MK kembali menyidangkan permohonan uji formil dan uji materi terhadap revisi UU KPK. Sementara itu, masyarakat sipil berharap Presiden menerbitkan Perppu KPK sebelum UU KPK hasil revisi berlaku.
Oleh
HRS/REK/INK/SHR/IAN
·3 menit baca
MK kembali menyidangkan permohonan uji formil dan uji materi terhadap revisi UU KPK. Sementara itu, masyarakat sipil berharap Presiden menerbitkan Perppu KPK sebelum UU KPK hasil revisi berlaku.
JAKARTA, KOMPAS — Hakim Mahkamah Konstitusi kembali menyidangkan uji materi dan uji formil terhadap Undang-Undang tentang Komisi Pemberantasan Korupsi hasil revisi, Senin (14/10/2019). Namun, majelis hakim menilai revisi UU KPK itu belum memenuhi syarat sebagai obyek pengujian undang-undang karena belum diundangkan.
Pengujian materi dan uji formil kali ini diajukan oleh kelompok advokat yang juga mahasiswa pascasarjana Universitas As-Syafi’iyah, Bekasi. Sebelumnya, 17 pemohon yang sebagian besar mahasiswa juga sudah terlebih dahulu mengajukan pengujian konstitusionalitas revisi UU KPK dan saat ini tengah dalam masa perbaikan permohonan.
Dalam sidang pendahuluan kemarin, dengan agenda pembacaan permohonan dan pemberian nasihat dari majelis hakim panel yang dipimpin Ketua MK Anwar Usman, para pemohon mempersoalkan proses revisi UU KPK yang dinilai tidak sesuai prosedur. Selain itu, pemohon juga menyoal pasal di revisi UU KPK yang mengatur keberadaan Dewan Pengawas yang dinilai membuat KPK tidak independen. Pasal itu dimohonkan untuk dibatalkan.
Hakim konstitusi Wahiduddin Adams mengatakan, permohonan yang diajukan belum jelas obyeknya karena nomor UU yang diujikan belum ada. Revisi UU itu baru pada tahap persetujuan pemerintah dengan Dewan Perwakilan Rakyat dan belum disahkan oleh presiden.
”Meskipun demikian, konstitusi mengatur 30 hari sejak suatu rancangan UU itu telah disetujui antara presiden dan DPR, serta belum disahkan presiden, UU itu secara otomatis akan tetap diundangkan menjadi UU,” kata Wahiduddin.
Terkait permohonan uji materiil atas pasal terkait Dewan Pengawas, hakim konstitusi tidak bisa berkomentar lebih banyak karena ketentuan itu belum dapat dipastikan lantaran revisi UU itu belum diundangkan. Revisi UU KPK berpotensi secara otomatis diundangkan 17 Oktober, atau 30 hari sejak revisi UU itu disetujui pemerintah dan DPR, sekalipun revisi itu belum disahkan melalui tanda tangan presiden.
Hakim konstitusi Enny Nurbaningsih mengatakan, pemohon juga diminta menguatkan argumentasi soal kerugian konstitusional yang diderita pemohon jika regulasi itu diberlakukan.
Berharap perppu
Beberapa hari menjelang berlakunya revisi UU KPK, harapan agar Presiden Joko Widodo mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) KPK kembali muncul. Di Yogyakarta, aktivis antikorupsi meminta perppu segera diterbitkan karena UU KPK hasil revisi akan mulai berlaku 17 Oktober.
”Kami dari Jaringan Antikorupsi Yogyakarta yang terdiri atas berbagai elemen ingin menagih janji Presiden yang katanya akan (mempertimbangkan) menerbitkan perppu untuk memperbaiki cacat formil dan cacat materiil dalam UU KPK hasil perubahan,” kata Ketua Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Gadjah Mada Oce Madril.
Oce menuturkan, jika UU KPK hasil revisi sudah berlaku efektif, akan muncul dampak negatif yang sangat serius terhadap pemberantasan korupsi di Indonesia. Dampak pertama adalah KPK tidak lagi independen dalam menjalankan tugas dan fungsinya. Sebab, UU KPK hasil revisi menyatakan, KPK adalah lembaga negara yang masuk dalam rumpun kekuasaan eksekutif. Selain itu, berdasarkan UU KPK hasil revisi, pegawai KPK berstatus sebagai aparatur sipil negara.
Sementara itu, Wakil Ketua KPK Laode M Syarif, di Jakarta, berharap Presiden Jokowi menunda pemberlakuan UU KPK hasil revisi.
”Kami masih berharap ada kebijakan dari Presiden untuk menunda dahulu UU (KPK hasil revisi) ini berlaku, apakah dengan perppu atau cara lain. Karena memang terlalu banyak kesalahan di dalamnya, salah satunya nanti ada Dewan Pengawas yang berwenang menyetujui penyitaan, penggeledahan, bahkan penyadapan,” ujar Syarif.
Menurut dia, hal yang paling berbahaya dari UU KPK yang baru ialah pimpinan KPK bukan lagi penyidik dan penuntut umum sehingga hanya bersifat administratif. Sementara Dewan Pengawas yang berwenang memberikan izin atas penyitaan, penggeledahan, dan penyadapan pun tidak memiliki status yang jelas sehingga bisa dianggap ilegal.
Dalam diskusi di Jakarta, Koordinator Komite Pemilih Indonesia Jeirry Sumampow berharap Presiden Jokowi percaya diri di tengah kebimbangan yang muncul terkait Perppu KPK. Menurut Jeirry, Presiden punya modal besar karena relatif besarnya dukungan yang diberikan masyarakat untuk memilih Jokowi sebagai presiden.
Perempuan Indonesia Antikorupsi melayangkan surat terbuka yang, antara lain, menyatakan perppu akan menjadi bentuk komitmen Presiden Jokowi dalam pemberantasan korupsi.
”Perppu ini memang tidak akan langsung menyelesaikan masalah bangsa, tapi setidaknya perppu merupakan simbol komitmen bahwa Bapak Presiden bersama rakyat yang ingin KPK tetap berfungsi membasmi korupsi, menjaganya dari oligarki yang kian membelit bangsa ini. Keberpihakan ini kami nantikan,” ujar Anita Wahid mewakili Perempuan Indonesia Antikorupsi di Jakarta.
Anita menambahkan, perppu bisa menjadi upaya mengatasi kebuntuan politik saat ini. Terlebih lagi perppu menjaga kepercayaan masyarakat kepada Presiden mengingat mandat yang diberikan masyarakat adalah untuk melindungi masyarakat. ”Bukan melindungi kepentingan oligarki atau sekelompok elite,” kata Anita.