Tantangan Mengikis Demokrasi Elitis
Empat partai politik yang tahun ini mengadakan forum setingkat kongres menempuh jalan aklamasi untuk melanggengkan kepemimpinan partai. Reformasi partai makin mendesak guna membuat demokrasi inklusif.
Selepas Pemilihan Umum 2019, ada empat partai politik yang mengadakan forum pengambilan keputusan tertinggi atau kongres, yaitu Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Partai Kebangkitan Bangsa, Partai Nasdem, dan Partai Golkar. Namun, tidak ada satu pun dari keempat partai itu yang pemimpin tertinggi partainya berganti.
Melalui aklamasi, tokoh-tokoh politik lama yang sudah malang melintang di panggung politik nasional kembali memegang pucuk kekuasaan di partainya masing-masing. Megawati Soekarnoputri memegang rekor sebagai ketua umum yang paling lama menjabat, selama 20 tahun, sejak 1999 ketika PDI resmi menjadi PDI-P. Di posisi kedua ada Muhaimin Iskandar yang kembali memimpin PKB setelah menjadi ketua umum selama 14 tahun sejak 2005.
Dua partai lainnya, yakni Partai Nasdem dan Golkar, dipimpin oleh ketua umum yang sama untuk periode kedua. Surya Paloh kembali menjabat untuk periode kedua setelah memegang posisi Ketua Umum Partai Nasdem selama enam tahun sejak 2013.
Partai terakhir yang mengadakan musyawarah nasional pada Desember 2019, yaitu Golkar, mengikuti tren aklamasi dan menetapkan Airlangga Hartarto sebagai ketua umum untuk periode kedua. Calon ketua umum lain—termasuk Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Bambang Soesatyo yang menjadi pesaing kuat—ramai-ramai mengundurkan diri setelah lobi intens sesaat sebelum munas dibuka.
Tren aklamasi di partai-partai itu sekilas dimaklumi, bahkan dipuji. Aklamasi atau penetapan melalui kesepakatan bulat (tanpa ada pemilihan) dianggap mewakili tradisi demokrasi Indonesia, yakni musyawarah untuk mufakat.
Lewat mekanisme itu, partai dinilai mampu menjaga soliditas mengingat kontestasi suksesi kepemimpinan partai-partai dua dekade terakhir menunjukkan kecenderungan potensi konflik internal. Sebut saja konflik berujung dualisme kepemimpinan di Partai Golkar pada 2014-2016, Partai Persatuan Pembangunan pada 2014-2017, atau Partai Kebangkitan Bangsa pada 2008.
Aklamasi, meski pada akhirnya mengukuhkan patronase politik, juga dimaklumi sebagian pihak. Opsi itu dipandang sebagai konsekuensi logis dari pelembagaan partai yang masih lemah sehingga masih membutuhkan figur pemimpin yang sama meski akhirnya mereka berkuasa sampai melintasi dekade.
Aklamasi secara tidak langsung juga mendorong proses demokrasi di partai semakin elitis. Pos-pos penting di partai cenderung diisi segelintir elite yang sama. Pengambilan keputusan di partai juga didominasi para elite di pusat, dilakukan tertutup, tanpa melibatkan kader dan pengurus lain secara aktif.
Elitisme itu juga tampak pada proses pencalonan kepala daerah oleh partai-partai politik yang saat ini masih berlangsung sentralistis. Keputusan penetapan pasangan calon kepala daerah pada mayoritas partai terletak di tangan segelintir pengurus pusat, bahkan ketua umum partai.
Terdistorsi
Para elite berdalih, aklamasi atau musyawarah untuk mufakat adalah gagasan demokrasi asli ala Indonesia. Model ini dianggap lebih baik ketimbang tradisi pemilihan melalui voting atau pengambilan suara terbanyak yang individualistis sebagaimana ditemukan di negara-negara liberal, seperti Amerika Serikat.
Memang tidak dapat dimungkiri, musyawarah mufakat merupakan bagian dari konsep tradisi masyarakat Indonesia yang berkarakter kolektif. Namun, seperti ditulis Fahrul Muzaqqi dalam Musyawarah Mufakat: Gagasan dan Tradisi Genial Demokrasi Deliberatif Indonesia, gagasan itu sudah dikhawatirkan oleh para pendiri bangsa sejak Indonesia masih berupa komunitas yang diimajinasikan. Sebab, jika tidak berhati-hati, musyawarah mufakat rentan dimanipulasi menjadi instrumen melegitimasi kekuasaan.
Mohammad Hatta dalam tulisannya, Kedaulatan Rakyat Bukan Anarchi, mengungkit perihal musyawarah untuk mufakat yang rentan berbasis kepentingan elitis, bukan kedaulatan rakyat sebagaimana seharusnya. Ia menyoroti, dalam budaya Minang, daerah asalnya, musyawarah untuk mufakat atau mupakat sudah dikenal dalam proses pengambilan keputusan tingkat desa, tetapi prosesnya tidak berorientasi kepada rakyat.
Sebagaimana tulisan Demokrasi Asli Indonesia dan Kedaulatan Rakyat, pada bagian catatan kaki, Hatta mengkritik budaya ”sepakat” di pepatah Minang yang bunyinya, ”Kemanakan beraja ke mamak-mamak beraja ke penghulu–Penghulu beraja ke mufakat”. Hatta menilai hal itu bukan musyawarah untuk mufakat atas nama rakyat, melainkan penghulu desa saja.
Kekhawatiran serupa diutarakan Sutan Sjahrir yang menilai gagasan kolektif musyawarah untuk mufakat dapat berpotensi jatuh pada absolutisme kekuasaan negara atau para elite.
Musyawarah untuk mufakat yang sejati seharusnya dilandaskan pada kedaulatan rakyat, bukan kesepakatan segelintir elite. Proses dialognya harus dilakukan secara terbuka demi mencegah dominasi perorangan, kelompok, atau golongan serta guna menjaga keputusan politik tetap pada rel kepentingan umum.
Apa yang terjadi belakangan ini menunjukkan kekhawatiran Hatta dan Sjahrir bisa menjelma menjadi kenyataan. Hakikat musyawarah untuk mufakat yang ideal terdistorsi di tengah konsolidasi kepentingan elite yang kerap bertentangan dan mengabaikan kepentingan publik itu sendiri.
Penguasaan sumber daya dan posisi strategis yang dimiliki segelintir elite partai tidak hanya mengancam kehidupan demokrasi di internal partai, tetapi juga demokrasi secara umum. Elitisme itu mewujud pada sejumlah wacana kebijakan dan peraturan perundang-undangan yang bergulir belakangan ini.
Amendemen Undang-Undang Dasar 1945 yang sedang bergulir di MPR, misalnya, melebar ke mana-mana. Sempat muncul gagasan meniadakan voting dan mengatur pengambilan keputusan amendemen secara musyawarah untuk mufakat, istilah lain untuk aklamasi. Hal itu direncanakan diatur lewat revisi Pasal 2 Ayat 3 UUD 1945.
Di tengah konsolidasi kepentingan elite, narasi aklamasi itu semakin menguatkan demokrasi elitis dan menggerus kedaulatan rakyat. Melalui aklamasi, wacana liar dalam amendemen konstitusi, seperti mengubah masa jabatan presiden-wakil presiden menjadi tiga periode, atau mengembalikan pemilihan umum menjadi tidak langsung, bisa dengan mudah disepakati.
Gejala elitisme semakin kentara lewat wacana lain, seperti merevisi UU tentang Pemilihan Kepala Daerah untuk mengubah sistem pilkada dari langsung menjadi tidak langsung (dipilih oleh DPRD). Sejumlah partai juga mendorong revisi UU tentang Pemilihan Umum untuk mengganti sistem pemilihan umum legislatif menjadi proporsional tertutup. Sistem tertutup ialah calon anggota legislatif pemenang ditentukan oleh partai, meniadakan kedaulatan rakyat sebagai pemilih, yang sebelumnya terjamin dalam sistem proporsional terbuka.
Reformasi partai
Di tengah menguatnya tren aklamasi dan oligarki partai, reformasi partai menjadi kebutuhan mendesak. Selepas reformasi 1998, partai ialah salah satu institusi yang relatif tak mengalami perubahan signifikan dari segi kelembagaan, sistem pendanaan dan transparansi keuangan, ataupun sistem perekrutan calon pemimpin di berbagai tingkatan.
Rencana kenaikan dana bantuan partai politik menjadi 48 kali lipat oleh pemerintah pun menjadi momentum pintu masuk membenahi partai. Partai, yang selama ini kesulitan dengan dana operasional, akan diberi bantuan subsidi oleh negara dalam jumlah besar asalkan bersedia dibenahi. Pembenahan pun harus berlangsung komprehensif.
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia dan Komisi Pemberantasan Korupsi telah menggagas Sistem Integritas Partai Politik (SIPP), suatu mekanisme untuk mengukur standar demokrasi di internal partai dari aspek keuangan partai, perekrutan, kaderisasi, demokrasi internal, dan kode etik. Indeks itu akan mengukur keadaan partai secara tahunan.
Baca juga: Kenaikan Dana Bantuan Partai Politik Disertai Syarat
Saat ini, revisi UU Partai Politik sudah masuk dalam daftar Program Legislasi Nasional 2019-2024 yang disusun DPR dan pemerintah. Meski konsep materi revisi yang diusulkan pemerintah dan DPR belum jelas, hal itu bisa menjadi momentum untuk membenahi partai, termasuk persoalan kaderisasi, regenerasi, dan mendorong budaya demokrasi yang sehat di partai.
Gejala aklamasi, supremasi patron, dan elitisme di partai politik tidak bisa dipandang sebelah mata atau dianggap lumrah. Reformasi partai politik mutlak dilakukan. Pertanyaannya, mau atau tidak?