Pengurangan hukuman oleh MA yang terjadi beruntun dikhawatirkan berdampak pada hilangnya efek jera bagi pelaku korupsi.
Oleh
Rini Kustiasih
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Hukuman yang cenderung ringan kepada pelaku korupsi dalam sejumlah putusan kasasi maupun peninjauan kembali yang dikeluarkan Mahkamah Agung menjadi kabar buruk bagi pemberantasan korupsi. Hal ini dalam jangka panjang akan berdampak pada hilangnya efek jera yang diharapkan dari suatu pemberatan hukuman kepada pelaku korupsi.
Ketua Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Gadjah Mada (Pukat UGM) Oce Madril, Minggu (15/12/2019) mengatakan, tren penurunan hukuman kasus korupsi menimbulkan hilangnya kepastian hukum dalam pemberantasan korupsi yang menjadi program pemerintah. Efek jera pun dikhawatirkan hilang, sehingga korupsi semakin merajalela karena ada anggapan perbuatan korupsi tidak lagi diganjar hukuman berat.
“Ada baiknya ekasaminasi putusan dilakukan oleh Komisi Yudisial sebagai bagian dari pengawasan terhadap putusan pengadilan. KY perlu melihat dan mencermati fenomena ini, sebab kasus korupsi menjadi perhatian publik. Kenapa misalnya ada kecenderungan putusan korupsi oleh pengadilan tingkat pertama dan pengadilan banding dikoreksi oleh MA,” kata Oce.
Menurut Oce, sejauhmana kekeliruan itu dilakukan oleh pengadilan di bawah MA perlu dikaji mendalam, sebab pengurangan hukuman terhadap pelaku korupsi terjadi beruntun. Sementara MA diharapkan untuk menjelaskan secara terbuka dan detil dalam putusannya apa pertimbangan yang melatarbelakangi pengurangan hukuman tersebut.
“Jika MA mengubah putusannya pasti ada kekeliruan yang nyata dalam putusan pengadilan tingkat pertama atau pengadilan banding. Kekeliruan itu harus dijelaskan, sehingga menjadi terang, dan publik tidak bertanya-tanya tentang fenomena penurunan hukuman ini. Jika tidak ada kekeliruan yang nyata, wajar bila publik akhirnya bertanya-tanya mengenai hal ini,” katanya.
Sepanjang 2019, ada sembilan putusan PK MA yang mengurangi hukuman terpidana korupsi. Potongan hukuman terbaru kepada terpidana korupsi terjadi lewat putusan PK MA bekas Bupati Buton, Sulawesi Tenggara, Samsu Umar Abdul Samiun, 12 Desember 2019. Samsu dinyatakan bersalah karena terbukti menyuap bekas Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Akil Mochtar Rp 1 miliar terkait sengketa pilkada. Putusan PK MA mengurangi hukuman Samsu dari 3 tahun 9 bulan menjadi 3 tahun penjara (Kompas, 15/12/019).
Ketua KY Jaja Ahmad Jayus mengatakan, hakim dalam setiap memberikan putusan berdasarkan atas fakta-fakta persidangan. Hukuman yang dijatuhkan berat atau ringan bukan semata atas opini atau pertimbangan pribadi hakim, melainkan dengan melihat fakta dan penerapan hukum.
“Harus pula dilihat, misalnya, nilai kerugian negara, motifnya apa, karena pasti berbeda antara kerugian yang ditimbulkan Rp 1 juta dengan Rp 2 juta. Pertimbangan hakim tentu didasarkan pada fakta-fakta persidangan, bukan hanya dilihat berat-ringannya hukuman,” ungkap Jaja.
Pertimbangan hakim merupakan bagian dari teknis yudisial, sehingga menurut Jaja, penilaian hakim dan nilai-nilai keadilan yang dipertimbangkan oleh hakim tidak bisa diintervensi atau diatur siapa pun.
“Kalau memang arah faktanya tidak terlalu berat, bisa saja hakim menjatuhkan putusan ringan. Begitu pula kalau hakim melihat fakta itu arahnya berat, hakim menjatuhkan putusan yang berat,” katanya.
