Hatta Ali Pensiun Awal April, Belum Ada Pembicaraan Pemilihan Ketua MA
Ketua MA Hatta Ali akan memasuki masa pensiun sebagai hakim agung pada 7 April 2020 saat berusia 70 tahun. MA di bawah kepemimpinan Hatta Ali meningkatkan penyelesaian perkara dan memodernkan administrasi perkara.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Ketua Mahkamah Agung Hatta Ali akan memasuki masa pensiun sebagai hakim agung pada awal April ini saat usianya mencapai 70 tahun. Sebulan menjelang Hatta Ali pensiun, Mahkamah Agung mengakui belum ada pembicaraan terkait rencana pemilihan pengganti Hatta Ali.
Hatta Ali terpilih sebagai Ketua Mahkamah Agung (MA) periode 2017-2022 dalam sidang paripurna pemilihan Ketua MA pada 14 Februari 2017. Saat itu, Hatta mendapatkan 38 suara, mengungguli hakim agung lainnya, yaitu Hakim Agung Andi Samsan Nganro, Hakim Agung Suhadi, serta Hakim Agung Mukti Arto. Saat terpilih, Hatta berusia 67 tahun. Hatta Ali lahir pada 7 April 1950.
Pasal 11 pada Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, disebutkan bahwa Ketua, Wakil Ketua, Ketua Muda, dan Hakim Agung diberhentikan secara hormat oleh presiden atas usul MA karena; (a) meninggal dunia; (b) berusia 70 tahun; (c) atas permintaan sendiri; (d) sakit terus-menerus selama 3 bulan berturut-turut; dan (e) tidak cakap dalam tugasnya.
Juru Bicara MA Andi Samsan Nganro saat dihubungi Kompas, Sabtu (7/3/2020), mengatakan, hingga pekan pertama Maret ini, belum ada pembicaraan soal rencana pemilihan ketua MA yang baru. Menurut dia, pimpinan MA saat ini masih fokus menyelesaikan tugasnya, terutama pada kegiatan rutin.
Pada awal April 2020, misalnya, katanya, Ketua MA masih dijadwalkan menghadiri Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Akbar di Jakarta. Selain itu, pimpinan MA juga terjadwal akan menghadiri purnabakti Ketua Pengadilan Negeri Semarang serta sejumlah acara peresmian.
”Kami sudah terbiasa dengan prosesi pemilihan ketua MA, jadi tidak perlu persiapan. Pimpinan sendiri juga belum memberikan arahan soal itu,” kata Andi.
Terkait periodisasi masa jabatan ketua MA yang lima tahunan, sementara Ketua MA akan pensiun sebagai hakim agung pada April nanti, Andi mengatakan, MA berpedoman pada UU Mahkamah Agung. Di UU itu jelas diatur tentang masa pensiun hakim agung. Setelah tidak menjabat sebagai hakim agung, tentu seseorang juga tidak bisa menjadi ketua MA.
Nantinya, setelah ketua MA saat ini pensiun, pemilihan ketua MA yang baru akan dilakukan di internal MA. Kepala Bagian Humas MA Abdullah mengatakan, semua hakim agung memiliki potensi terpilih dan dipilih sebagai ketua. Saat ini, ada 43 hakim agung di MA. Selain itu, lima hakim agung akan segera dilantik dan sedang menunggu keputusan presiden (keppres).
”Kapan pun MA siap melakukan pemilihan ketua MA karena mekanismenya adalah semua hakim agung punya potensi untuk dipilih dan memilih,” ujar Abdullah.
Mengikuti aturan UU
Ketua Harian Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (Mappi) Fakultas Hukum Universitas Indonesia Dio Ashar Wicaksana mengatakan, masa periodisasi Ketua MA memang lima tahunan. Namun, jika merujuk usia Ketua MA saat ini yang akan memasuki 70 tahun, aturan yang dipakai tetap UU MA. Menurut dia, sesuai UU MA, hakim agung akan pensiun ketika berusia 70 tahun. Hal itu juga pernah terjadi saat Harifin Tumpa menjabat sebagai Ketua MA. Saat itu, dia harus melepas jabatan sebagai ketua karena memasuki usia pensiun.
”Hal itu sudah jelas diatur di UU Mahkamah Agung,” kata Dio.
Terkait kinerja MA, Dio Ashar mengapresiasi capaian penyelesaian perkara di bawah kepemimpinan Hatta Ali yang meningkat karena mekanisme pembatasan perkara. Selain itu, modernisasi administrasi perkara dengan sistem e-court dan e-litigasi untuk perkara perdata juga dipuji.
Namun, pada tampuk kepemimpinan MA yang baru nanti, segudang pekerjaan juga sudah menunggu. Pekerjaan itu di antaranya mencegah disparitas putusan dengan meningkatkan kualitas putusan peradilan. MA juga bisa mendorong restorative justice atau pelibatan korban di proses peradilan. Restorative justice ialah pendekatan yang lebih menitikberatkan pada terciptanya kondisi keadilan dan keseimbangan bagi pelaku dan korban di tindak pidana. Hal ini dinilai sebagai alternatif baru sistem pemidanaan.
”Terkait dengan eksekusi putusan dalam kasus perdata. Ketika putusan sudah ada, tetapi eksekusinya selalu berlarut-larut, ini harus dicarikan solusinya,” kata Dio.