Tim Gabungan Bentukan Kemenkumham Terkait Harun Masiku Tak Relevan
Rencana Kementerian Hukum dan HAM membentuk tim gabungan menelusuri keberadaan politisi PDI-P yang juga buron KPK Harun Masiku dinilai tak relevan. Apalagi Menkumham Yasonna Laoly sebelumnya salah memberikan keterangan.
Oleh
Kurnia Yunita Rahayu
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pembentukan tim gabungan beberapa institusi oleh Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia untuk menelusuri fakta kepulangan buronan Komisi Pemberantasan Korupsi, Harun Masiku, dinilai tidak diperlukan. Berkaca pada kekeliruan informasi yang disampaikan jajaran kementerian sebelumnya, kerja tim tersebut juga diragukan.
Anggota Ombudsman Bidang Peradilan dan Hak Asasi Manusia (HAM), Adrianus Meliala, saat dihubungi Kompas dari Jakarta, Sabtu (25/1/2020), membenarkan, lembaganya merupakan salah satu yang disebut Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) sebagai salah satu anggota tim gabungan. Akan tetapi, hingga hari ini belum ada koordinasi dari Kemenkumham kepada Ombudsman tentang tim tersebut.
Sekalipun akan dilibatkan, Adrianus menilai penelusuran fakta mengenai kepulangan Harun Masiku, tersangka suap kepada eks anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU), tidak memerlukan kerja tim tersebut. Apalagi dengan melibatkan Ombudsman karena bertentangan dengan tugas, fungsi, dan relasi antarlembaga.
”Ombudsman adalah pengawas kinerja pelayanan publik Kemenkumham. Bagaimana bisa pengawas diajak dalam satu tim bersama dengan yang diawasi,” kata Adrianus.
Adrianus melanjutkan, urusan Harun merupakan tanggung jawab Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Merujuk pemberitaan di media massa, lembaga antirasuah juga sudah bekerja sama dengan kepolisian untuk mencari Harun.
Senada dengan Adrianus, peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Kurnia Ramadhana, juga berpendapat, pembentukan tim gabungan Kemenkumham tidak diperlukan. Berkaca dari polemik kekeliruan data kepulangan Harun, ia meragukan kredibilitas dan integritas tim.
”Kami tidak percaya kalau kerja tim itu akan efektif karena sebelumnya saja Kemenkumham sudah keliru soal data. Seharusnya kekeliruan itu yang segera ditindaklanjuti oleh beberapa pihak,” katanya.
KPK, misalnya, perlu segera menindaklanjuti laporan ICW atas dugaan obstruction of justice yang dilakukan Menkumham Yasonna Laoly. Ombudsman juga diharapkan segera memeriksa kejanggalan dari kerja Kemenkumham saat memberikan informasi kepulangan Harun.
Sementara itu, Kemenkumham perlu mengevaluasi kekeliruan data dan informasi yang disampaikan secara internal. Menurut Kurnia, evaluasi itu semestinya tidak rumit, apalagi sudah ada investigasi media massa yang bisa memaparkan proses pendeteksian kepulangan Harun. Hal serupa tentu bisa dilakukan Kemenkumham dalam waktu singkat.
Pembentukan tim gabungan disampaikan Inspektur Jenderal Kemenkumham Jhoni Ginting saat ikut mengklarifikasi pengubahan informasi kepulangan Harun bersama Direktur Jenderal Imigrasi Ronny F Sompie, kemarin. Jhoni mengatakan, tim gabungan terdiri dari berbagai institusi dan bersifat independen.
”Tujuan dibentuknya tim gabungan yang bersifat independen ini dalam rangka menelusuri dan mengungkapkan fakta-fakta yang sebenarnya mengenai masuknya tersangka Harun Masiku dari Singapura ke Indonesia,” katanya.
Selain Inspektorat Jenderal Kemenkumham, ada empat institusi lain yang didapuk masuk tim gabungan. Institusi itu adalah Direktorat Tindak Pidana Siber Badan Reserse Kriminal Kepolisian Negara RI (Bareskrim Polri), Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN), serta Ombudsman.
Polemik penyampaian informasi kepulangan Harun bermula pada 13 Januari 2020 ketika Kepala Bagian Humas Ditjen Imigrasi Arvin Gumilang menyampaikan bahwa Harun telah meninggalkan Indonesia menuju Singapura pada 6 Januari 2020 dan belum kembali ke Tanah Air. Berdasarkan data Ditjen Imigrasi, Yasonna mengungkapkan hal serupa dalam jumpa pers pembentukan Tim Hukum Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) pada 16 Januari 2020.
Dua hari setelahnya, Ronny F Sompie saat diwawancarai sejumlah wartawan juga mengatakan bahwa Harun belum kembali ke Tanah Air sejak meninggalkan Indonesia pada 6 Januari 2020. Bahkan, pernyataan yang sama masih dikemukakan Ketua KPK Firli Bahuri seusai menemui pimpinan DPR di Kompleks Parlemen, Jakarta, 20 Januari 2020.
Pengubahan informasi baru dilakukan Ronny F Sompie lalu diteruskan dengan jumpa pers jajaran Ditjen Imigrasi pada 22 Januari 2020. Saat itu, disampaikan bahwa Harun telah kembali ke Tanah Air menggunakan maskapai Batik Air lewat Terminal 2F Bandara Soekarno-Hatta pada 7 Januari 2020.
Yasonna tak datang
Terkait polemik kesalahan informasi itu, Ombudsman memanggil Yasonna pada Senin (27/1/2020) untuk mendapatkan keterangan resmi terkait dugaan mala-administrasi dan konflik kepentingan dalam penyampaian informasi kepulangan Harun oleh Imigrasi dan Yasonna. ”Ada indikasi Kemenkumham sudah menjadi pihak yang tidak netral atau memiliki kepentingan, mengingat pernyataan Menkumham dan Dirjen Imigrasi yang berbeda,” kata Adrianus.
Ia melanjutkan, surat pemanggilan sudah dikirimkan. Namun, dari komunikasi terakhir dengan jajaran Kemenkumham, Yasonna berhalangan hadir dan akan diwakilkan oleh Ronny F Sompie.
Ada tiga hal yang akan didalami Ombudsman. Pertama, mengenai sistem basis data imigrasi yang bermasalah, bahkan di bawah standar kualitas. Padahal, selama ini kualitas sistem tersebut dikenal terjamin.
Kedua, terkait dengan informasi kepulangan Harun yang baru disampaikan setelah lebih dari dua pekan penyidikan terhadap Harun berjalan. Terakhir, Ombudsman juga akan mendalami indikasi obstruction of justice atau menghalangi proses hukum atas pernyataan Yasonna, jika memang dia sebenarnya sudah mengetahui kepulangan Harun.