Pemberatan dalam penanganan kasus korupsi, menurut Jaja, tidak selalu dibebankan pada berat ringannya hukuman pidana, melainkan juga pada pengembalian uang negara yang diambil dalam kasus korupsi. Berat ringannya pidana yang dijatuhkan oleh hakim bagaimana pun harus dikembalikan pada fakta-fakta persidangan.
Jaja tidak sependapat adanya anggapan bahwa kualitas hakim agung yang direkrut KY turut memengaruhi putusan-putusan MA dalam kasus korupsi. Menurut dia, korupsi memang kasus yang sensitif, dan KY dalam setiap rekrutmen selalu menekankan aspek integritas, yang meliputi tindakan dan perilaku pribadi, maupun tindakan yang terkait dengan publik. Korupsi merupakan salah satu hal yang disoroti dan disikapi hati-hati oleh KY setiap kali menjaring calon hakim agung.
Persepsi tidak berubah
Sementara itu, juru bicara MA Andi Samsan Nganro mengatakan, tidak ada perubahan paradigma dalam melihat kasus-kasus korupsi di MA. Menurutnya, MA dalam melaksanakan tugas peradilan baik itu perkara kasasi maupun PK, saat ini berjalan sebagaimana mestinya sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan. Khusus dalam penanganann perkara korupsi di MA yang dalam beberapa waktu terakhir disorot, karena adanya pengurangan hukuman yang dianggap beruntun, sebenarnya tidak ada perubahan persepsi terhadap korupsi di MA.
“Sebenarnya tidak ada perubahan persepsi di MA, dan kami sependapat bahwa korupsi adalah musuh bersama yang harus diberantas. Dalam menangani perkara korupsi, MA telah menunjukkan keseriusan, seperti hakim yang menangani korupsi harus bersertifikat di semua tingkatan peradilan termasuk MA. Begitu juga komposisi hakim kasasi dan PK, yang di dalamnya duduk unsur hakim ad hoc dari dulu hingga sekarang. Bahkan di tingkat kasasi, unsur hakim ad hoc lebih banyak daripada hakim karier,” kata Andi.
Menurut Andi, idealnya dalam pemberantasan korupsi tidak hanya menitikberatkan pada hukuman seberat-beratnya kepada terdakwa, tetapi juga mengupayakan bagaimana terdakwa dapat mengembalikan atau memulihkan kerugian negara yang dikorupsi.
"Jadi apabila ada terdakwa korupsi yang sudah mengembalikan sebagian atau seluruh kerugian negara, lalu majelis hakim kasasi atau PK mempertimbangkan keadaan itu sebagai alasan yang meringankan terdakwa sesuai dengan Pasal 4 UU Tipikor, apakah pengurangan hukuman ini salah?” ungkapnya.
Pengajar hukum Universitas Bina Nusantara (Binus) Shidarta mengatakan, sebagai pengadilan tertinggi yang tidak lagi memeriksa fakta, melainkan memeriksa penerapan hukum, perubahan apapun yang dilakukan MA terhadap putusan pengadilan di bawahnya harus hati-hati.
“Sebab, pengadilan fakta (judex facti) yang ada di pengadilan tingkat pertama dan banding yang paling mengetahui fakta-faktanya di persidangan. Adapun MA pada dasarnya hanya mengadili berkas, sehingga untuk mengubah putusan pengadilan di bawahnya harus sangat berhati-hati. Karena semakin tinggi tingkatan pengadilan, sebenarnya semakin jauh dia dari fakta-fakta persidangan. Hakim agung tidak bisa melihat jalannya persidangan, sekaligus mendengarkan terdakwa dan saksi dalam memberikan keterangan atau menilai keterangan itu, berikut pula bukti-buktinya,” katanya.
Oleh karena itu, menurut Shidarta, putusan MA idealnya dipublikasikan dengan detil dan lengkap, berikut pertimbangan dan argumentasi hukumnya. Dengan demikian publik akan mengetahui argumentasi hukum dan pertimbangan hakim MA dalam memutus suatu perkara.