Tumpak: Dewan Pengawas Memastikan KPK Transparan, Akuntabel, dan Menghormati HAM
Dewan Pengawas KPK tidak ingin mempermasalahkan keraguan masyarakat yang menganggap kehadiran mereka akan melemahkan komitmen pemberantasan korupsi. Dewan Pengawas KPK akan memastikan KPK transparan dan akuntabel.
Oleh
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Dewan Pengawas KPK tidak ingin mempermasalahkan skeptisisme atau keraguan masyarakat yang menganggap bahwa kehadiran mereka hanya akan melemahkan komitmen pemberantasan korupsi. Keberadaan Dewan Pengawas akan memastikan KPK transparan dan akuntabel dalam menegakkan hukum serta menghormati hak asasi manusia.
Ketua Dewan Pengawas KPK Tumpak Hatorangan Panggabean mengatakan tidak mau mempermasalahkan skeptisisme masyarakat terhadap pembentukan Dewan Pengawas KPK. Ia pun masih menunggu terbentuknya peraturan presiden (perpres) agar Dewan Pengawas bisa segera membuat struktur dan bekerja.
”Soal skeptisisme masyarakat itu, ada baiknya juga sehingga memotivasi kami untuk menjadi lebih baik ke depan. Jadi, hal tersebut tidak menjadi masalah bagi kami,” ucapnya seusai proses serah terima jabatan pimpinan KPK di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Jumat (20/12/2019).
Pada Jumat, Presiden Joko Widodo akhirnya melantik lima orang Dewan Pengawas KPK di Istana Presiden, Jakarta. Mereka adalah Tumpak Hatorangan Panggabean yang merupakan mantan unsur pimpinan KPK, Harjono yang merupakan mantan Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu dan mantan hakim konstitusi, Hakim Tinggi Albertina Ho, mantan Hakim Agung Artidjo Alkostar, dan Profesor Riset LIPI Syamsuddin Haris.
Tumpak menjelaskan, dengan terbentuknya Dewan Pengawas, pimpinan KPK bisa lebih baik dalam menjalankan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK. Hal ini juga sejalan dengan komitmen Presiden Joko Widodo yang memilihnya sebagai Ketua Dewan Pengawas KPK untuk memperkuat KPK.
”Saya tahu, pembentukan Dewan Pengawas ini merupakan hal yang pelik bagi sebagian pihak. Namun, undang-undang tersebut sudah disahkan. Oleh sebab itu, mari kita jalankan dengan sebaik-baiknya,” ujarnya.
Menurut Tumpak, nantinya Dewan Pengawas memiliki wewenang memberikan izin untuk melakukan penyadapan. Dewan Pengawas juga berwenang untuk melakukan pemidanaan terhadap pimpinan KPK yang melanggar UU KPK.
”Selain itu, terkait transparansi, hal ini tentunya merupakan salah satu asas yang dipegang oleh KPK. Kemudian, ada pula akuntabilitas untuk kepastian hukum dan penghormatan kepada HAM. Namun, transparansi tersebut bukan berarti telanjang. Ada hal yang bisa dibuka untuk publik maupun yang tidak,” katanya.
Syamsuddin Haris menambahkan, dirinya akhirnya memutuskan untuk masuk Dewan Pengawas karena jabatan ini menjadi pintu masuk untuk menyelamatkan KPK. Padahal, sebelumnya dirinya merupakan salah satu peneliti dan akademisi yang menyatakan keberadaan Dewan Pengawas akan memperlemah kinerja KPK.
”Melalui media massa, saya membaca nama-nama yang muncul untuk kandidat Dewan Pengawas KPK adalah tokoh-tokoh yang saya pandang memiliki integritas. Saya berkesimpulan, ini bisa menjadi pintu masuk untuk menyelamatkan KPK, untuk memperkuat KPK. Bukan sebaliknya,” lanjutnya.
Senada dengan Tumpak, Syamsuddin menjelaskan, sebenarnya Presiden memiliki komitmen untuk memperkuat KPK. Namun, menurut dia, komitmen Presiden seakan tidak sejalan dengan partai politik yang ada di parlemen, hingga akhirnya terbentuk UU No 19/2019.
Sementara itu, mantan Ketua KPK Agus Rahardjo mengatakan, KPK sudah membuat sejumlah aplikasi yang memudahkan pimpinan bisa meminta izin untuk menerbitkan surat perintah izin penyadapan dengan metode digital. Oleh karena itu, ia berharap agar aplikasi tersebut bisa digunakan pimpinan KPK yang baru dan Dewan Pengawas KPK.
”Surat perintah izin penyadapan saat ini perlu persetujuan dari Dewan Pengawas KPK. Dengan adanya aplikasi ini, pimpinan bisa mengajukan izin penyadapan tersebut kapan pun dan di mana pun kepada Dewan Pengawas KPK,” ucapnya.
Agus juga meminta publik tetap optimistis bahwa KPK masih bisa lebih baik dengan adanya Dewan Pengawas KPK. Ia menyarankan agar pimpinan KPK yang baru bisa bekerja sama dengan Dewan Pengawas KPK.
Ketua KPK Firli Bahuri mengatakan, dengan adanya UU No 19/2019 dan Dewan Pengawas KPK, tidak ada tugas pokok KPK yang berubah. Ia menjelaskan, pimpinan KPK boleh berganti, tetapi semangat memberantas korupsi harus tetap ada.
”Dengan adanya UU No 19/2019, harus ada peraturan yang berkaitan dengan sistem tata kerja. Kita pun harus memperkuat komitmen dan soliditas antarlembaga,” lanjutnya.
Dihubungi secara terpisah, peneliti Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) Universitas Gadjah Mada, Zaenur Rohman, menilai, meski nama-nama yang ditunjuk Jokowi memiliki reputasi yang baik, konsep Dewan Pengawas tetap akan menghambat kinerja pemberantasan korupsi. Penunjukan nama-nama tersebut hanya untuk memulihkan citra Jokowi di mata publik agar dinilai mendukung upaya pemberantasan korupsi.
”Pukat tetap konsisten menolak Dewas (Dewan Pengawas) meski diisi figur yang baik. Selain karena memiliki kewenangan pro justitia, lima orang Dewas ini pun ditunjuk langsung oleh Presiden, bukan tidak mungkin akan ada konflik kepentingan,” ujar Zaenur.
Peneliti Indonesia Corruption Watch, Kurnia Ramadhana, juga menegaskan, pembentukan Dewan Pengawas KPK menunjukkan Presiden tidak memahami bagaimana memperkuat KPK. Bahkan, cara ini memperlihatkan Presiden memang berniat menghancurkan lembaga antikorupsi itu.
KPK, kata Kurnia, adalah lembaga independen yang tidak mengenal konsep lembaga pengawas. Sebab, yang terpenting dalam lembaga negara independen adalah membangun sistem pengawasan yang selama ini sudah ada, yaitu Deputi Pengawas Internal dan Pengaduan Masyarakat.
”Kami tetap menuntut agar Presiden Joko Widodo segera menunaikan janji yang pernah diucapkan terkait penyelamatan KPK melalui instrumen Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang KPK dan mengembalikannya seperti sediakala,” ujar Kurnia.