Komisi II DPR Minta KPU Pertimbangkan Potensi Pilkada Susulan di Daerah Terpapar Covid-19
Komisi II DPR berencana memanggil KPU untuk menanyakan kesiapan maupun perkembangan dalam pelaksanaan tahapan Pilkada 2020. KPU bisa mempertimbangkan skema pilkada lanjutan dan pilkada susulan untuk menyikapi Covid-19.
Oleh
RINI KUSTIASIH
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat meminta Komisi Pemilihan Umum membuat mekanisme operasional standar atau prosedur operasional terstandar secara khusus dalam melaksanakan tahapan Pilkada Serentak 2020. KPU juga diharapkan mempertimbangkan penerapan skema pelaksanaan pilkada lanjutan atau susulan di sejumlah daerah yang diketahui terpapar Covid-19.
Sebelumnya, dalam rapat pleno Komisi Pemilihan Umum (KPU) di Jakarta, Senin (16/3/2020), KPU merumuskan sejumlah langkah pencegahan Covid-19 di tengah tahapan Pilkada 2020 yang akan berlangsung di 270 daerah pada 23 September mendatang. Langkah itu di antaranya membekali petugas KPU dengan masker dan hand sanitizer atau pembersih tangan. Pengumpulan massa dalam jumlah besar juga dihindari oleh KPU.
Selain itu, KPU juga menegaskan tahapan yang akan berlangsung Maret-April 2020 tetap berlangsung, seperti pemutakhiran data pemilih, pelantikan Panitia Pemungutan Suara, serta verifikasi berkas dukungan bakal calon perseorangan. KPU juga menyampaikan belum ada opsi untuk menunda tahapan Pilkada 2020.
Terkait hal itu, Ketua Komisi II DPR dari Fraksi Partai Golkar Ahmad Doli Kurnia, Selasa (17/3/2020), di Jakarta mengatakan, prosedur operasional terstandar (SOP) khusus itu diperlukan untuk mengantisipasi penyebaran Covid-19 dalam tahapan Pilkada 2020. SOP itu nantinya akan dipantau bersama-sama antara Komisi II DPR dan masyarakat sipil sehingga semua ikut memastikan SOP atau protokol khusus itu dilaksanakan dengan tertib.
”Nanti akan kita evaluasi dari hari ke hari dan minggu ke minggu, sembari melihat bagaimana maklumat atau kebijakan pemerintah. Sebab, pemerintah telah memperpanjang masa tanggap bencana Covid-19 hingga Mei 2020. Intinya, kami berharap pandemi ini terkendali sehingga tata kelola harus disiapkan untuk mengantisipasi hal-hal yang tidak diinginkan,” kata Doli.
Pemerintah telah menetapkan masa darurat bencana korona hingga 29 Mei 2020. Pada 17 Maret, sudah ada 172 pasien positif Covid-19. Jumlah ini bertambah 38 kasus dibandingkan dengan sehari sebelumnya (Kompas.com, 17/3/2020).
Masyarakat saat ini masih dalam kondisi terpukul akibat mewabahnya Covid-19 yang disebabkan oleh virus korona jenis baru. Oleh karena itu, menurut Doli, KPU dan pemerintah tidak bisa juga memutuskan secara terburu-buru untuk menunda pelaksanaan tahapan Pilkada 2020.
”Karena masih shock, jangan panik dulu dan memutuskan memundurkan pilkada. Kita lihat dulu seminggu atau dua minggu ini, apakah situasi terkendali ataukah tidak, dan apakah ada kebijakan atau maklumat baru dari Presiden,” katanya.
Doli menambahkan, secara informal telah berkomunikasi dengan anggota KPU terkait antisipasi Pilkada 2020 di tengah mewabahnya virus korona. Di masa sidang berikutnya, Komisi II DPR berencana memanggil KPU untuk menanyakan kesiapan maupun perkembangan dalam pelaksanaan tahapan Pilkada 2020.
Wakil Ketua Komisi II DPR dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan M Arwani Thomafi mengatakan, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada telah memberikan skema dan aturan bilamana terjadi bencana alam, kerusuhan, gangguan keamanan, dan gangguan lainnya dalam pelaksanaan pilkada.
”Dalam konteks saat ini, persoalan virus korona dapat masuk dalam kategori gangguan lainnya,” katanya.
Dengan memperhatikan hal itu, KPU bisa mempertimbangkan skema pilkada lanjutan dan pilkada susulan. Pasal 120 Ayat (1) UU Pilkada mengatur mengenai pemilihan lanjutan jika gangguan tersebut mengakibatkan sebagian tahapan penyelenggaraan pilkada tidak dilaksanakan. Pelaksanaan pemilihan lanjutan dimulai dari tahap penyelenggaraan pemilihan yang terhenti.
Adapun skema lainnya, yakni pilkada susulan, dipilih jika gangguan tersebut mengakibatkan seluruh tahapan penyelenggaraan pemilihan terganggu. Hal ini diatur dalam Pasal 121 Ayat (1) UU Pilkada. Pelaksanaan pilkada susulan dilakukan untuk seluruh tahapan penyelenggaraan. Menurut Arwani, keputusan pilkada apakah dilakukan dengan skema lanjutan atau susulan sangat ditentukan kondisi obyektif di lapangan.
”Dalam hal ini, pemetaan wilayah yang terpapar virus korona menjadi relevan. Pemetaan ini tentu harus berbasis data yang valid dan dihasilkan dari koordinasi dengan pemangku kepentingan lainnya dengan mempertimbangkan aspek perlindungan masyarakat,” ujarnya.
Menurut UU Pilkada, skema pilkada lanjutan atau susulan dalam pemilihan gubernur dapat ditempuh jika 40 persen jumlah kabupaten/kota atau 50 persen jumlah pemilih yang terdaftar tidak dapat menggunakan haknya. Penetapan pilgub lanjutan atau susulan dilakukan oleh menteri atas usul KPU provinsi.
Begitu juga skema pilkada lanjutan atau susulan untuk pemilihan bupati atau pemilihan wali kota dilakukan jika 40 persen jumlah kecamatan atau 50 persen dari jumlah pemilih terdaftar tidak dapat menggunakan haknya untuk memilih. Penetapan pemilihan lanjutan atau susulan dilakukan oleh gubernur atas usul KPU kabupaten/kota.
”Kami meminta KPU segera melakukan pemetaan daerah-daerah penyelenggaraan pilkada dengan menghitung kondisi obyektif daerah yang terkena sebaran virus korona. KPU tentu harus berkoordinasi dengan instansi terkait mengenai validitas data dan potensi atas paparan korona,” katanya.
Menurut Arwani, pelaksanaan pilkada harus tetap menomorsatukan perlindungan terhadap warga negara tanpa terkecuali atas ancaman virus korona. Opsi mengenai model kampanye juga telah diatur dalam Pasal 65 Ayat (1) UU Pilkada, seperti pertemuan terbatas, pertemuan tatap muka/dialog, dan debat publik/debat terbuka antarpasangan.
Apakah akan dilakukan pembatasan atas model kampanye terbuka, ataukah tidak, itu menjadi kewenangan KPU dengan mempertimbangkan keselamatan warga. ”Pilihan model kampanye itu tetap harus merujuk protokol yang ditetapkan,” ucapnya.