Merespons Perubahan bersama Teknologi
Respons atas perkembangan eksponensial teknologi terjadi di sejumlah bidang untuk meningkatkan kualitas demokrasi di Indonesia. Teknologi bisa membawa perubahan, tetapi manusialah yang menentukan arah perubahan itu.
Pada tahun 2012, Usman Hamid dan kawan-kawannya memulai gerakan petisi daring di Indonesia. Lewat platform Change.org Indonesia, berbagai isu diubah menjadi kesadaran bersama yang digalang di ruang maya.
Khalayak merespons gerakan itu. Pada tahun pertama, Change.org Indonesia baru memiliki sekitar 8.000 anggota. Kini sekitar 13 juta orang bergabung di dalamnya, mayoritas warga Ibu Kota.
Platform Change.org diluncurkan pada 7 Februari 2007 oleh Ben Rattray yang kuliah di Stanford University. Dalam buku Dinamo (Digital Nation Movement) yang ditulis Usman Hamid (2014) dikisahkan perkenalan Usman dengan Change.org berawal dari surat elektronik Paul Barber dari kelompok TAPOL. Kelompok TAPOL bergerak pada perjuangan pembebasan tahanan politik atau siapa pun yang saat itu dipenjara karena pikiran atau aspirasi politik. Paul mengabarkan bahwa Change.org mencari orang di Indonesia.
Setelah melalui sejumlah proses, pada 19 Januari 2013, Usman bersama Arief Aziz serta kolaborasi dengan sejumlah lembaga menyelenggarakan kegiatan bertajuk ”Dinamo (Digital Nation Movement)” di Jakarta. Salah satu tujuannya ialah mengomunikasikan ihwal Change.org kepada publik.
Cerita selanjutnya, sebagian kita telah mengetahuinya. Sejumlah ”kemenangan” diraih publik lewat petisi tersebut. Sekalipun di Indonesia belum ada mekanisme legal bagi pemerintah untuk menjawab, mengakomodasi, atau membahas petisi tersebut, ada sejumlah kasus di mana petisi sukses membawa perubahan.
Saat ini, jika kita ingin meninjau sejumlah ”kemenangan” itu, informasinya tersaji di laman Change.org. Contoh ”kemenangan” itu, dibatalkannya pengesahan Rancangan Undang-Undang Pertanahan, Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana, dan penyandang disabilitas mengikuti CPNS 2019 di semua formasi.
”Soal KUHP itu, lebih dari sejuta (orang) ternyata yang tanda tangan. Itu gila, saya tidak kebayang (jumlahnya bakal sebanyak itu),” kata Usman, Selasa (7/1/2020).
Baca: RKUHP Ancam Kebebasan
Menurut Usman, pihaknya tidak pernah membayangkan isu seperti RKUHP yang sangat serius dan biasanya hanya menjadi urusan LBH, para sarjana, dan pusat-pusat studi di universitas yang memiliki fakultas hukum ternyata juga bisa melibatkan pengguna internet dalam jumlah besar. Isu tersebut ternyata relevan dengan kehidupan pribadi banyak orang. Pada sisi itulah ada partisipasi aktif yang bernilai penting.
Perilaku manusia
Setelah memasuki tahun ketujuh Change.org Indonesia, Usman yang kini menjabat Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia merefleksikan gerakan bersama Change.org Indonesia. Menurut dia, pada akhirnya semua kembali pada perubahan perilaku manusia.
Perubahan yang bersifat reformatif atau revolusioner di banyak negara, imbuh Usman, bukan pertama-tama ditentukan oleh teknologi. Tidak ditentukan oleh revolusi industri 1.0 hingga 4.0, atau perkembangan berikutnya. Perubahan lebih dipengaruhi oleh perubahan masyarakat dalam mengadopsi perilaku baru.
”Jadi, bukan karena the new technology-nya keadaan sosial atau keadaan politik berubah, melainkan pada the new behaviour-nya,” ujar Usman.
Baca juga: Aplikasi Daring Beri Arah Masa Depan Daerah
Teknologi, menurut dia, selalu membawa bahaya karena merupakan manifestasi baru terhadap keserakahan manusia untuk mengejar keuntungan ekonomi. Namun, ada pula keinginan untuk merebut teknologi baru guna tujuan kebajikan, kebaikan, dan keutamaan perubahan sosial.
Di Change.org, tidak semua petisi mendorong perubahan positif. Ada juga yang berbau kebencian rasial, etnis, orientasi seksual, atau sekedar pro-kontra dalam sebuah kebijakan. Untuk mengatasi hal semacam itu, pihaknya bisa menurunkan petisi jika ada ulasan atau keberatan dari para pengguna. Mekanisme ini dilakukan untuk petisi-petisi yang tidak terpantausebab, pada faktanya setiap orang dapat mengawali petisi, kapan saja dan darimana saja.
Terkait dengan seberapa banyak dukungan, perhatian, dan keterlibatan yang akan diterima oleh pembuat petisi, David Karpf (2017) menyebutkan, hal itu tergantung dari bagaimana petisi tersebut sesuai dengan nilai-nilai dan visi situs penyedia layanan. Karpf menyebutkan hal itu dalam buku Analytic Activism. Digital Listening and the New Political Strategy.
Masih menurut Karpf, Change.org dikategorikan sebagai ”B-corp” atau benefit corporation, di mana nilai-nilai publik dimasukkan ke dalam anggaran dasar korporasi. Berbeda dengan organisasi nonpemerintah, korporasi ini berupaya menghasilkan laba dan memprioritaskan pertumbuhan.
Model bisnisnya, menurut Karpf, berjalan dengan pendanaan dari seputar petisi yang disponsori. Organisasi-organisasi nonprofit besar dan kampanye-kampanye politik menggunakan Change.org untuk membuat daftar donor-donor potensial. Mereka membayar Change.org untuk setiap nama yang mereka peroleh lewat petisi yang disponsori.
Usman kembali menegaskan bawa pada akhirnya perubahan itu bukan tergantung dari kehebatan platform, melainkan pada partisipasi aktif pengguna Change.org. ”(Perubahan) Bukan untuk mereka yang berhati lemah, dalam arti menyerah pada keadaan,” katanya.
(Perubahan) Bukan untuk mereka yang berhati lemah, dalam arti menyerah pada keadaan.
Ia menegaskan, perubahan tidak terjadi karena seseorang dibekali teknologi. Akan tetapi, lebih pada kepercayaan diri untuk bangkit dan bersuara memperjuangkan perubahan. Itu berlaku untuk perubahan hidup, perubahan kebijakan sebuah lembaga, atau perubahan aturan. Kepercayaan diri dan dorongan itu hanya muncul karena kepekaan, solidaritas, dan rasa ketidakadilan yang diwujudkan dalam tindakan.
”Teknologinya hanya jadi alat dan ruang saja,” ujarnya.
Pemantau demokrasi
Inisiatif lainnya dilakukan Mata Rakyat Indonesia, gerakan pemantau Pemilu 2019. Relawan Mata Rakyat memasukkan hasil rekapitulasi perolehan suara di tempat pemungutan suara (TPS) dan foto C1 plano dengan menggunakan aplikasi Mata Rakyat berbasis sistem operasi iOS dan Android.
Mata Rakyat ditujukan meningkatkan kualitas pemantauan proses pemilu. Jika pemantauan berjalan baik dan kuat, akan terdapat alternatif hasil sementara yang punya legitimasi karena berdasar pada data sahih. Masyarakat diharapkan tak lagi terjebak pada konflik karena tiap orang bisa merujuk pada data penghitungan yang tepercaya.
Terkait dengan hal itu dan merespons perkembangan teknologi terkini, Sekretaris Jenderal Mata Rakyat Indonesia Bayu Adi Permana mengatakan, pihaknya kini mendukung rencana sukarelawan pemantau untuk membuat program pemantauan berbasis teknologi blockchain. Keunggulan blockchain adalah sistem yang bisa mengoreksi sistem dimaksud. Semua pemantau yang beroleh akses untuk memasukkan data dan beroleh otorisasi dapat melihat pekerjaan pemantau lain dengan akses serupa. Selanjutnya, ia juga bisa melakukan koreksi jika ada kesalahan dilakukan oleh pemantau lain terkait dengan data yang dimasukkan.
Bagi Bayu, teknologi bisa menjadi penggerak manusia. Bukan sebaliknya. Masyarakat tinggal diarahkan dan diedukasi untuk mengikuti perkembangan teknologi.
Dalam konteks pemilu, Bayu mencontohkan penggunaan teknologi pemungutan suara, seperti e-voting, yang sebenarya sudah bisa diadopsi di Indonesia. Terlepas dari sejumlah persoalan yang melingkupinya, dengan teknologi ini, pemilu yang transparan, kredibel, dan menerapkan prinsip kehati-hatian dapat terselenggara.