Pelemahan terhadap Pemberantasan Korupsi Sistematis
Pengurangan hukuman oleh Mahkamah Agung menunjukkan adanya gap rasa keadilan antara yang diinginkan masyarakat dengan pembentuk undang-undang dan hakim
Oleh
Muhammad Ikhsan Mahar
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Pengurangan hukuman terpidana kasus korupsi oleh Mahkamah Agung dinilai bagian dari pelemahan komitmen negara dalam pemberantasan korupsi. Oleh karena itu, upaya penegakan hukum, termasuk permasalahan rasuah, harus menyesuaikan nilai-nilai yang dipercaya masyarakat, sehingga proses hukum tidak mencederai kepercayaan dan harapan publik untuk hadirnya pemerintahan yang bersih dan berintegritas.
Anggota Komisi III DPR dari Partai Demokrat, Benny K Harman, menilai, langkah Mahkamah Agung (MA) untuk mengurangi hukuman koruptor merupakan bagian dari sistem yang telah berjalan secara sistematis untuk melemahkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Hal itu dimulai dengan kesepakatan lembaga eksekutif dan legislatif, yang didominasi partai politik koalisi pemerintah, untuk merevisi undang-undang KPK.
“Revisi UU KPK yang melemahkan KPK adalah sinyal positif bagi MA untuk lebih berani lagi membebaskan kasus-kasus korupsi yang melibatkan pejabat negara. Oleh karena itu, tahun 2019 adalah lonceng kematian bagi agenda pemberantasan tindak pidana korupsi (tipikor), sehingga Presiden Joko Widodo harus
alert dengan kondisi ini,” kata Benny, Sabtu (14/12/2019), di Jakarta.
Sementara itu, pakar hukum pidana Universitas Indonesia, Akhiar Salmi, menilai, secara normatif tidak ada yang salah dengan pengabulan peninjauan kembali yang diberikan hakim agung kepada terpidana korupsi. Tetapi, putusan itu kontradiktif dengan pernyataan para pejabat negara yang berkomitmen menindak tegas perilaku koruptif.
“Telah terjadi pergeseran politik hukum dengan munculnya gejala dekriminalisasi yang bermuara pada kasus tipikor,” ujar Akhiar.
Dalam prinsip menjalankan politik hukum, lanjut Akhiar, seharusnya pemerintah, mulai dari eksekutif, legislatif, hingga yudikatif, mempertimbangkan nilai yang berkembang di masyarakat. Alhasil, perumusan aturan dan penerapan putusan hukum pidana harus menyesuaikan harapan publik untuk hadirnya pemerintahan yang bersih.
“Muncul gap rasa keadilan antara yang diinginkan masyarakat dengan pembentuk undang-undang dan hakim,” ucapnya.
Pengawasan
Benny menambahkan, putusan MA yang mengurangi hukuman terpidana kasus korupsi menunjukkan adanya masalah dalam proses pemilihan hakim agung yang dilakukan Komisi Yudisial. Ia menekankan, langkah DPR untuk memperkuat kewenangan KY dalam memilih hakim agung ketika mengesahkan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 tentang KY tidak dilaksanakan dengan baik oleh KY.
“KY gagal memilih dan merekrut hakim agung yang memiiki indepedensi, karakter, dan visi yang kuat dalam pemberantasan korupsi,” ujarnya.
Meski begitu, ia berharap, KY melakukan pemeriksaan terhadap sembilan putusan peninjauan kembali kasus tipikor yang terjadi selama 2019. Menurut dia, dari pemeriksaan itu, maka akan ditemukan keanehan-keanehan yang berpotensi menjadi dasar dari putusan itu, baik yang disebabkan kelalaian atau kesengajaan hakim agung. Apabila unsur kesengajaan ditemukan, tambahnya, maka bisa disebabkan karena tekanan kekuasaan atau tekanan materi/kapital.
Ketua Komisi Yudisial Jaja Ahmad Jayus tidak sependapat adanya anggapan bahwa kualitas hakim agung yang direkrut KY turut memengaruhi putusan-putusan MA dalam kasus korupsi. Menurut dia, korupsi memang kasus yang sensitif, dan KY dalam setiap rekrutmen selalu menekankan aspek integritas, yang meliputi tindakan dan perilaku pribadi, maupun tindakan yang terkait dengan publik. Korupsi merupakan salah satu hal yang disoroti dan disikapi hati-hati oleh KY setiap kali menjaring calon hakim agung.
Anggota Komisi III dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan, Arsul Sani, menuturkan, tren pengurangan hukuman terpidana korupsi oleh MA menjadi atensi utama Komisi III DPR. Oleh karena itu, DPR telah mengagendakan rapat konsultasi dengan MA pada masa sidang yang dimulai Januari 2020.
Agenda itu, lanjut Arsul, akan diawali dengan mendengarkan pandangan MA secara kelembagaan terkait criminal sentencing policy yang dianut MA di bidang tipikor.
“Kami akan mendalami apakah MA melihat hal (penurunan hukuman) itu diserahkan kepada masing-masing majelis hakim sebagai bentuk independensi hakim atau memang ada arahan tertentu,” ujar Arsul.