 triliun ini berjumlah Rp 87,7 miliar. Sebagian asetnya berupa tanah dan bangunan, serta sebuah rekening telah dikuasakan kepada KPK.
Namun, mengacu pada Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) yang dilaporkan Novanto pada 2015, asetnya mencapai Rp 114,7 miliar dan 49,150 dollar AS.
Secara terpisah, Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW) Adnan Topan Husodo kembali menyampaikan, tindak pidana pencucian uang relevan untuk mengembalikan kerugian negara yang ditimbulkan dari perkara korupsi pengadaan KTP elektronik, selain menindak politisi lain yang diduga terlibat dan memperoleh aliran dana.
Sebab, beban kewajiban membayar denda dan uang pengganti kerap tidak sepadan dengan kerugian negara yang ditimbulkan. Padahal, sebagian besar politisi, termasuk Novanto, merupakan orang-orang yang memiliki kewenangan besar dalam mengambil keputusan dan mengelola sumber dana publik.
”Mereka ini suspect utama dari TPPU di sebuah negara yang korupsinya masih tinggi,” ujar Adnan.
Tindak pidana pencucian uang dinilai relevan untuk mengembalikan kerugian negara yang ditimbulkan dari perkara korupsi pengadaan KTP elektronik, selain menindak politisi lain yang diduga terlibat dan memperoleh aliran dana.
Berdasarkan data yang dimiliki KPK, hanya ada 31 kasus TPPU yang ditangani lembaga antirasuah sejak 2012 hingga 2018 dari 887 kasus yang ditangani sejak KPK berdiri.
Ganjar kembali diperiksa
Hingga saat ini, KPK masih fokus menuntaskan perkara inti korupsi kartu identitas penduduk ini yang menyisakan seorang tersangka, yakni politisi Golkar, Markus Nari, yang ditetapkan statusnya sejak 2017. Kali ini Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo kembali dipanggil untuk memberikan kesaksian untuk Markus.
Ganjar kembali membantah telah menerima 500.000 dollar AS seperti yang telah dia ungkapkan berulang kali, baik saat pemeriksaan saksi di penyidikan maupun di persidangan. Ia pun mengaku ditanya lagi terkait mekanisme penambahan anggaran.
”Jadi, butuh tambahan saat itu karena harus cetak di sekian kabupaten. Dalam rapat, kementerian diminta memberikan detailnya, lalu diajukan ke Badan Anggaran,” ujar Ganjar.
Nama Ganjar jadi pembicaraan saat Novanto menyebutnya menerima uang dalam sidang pemeriksaan dirinya sebagai terdakwa dan nota pembelaan.
Namun, majelis hakim dalam vonis terhadap Irman, Sugiharto, Novanto, dan Andi Agustinus, menyatakan nama politisi yang disebut turut menerima adalah politisi Golkar, Ade Komaruddin dan Markus Nari; politisi Demokrat, Jafar Hafsah; politisi Hanura, Miryam S Haryani; dan mantan Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi.