Menko Polhukam Mahfud MD menegaskan, tragedi Semanggi I dan II termasuk kasus pelanggaran HAM berat yang menjadi fokus pemerintah untuk diselesaikan.
Oleh
M Ikhsan Mahar
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD memastikan tragedi Semanggi I dan II merupakan salah satu kasus pelanggaran hak asasi manusia berat yang menjadi fokus untuk dirampungkan oleh pemerintah. Atas dasar itu, Kejaksaan Agung berkomitmen untuk menyelesaikan kasus tersebut untuk memberikan keadilan bagi korban dan keluarga korban.
Mahfud menuturkan telah muncul simpang siur terkait pernyataan Jaksa Agung ST Burhanuddin di Komisi III DPR, pekan lalu. Kala itu, lanjut Mahfud, Jaksa Agung menyebut bahwa pada 2001 DPR pernah menyatakan kasus Semanggi I dan II bukan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat.
Namun, Mahfud menekankan, Kejaksaan Agung (Kejagung) menjadikan pendapat Panitia Khusus Kasus Trisakti serta Semanggi I dan II dalam rapat paripurna DPR, 9 Juli 2001, itu sebagai catatan untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu itu. Proses penyelesaian kasus itu, salah satunya melalui jalur konstitusi masih terus dijalankan oleh Kejagung.
Dalam rapat paripurna itu, sebanyak tujuh fraksi, yaitu Fraksi Golkar, Fraksi Partai Persatuan Pembangunan, Fraksi Partai Bulan Bintang, Fraksi Reformasi, Fraksi Kesatuan Kebangsaan Indonesia, Fraksi Perserikatan Daulatul Ummah, dan Fraksi TNI/Polri berpendapat tidak terjadi pelanggaran HAM berat dalam tragedi Trisakti, Semanggi I, dan Semanggi II. Sementara itu, Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Fraksi Partai Demokrasi Kasih Bangsa, dan Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa menilai telah ada pelanggaran HAM berat dalam tiga peristiwa itu.
Menanggapi hasil paripurna itu, Presiden Abdurrahman Wahid menyatakan, DPR tidak berhak mengambil keputusan mengenai status pengadilan tragedi Trisakti, Semanggi I, dan Semanggi II (Kompas, 19/7/2001).
“Sekarang karena masih menjadi catatan Kejagung, maka (kasus Semanggi I dan II) akan diselesaikan. Secara politik, Kejagung siap dipertemukan dengan Komisi Nasional HAM di DPR, serta secara yuridis, Kejagung akan mengikuti ketentuan hukum yang berlaku,” ujar Mahfud usai melakukan pertemuan dengan Burhanuddin sekitar 30 menit, Rabu (22/1/2020), di Jakarta.
Adapun, Burhanuddin menyatakan, pihaknya menjadikan penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat masa lalu sebagai perhatian. Kejagung, lanjutnya, siap dipertemukan dengan Komnas HAM oleh Komisi III DPR untuk membahas kasus pelanggaran HAM berat masa lalu.
“Kami mohon dukungan untuk menyelesaikan (kasus pelanggaran HAM berat masa lalu) itu. Karena saya tidak ingin kasus ini menjadi beban Kejaksaan Agung, termasuk Jaksa Agung mendatang,” tutur Burhanuddin.
Kewenangan penuh
Komisioner Komnas HAM, Amiruddin Al Rahab, menuturkan, apabila Jaksa Agung berkomitmen untuk menyelesaikan kasus Semanggi I dan II, maka penyidikan kasus itu harus dilakukan. Sebab, sesuai Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, lanjut Amiruddin, Jaksa Agung sepenuhnya memiliki kewenangan untuk memulai proses penyidikan hingga melimpahkan kasus pelanggaran HAM berat itu ke pengadilan HAM.
Hal itu tertuang dalam Pasal 21 No UU 26/2000. Untuk pelaksanaan penyidikan itu, Jaksa Agung dapat mengangkat penyidik ad hoc yang berasal dari unsur pemerintah dan/atau masyarakat. Selain penyidikan, di dalam Pasal 23 UU No 26/2000, Jaksa Agung juga memiliki kewenangan penuntutan terhadap perkara pelanggaran HAM berat.
“Oleh karena itu, Jaksa Agung cukup menjalankan tanpa ragu kewenangannya yang diberikan UU No 26/2000. Penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat dibutuhkan, terutama karena korban dan keluarganya sudah terlalu lama menunggu kepastian dan keadilan,” tutur Amiruddin.
Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia Asfinawati menekankan, Jaksa Agung berwenang untuk mengumpulkan barang bukti kasus pelanggaran HAM berat masa lalu. Oleh karena itu, lanjutnya, Burhanuddin keliru apabila mempermasalahkan kurangnya bukti dalam proses penanganan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu.
“Jangan sampai ada kesan Jaksa Agung melakukan politik impunitas. Sebab, langkah itu cenderung menghilangkan hak korban atas keadilan,” kata Asfinawati.