Beberapa partai masih membuka peluang bagi majunya eks terpidana korupsi. Harapan terakhir pun terletak pada publik agar berhati-hati menggunakan hak pilih demi mewujudkan munculnya pemimpin berintegritas.
Oleh
Agnes Theodora
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Partai politik menjadi penyaring utama untuk menghadirkan calon kepala daerah yang bebas dan bersih dari tindak pidana korupsi. Meski demikian, beberapa partai masih membuka peluang bagi majunya eks terpidana korupsi. Harapan terakhir pun terletak pada publik agar berhati-hati menggunakan hak pilih demi mewujudkan munculnya pemimpin berintegritas.
Beberapa partai menjadikan hak politik seseorang untuk memilih dan dipilih sebagai alasan tetap mengusung calon-calon dengan rekam jejak eks terpidana korupsi.
Sekretaris Jenderal Partai Amanat Nasional (PAN) Eddy Soeparno, saat dihubungi di Jakarta, Kamis (12/12/2019), menilai, pada prinsipnya, hak politik seseorang seharusnya dicabut melalui putusan pengadilan, bukan melalui peraturan KPU. Di sisi lain, bekas terpidana korupsi dinilai sudah membayar kesalahannya dengan menjalani masa hukumannya. Apalagi, jika mereka sudah melewati masa jeda lima tahun sebelum mencalonkan diri.
”Jadi, sudah seharusnya diberikan kesempatan untuk memulihkan hak-haknya itu, termasuk hak untuk dipilih. Lagi pula, masyarakat sudah cerdas, mereka bisa membedakan calon bekas napi korupsi itu masih layak dipilih atau tidak,” lanjut Eddy.
Dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memperbolehkan bekas napi korupsi untuk maju dengan syarat, PAN akan lebih selektif dalam memilah bakal calon kepala daerahnya. Beberapa faktor yang akan menjadi pengecualian, misalnya, jika kader bersangkutan telah berkontribusi bagi partai. PAN juga akan tetap memperhatikan aturan masa jeda lima tahun sesuai putusan MK.
Selain itu, ujar Eddy, partainya juga akan menelaah peran kader bersangkutan dalam kasus korupsi yang melibatkan dirinya. Jika perannya tidak signifikan atau jika ia melakukan korupsi karena terjebak sistem, partai tidak akan mempersoalkan pencalonannya.
”Jadi, kami akan lakukan evaluasi mendalam dan khusus. Idealnya memang partai tidak mengusung seseorang dengan catatan buruk. Tetapi, kalaupun iya, perlu ada argumentasi dan pembenarannya, dan itu juga harus dilihat secara kasuistis. Misalnya, apakah karena dia terjebak sistem? Banyak yang harus dipertimbangkan,” tutur Eddy.
Hal senada diucapkan Ketua DPP Partai Gerindra Ahmad Riza Patria. Gerindra, ujarnya, berpegangan pada Undang-Undang Pilkada yang tidak melarang bekas napi korupsi untuk mencalonkan diri sebagai kepala daerah.
”Kami memberikan kesempatan seluas-luasnya untuk siapa pun, termasuk kalau pernah dihukum karena kasus korupsi, asal memenuhi ketentuan hukum yang ada,” katanya.
Ahmad Riza Patria berpandangan, ukuran calon yang bersih itu relatif. Calon yang belum pernah terjerat kasus korupsi, lanjutnya, pun belum tentu benar-benar bersih dari praktik korup. Namun, ia mengatakan, partai akan sebisa mungkin tidak mengusung kader yang bermasalah.
”Kami tetap ingin calon-calon kami bersih, bicara prioritas, tentu kami tidak mau yang sudah pernah terkena masalah,” katanya.
Sebelumnya, Ketua Komisi II DPR dari Fraksi Partai Golkar Ahmad Doli Kurnia mengatakan, target setiap partai adalah untuk memenangi pilkada. Karena itu, partai tidak bisa membatasi hak seseorang untuk mencalonkan diri. Apalagi, jika bekas napi korupsi tersebut memiliki elektabilitas yang tinggi di daerahnya.
Putusan MK Nomor 56/PUU-XVII/2019 pada 11 Desember 2019 lalu memutuskan, bekas terpidana boleh mencalonkan diri di pilkada, tetapi setelah melewati masa jeda lima tahun. Dengan demikian, MK mengembalikan aturan terkait bekas terpidana seperti putusan MK pada 2009.
Masa jeda lima tahun yang dihidupkan ditujukan agar bekas terpidana beradaptasi di tengah masyarakat untuk membuktikan bahwa seusai menjalani masa pidana, mereka telah menjadi baik dan teruji.
Tergantung pemilih
Peneliti Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Moch Nurhashim, mengatakan, kandidasi kepala daerah yang bersih harus dimulai dari elite dan partai yang melakukan proses perekrutan. Partai seharusnya menjadi penyaring utama untuk menghadirkan calon pemimpin yang berintegritas. Apalagi, di tengah pendidikan politik yang masih minim di masyarakat.
Namun, ketika partai menutup sebelah mata pada dampak dari pencalonan figur bermasalah, publik harus menjadi garda terakhir di tengah buruknya sistem pencalonan kepala daerah.
”Tidak ada jaminan dari proses kandidat si partai bahwa standar orang yang dicalonkan akan benar-benar bersih karena yang diprioritaskan hanya elektabilitas dan popularitas. Akhirnya, koreksi harus dilakukan oleh publik saat proses pemilihan ketika sistem kandidasi dari partai masih seperti itu,” kata Nurhashim.
Logikanya, masyarakat menjadi harapan terakhir. Namun, pada beberapa kasus, pemilih menunjukkan sikap permisif atau acuh sehingga beberapa calon kepala daerah bermasalah tetap lolos.
Bupati Kudus, Jawa Tengah, Muhammad Tamzil, misalnya, pernah ditahan untuk kasus korupsi dana bantuan sarana dan prasarana pendidikan Kabupaten Kudus pada 2004. Tamzil bebas pada 2015 dan mencalonkan diri sebagai bupati Kudus di Pilkada 2018.
Setelah ia terpilih kembali, Tamzil tersandung kasus korupsi lagi dan menjadi tersangka dalam kasus dugaan jual-beli jabatan di lingkungan Pemerintah Kabupaten Kudus. Contoh serupa ditemukan pada kasus Bupati nonaktif Hulu Sungai Tengah Abdul Latif yang divonis 6 tahun penjara karena menerima suap dalam proyek fasilitas kesehatan di Hulu Sungai Tengah.
Sebelumnya, saat masih menjabat anggota DPRD Kalimantan Selatan, Abdul Latif pernah ditahan karena kasus korupsi pembangunan unit sekolah baru pada 2005-2006. Setelah bebas, ia maju dalam pemilihan anggota DPRD Kalimantan Selatan 2014-2019. Setahun menjadi anggota Dewan, ia maju di Pilkada 2015 dan terpilih menjadi Bupati Hulu Sungai Tengah.