Jumlah regulasi turunan dalam Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja dinilai terlalu banyak. Padahal, berkaca pengalaman selama ini, regulasi turunan sering tak selaras dengan tujuan atau intensi undang-undang dibentuk.
Oleh
RINI KUSTIASIH
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja yang dibentuk dengan mekanisme omnibus law membuka celah pada lebih banyaknya pembentukan peraturan pemerintah sebagai peraturan pelaksana UU. Besarnya potensi pembentukan aturan itu di satu sisi dapat dipandang sebagai upaya merumuskan UU sebagai regulasi yang bersifat umum, sementara detail teknis yang juga penting diserahkan pengaturannya kepada pemerintah.
Pengajar Hukum Tata Negara Universitas Andalas, Padang, Khairul Fahmi, saat dihubungi dari Jakarta, Jumat (21/2/2020), mengatakan, hasil penyisirannya menunjukkan ada sekitar 500 rujukan pengaturan dalam peraturan pemerintah (PP) atau peraturan lain yang diatur di dalam RUU Cipta Kerja.
Kendati tidak semuanya akan diwujudkan dalam bentuk peraturan pelaksana, jumlah itu cukup besar untuk sebuah peraturan pelaksana teknis sebuah UU. Salah satunya yang penting ialah pengaturan teknis mengenai tata ruang dan lingkungan hidup yang dinilai krusial untuk juga diatur rambu-rambunya di dalam UU dan tidak diserahkan begitu saja kepada PP.
”Dalam pembuatan peraturan perundang-undangan, hal-hal yang krusial semestinya diatur di dalam UU. Bilamana ingin mendelegasikan sesuatu ke dalam PP, cukuplah hal-hal yang sifatnya penjabaran teknis saja. Janganlah segala sesuatunya diserahkan pengaturan teknisnya kepada PP, tanpa UU memberikan pengaturan atau rambu-rambunya secara jelas,” tutur Fahmi.
Apabila hal itu terjadi, pemerintah atau presiden sebagai pembentuk PP akan memiliki kewenangan besar dalam menerjemahkan UU sesuai dengan pemahamannya. Ketiadaan rambu-rambu yang jelas di dalam UU akan membuat makna dan substansi PP itu bisa saja melenceng dari maksud UU tersebut dibentuk.
Dalam kondisi semacam ini, DPR selaku pembentuk regulasi akan kesulitan untuk menyeimbangkan aturan di dalam PP, karena pembentukan PP berada di tangan pemerintah. Lain halnya di dalam pembentukan UU yang pasti melibatkan DPR sebagai kekuatan penyeimbang.
”Dilema kita ialah selalu UU itu dibuat cukup yang umum-umum saja sehingga dalam pelaksanaan sering terjadi bias antara maksud UU dan pelaksanaannya di dalam PP. Untuk menghindari bias itu, sejauh mungkin delegasi kepada peraturan pelaksana itu dikurangi hanya untuk hal-hal yang sifatnya teknis pelaksanaan,” kata Fahmi.
Pengaturan yang jelas untuk hal-hal yang krusial di dalam UU juga mencerminkan pembatasan kekuasaan pemerintah. Apabila rambu-rambu itu tidak ditemui di dalam UU, PP yang dihasilkan akan menjadikan kekuatan eksekutif begitu besar dalam menafsirkan UU dalam pelaksanaannya. Hal ini pun menjadi tidak sehat bagi demokratisasi sebab kekuatan legislasi presiden makin besar atau menguat di satu sisi, sementara DPR tidak memiliki kontrol pada pembuatan PP.
Salah satu pasal yang menjadi sorotan ialah Pasal 170 RUU Cipta Kerja, yang mengatur perubahan UU dapat dilakukan melalui PP. Hal ini menyiratkan adanya nuansa batin dan kesadaran di dalam pemerintah untuk menguatkan peran legislasinya demi tujuan tertentu, yang sekalipun itu baik, tetapi bisa menjadi berbahaya bagi demokrasi dan negara hukum.
”Dengan penguatan PP yang terlalu berlebihan, potensi kekuasaan yang tidak terbatas akan semakin besar. DPR harus mencermati hal ini, sehingga dalam pembahasan RUU Cipta Kerja ada kepastian rambu-rambu yang jelas diatur di dalam UU dan tidak menyerahkan begitu saja pengaturan suatu hal kepada PP,” kata Fahmi.
Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Ahmad Baidowi mengatakan, sekalipun Baleg belum mendapatkan tugas untuk membahas RUU itu secara komprehensif, pada dasarnya setiap fraksi memiliki komitmen untuk menyisir satu demi satu pasal di dalam RUU Cipta Kerja.
Fraksi PPP, misalnya, telah meminta tenaga ahli untuk mendalami draf yang diserahkan pemerintah kepada DPR.
”Sudah pasti usulan draf itu akan kami kritisi, termasuk poin-poin mana saja yang terlalu teknis yang didelegasikan kepada PP. Pada dasarnya UU itu memang kebijakan politik sehingga jangan sampai juga hal-hal yang terlalu teknis itu dibahas di dalam UU,” katanya.
Idealnya, dalam penyusunan PP pun pemerintah tetap perlu berkonsultasi dengan DPR. Dengan demikian, pemahaman di dalam PP itu tidak melenceng dari maksud UU. ”Kami tentu ingin semua bisa diselesaikan di dalam aturan UU sehingga tidak terlalu banyak PP. Sebab, banyaknya PP juga akan berpotensi pemaknaannya tidak sesuai dengan semangat UU itu sendiri,” kata Baidowi.
Ketua Satuan Tugas Omnibus Law Rosan Roeslani mengatakan, draf RUU Cipta Kerja tidak berdiri sendiri. Dalam tema-tema tertentu, seperti lingkungan hidup, akan dibahas lebih detail di dalam PP ataupun peraturan presiden. Pengaturan yang terlalu detail akan menyulitkan pembahasan di dalam UU yang sifatnya lebih umum.
”Aturan detail omnibus law nanti akan dilakukan di perpres dan PP,” katanya.
Rosan mengatakan, pihaknya tidak ikut merumuskan substansi RUU Cipta Kerja sehingga tidak dapat menjelaskan mekanisme penyusunan yang dilakukan pemerintah, termasuk dalam melakukan sinkronisasi ketentuan antarberbagai UU. Namun, satgas diberi tugas oleh pemerintah untuk menyosialisasikan omnibus law tersebut kepada semua pihak berkepentingan.
Hingga kini, dua RUU dengan mekanisme omnibus law, yakni RUU Perpajakan dan RUU Cipta Kerja, belum dibahas dalam Rapat Paripurna DPR. Pekan depan, DPR memasuki masa reses sehingga pembahasan dua RUU itu kemungkinan baru bisa dilakukan Maret mendatang atau ketika DPR mulai bersidang kembali.
Sebelumnya, Ketua Fraksi Partai Gerindra Ahmad Muzani mengingatkan perlunya memperhatikan demokratisasi dalam penyusunan legislasi. Setiap UU harus mengikuti ketentuan yang berlaku, baik dalam penyusunan maupun perubahannya.
Polemik Pasal 170 harus dilihat dengan mendalam dan tidak buru-buru dijustifikasi. Namun, jangan pula hal itu dimaksudkan untuk menganulir fungsi DPR atau DPRD dalam menyusun UU dan peraturan daerah (perda). Selain Pasal 170, ada pula rumusan serupa, yakni mengubah perda dengan peraturan presiden (perpres), sebagaimana diatur di dalam Pasal 166 RUU Cipta Kerja.
”Pola ketatanegaraan kita jadi berbenturan dengan pola-pola berikutnya. Karena, jangan sampai menganulir fungsi DPR, baik DPR maupun DPRD. DPRD, kan, fungsinya pembuat perda. Apabila perda itu bertentangan dengan UU yang ada di atasnya, kan ada mekanismenya, dan itu bukan perpres. Ini menimbulkan kekhawatiran baru tentang rezim yang malah bisa mengebiri proses demokrasi,” katanya.
Pimpinan DPR pun dalam beberapa kesempatan menyatakan tekad mereka untuk mengkritisi RUU Cipta Kerja yang diserahkan pemerintah kepada DPR. DPR berjanji akan membuka pembahasan dengan melibatkan publik secara luas, termasuk mereka yang terdampak langsung dengan pemberlakuan UU tersebut.