JAKARTA, KOMPAS – Mahkamah Konstitusi mengagendakan pembacaan putusan sela, Senin (21/7/2019), terhadap 260 perkara perselisihan hasil pemilihan umum legislatif yang telah diperiksa dalam sepekan terakhir. Semua pemohon yang perkaranya diregistrasi diundang untuk hadir ke MK, karena dengan sistem registrasi perkara berbasis provinsi, satu perkara bisa memuat lebih dari satu permohonan sengketa.
Juru bicara MK yang juga hakim konstitusi I Dewa Gede Palguna mengatakan, pembacaan putusan sela ini menentukan perkara mana saja yang diteruskan ke tahap pembuktian, yakni dengan pemeriksaan saksi dan ahli, serta perkara mana saja yang tidak berlanjut ke pembuktian. “Putusan sela ini diadakan untuk memutus perkara-perkara mana saja yang tidak berlanjut ke pembuktian,” katanya, Minggu (21/7/2019) di Jakarta.
Seluruh pemohon dari 260 perkara yang diregistrasi diharapkan untuk hadir, karena MK tidak secara spesifik mengundang perkara-perkara yang pasti gugur, atau tidak diterima. “Mana perkara yang lanjut, dan mana yang tidak, akan tergantung pada putusan besok (Senin). Karena itu semuanya diundang,” kata Fajar Laksono Soeroso, Kepala Bagian Humas dan Kerja Sama Dalam Negeri MK.
Dengan sistem registrasi perkara berbasis provinsi dalam satu partai yang sama, ada kemungkinan satu perkara terdiri lebih dari satu permohonan, dari daerah pemilihan (dapil) yang berbeda, tetapi masih dalam satu provinsi dan parpol yang sama. Dalam satu perkara yang diregistrasi pun kemungkinan ada permohonan yang tidak dapat diterima atau gugur, dan ada permohonan yang diterima dan diteruskan ke tahap pembuktian.
Sebelum diregistrasi, MK mencatat ada 330 permohonan PHPU untuk calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPDR) dan Dewan Perwakilan Rakyat daerah (DPRD), serta 10 permohonan PHPU untuk calon anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Masing-masing permohonan dicatat dalam akta pengajuan permohonan pemohon (AP3). Dari 340 permohonan itu, MK meregistrasinya ke dalam 260 perkara berbasis provinsi dan parpol, yakni 250 perkara PHPU untuk calon anggota DPR dan DPRD, dan 10 perkara PHPU untuk calon anggota DPD.
Petakan perkara
Anggota tim kuasa hukum Komisi Pemilihan Umum (KPU) Ali Nurdin mengatakan, pihaknya memastikan untuk hadir dalam pembacaan putusan sela, Senin ini. Pihaknya telah memetakan perkara-perkara mana saja yang berpotensi diteruskan ke tahap pembuktian, dan perkara mana saja yang berpotensi dinyatakan gugur, tidak diterima, atau ditetapkan oleh MK karena permohonannya dicabut.
“Kami telah memiliki catatan tentang perkara-perkara mana yang ada potensi untuk dismissal. Patokan yang dipakai ialah dengan melihat pola putusan dismissal MK sebelumnya pada pileg 2014,” kata Ali.
Pada sidang putusan dismissal, MK biasanya mengeluarkan penetapan penerimaan atas pencabutan suatu permohonan, bilamana ada permohonan yang dicabut oleh pemohon. Selain itu, terkait dengan pokok permohonan, MK akan mengeluarkan putusan berdasar syarat formil permohonan, yakni apakah permohonan itu diajukan melewati tenggat waktu yang ditentukan oleh undang-undang (UU) ataukah tidak.
UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu menyatakan tenggat akhir pengajuan sengketa hasil pileg ke MK ialah tiga hari setelah penetapan hasil pemilu oleh KPU. KPU menetapkan hasil Pemilu pada 21 Mei 2019, pukul 01.46 WIB. Perkara yang melebihi tenggat waktu itu dinyatakan tidak dapat diterima, sehingga konsekuensinya pemeriksaan perkara tidak dapat diteruskan ke tahap pembuktian.
Perkara juga tidak dapat diterima bila pemohon dinilai tidak memiliki kedudukan hukum sebagaimana diatur oleh UU Pemilu, atau pemohon bukanlah parpol.
“UU menyatakan peserta pemilu adalah parpol, bukan perseorangan. Oleh karena itu, yang memiliki kedudukan hukum mengajukan sengketa ialah parpol. Kalau pun perseorangan mengajukan permohonan ke MK, harus ada tanda tangan dari Ketua Umum dan Sekretaris Jenderal parpol sebagai representasi dari parpol,” kata Fajar.
Selain memutus diterima atau tidaknya suatu perkara, MK dalam putusan dismissal juga menyatakan ada tidaknya perkara yang gugur. Suatu perkara dapat dinyatakan gugur bila pemohon dalam sidang pendahuluan tidak hadir. Dalam sidang pendahuluan itu, agenda utamanya ialah mendengarkan permohonan pemohon.
Ali mengatakan, pihaknya memperkirakan akan ada cukup banyak permohonan yang dinyatakan tidak dapat diterima atau gugur oleh MK. Dari 340 permohonan yang diterima MK, ia memetakan sekitar 40 persen di antaranya tidak memenuhi syarat formil pengajuan sengketa ke MK. Penyebabnya macam-macam, mulai dari melewati tenggat waktu, tidak hadir dalam sidang pendahuluan, atau adanya pencabutan permohonan.
“Kami juga mencatat ada permohonan yang materinya tidak menyoal hasil perolehan suara, atau pun pemohon telah salah obyek sengketa (error in objecto). Obyek sengketa seharusnya ialah SK KPU RI tentang penetapan hasil pemilu, tetapi ada pemohon yang keliru merujuk obyek sengketanya ialah SK KPU daerah. Permohonan seperti itu, bila belajar dari putusan MK tahun 2014, berpotensi dinyatakan tidak dapat diterima,” kata Ali.
Fajar mengatakan, pertimbangan apapun atas putusan sela ini, tergantung pada majelis hakim. “Yang tidak dilanjutkan pemeriksaan perkaranya juga akan disampaikan pula alasan hukumnya oleh mahkamah,” katanya.