Kian Banyak Ketua Umum Parpol Terpilih secara Aklamasi, Demokratisasi di Parpol Bermasalah
Semakin banyaknya ketua umum partai politik yang terpilih secara aklamasi, ternyata menunjukkan banyaknya persoalan di parpol. Salah satunya problem demokratisasi.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kecenderungan partai-partai politik menentukan ketua umumnya dengan cara aklamasi menunjukkan adanya persoalan dalam demokratisasi di internal partai. Tak hanya itu, politik aklamasi juga menunjukkan partai masih menjadi rumah bagi kekuatan politik oligarki dan cenderung mengartikulasikan kepentingan elite partai.
Pengajar di Departemen Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Airlangga, Airlangga Pribadi Kusman, di Jakarta, Sabtu (21/3/2020), mengatakan, politik aklamasi dalam penentuan ketua umum partai politik (parpol) menunjukkan ada masalah dalam demokratisasi di parpol. Dampaknya, bisa menciptakan persoalan pada demokratisasi di Indonesia.
”Ironisnya bahwa setelah 20 tahun era reformasi, kecenderungan parpol itu pelan-pelan mewujudkan diri seperti kekuasaan yang dikritik 20 tahun lalu. Di mana pola-pola kekuasaan yang kita dulu melihat melekat pada Soeharto, sekarang melekat juga pada partai-partai politik di era reformasi. Tak berubah dan menyebar saja,” ujar Airlangga.
Pada Minggu (15/3/2020), Partai Demokrat dalam Kongres V Demokrat memilih secara aklamasi Agus Harimurti Yudhoyono untuk memimpin Demokrat hingga 2025. Tahun ini juga, Kongres Gerindra bakal digelar dan besar kemungkinan Ketua Umum Gerindra petahana Prabowo Subianto terpilih secara aklamasi. Ini mengingat mayoritas pengurus daerah Gerindra dalam rapat pimpinan daerah memutuskan hanya mencalonkan Prabowo di kongres.
Hal itu artinya kian panjang deretan parpol yang memilih cara aklamasi dalam penentuan ketua umum. Di antaranya, PDI-P, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Nasdem, Partai Golkar, dan Partai Hanura.
Airlangga melanjutkan, persoalan demokratisasi di internal parpol bisa menurunkan kualitas kader parpol. Kader-kader parpol jadi tak terbiasa dengan proses kontestasi politik, maka mereka juga tidak terbiasa membangun argumentasi dan menempatkan diri setara dengan orang lain.
”Jadi, budaya egalitarianisme dan kesetaraan tak terbangun di parpol kita,” ujarnya.
Selain itu, politik aklamasi mencerminkan bahwa parpol cenderung mengartikulasikan kepentingan elite parpol dibandingkan dengan konstituennya.
Demokrasi yang seharusnya diejawantahkan melalui parpol malah tak lagi memperjuangkan kepentingan dan aspirasi masyarakat bawah. Persoalan ini sekaligus menunjukkan bahwa sampai saat ini parpol masih menjadi rumah kekuatan politik oligarki yang terkonsentrasi pada kalangan minoritas elite.
”Itu akibat lain dari pola-pola demokratisasi yang cenderung menekankan pada aspirasi elite, pada aklamasi, perintah dari elite, atau kepentingan kekuasaan dari oligarki, dibandingkan masyarakat,” tutur Airlangga.
Direktur Eksekutif Charta Politika Indonesia Yunarto Wijaya juga melihat, mekanisme aklamasi sebagai persoalan demokratisasi di internal parpol. Politik aklamasi merefleksikan level demokrasi yang terjadi pascareformasi masih sebatas prosedural, bukan substansial.
”Sebenarnya ini, kan, problem klasik. Pasca-reformasi ketika kita merasa sudah masuk alam demokrasi, tetapi ternyata kita masih masuk sebatas level demokrasi prosedural. Artinya, dimaknai ’one man, one vote’ atau pemilihan sifatnya langsung, tetapi substansi dari demokrasi sendiri belum tercapai,” katanya.
Demokrasi, Yunarto melanjutkan, hanya berjalan di tingkatan hilir. Namun, di hulu, pengambilan keputusan masih bersifat sentralisitik. Sebagai contoh, selain masalah pemilihan ketua umum partai, pola sentralistik ini kerap terjadi saat pengambilan keputusan ketua DPD, DPW, sampai calon kepala daerah di pilkada. Semua keputusan ada di tangan DPP.
Bahkan, di beberapa partai, menurut Yunarto, lebih mirip klub penggemar (fans club) dibandingkan dengan lembaga demokrasi. Klub penggemar betul-betul mengidolakan seseorang sehingga partai dibentuk semata demi kebutuhan sosok tersebut untuk maju pada pemilu presiden.
”Itu yang mungkin terjadi pada Gerindra dengan Pak Prabowo, Hanura dengan Pak Wiranto, serta Demokrat dengan Pak SBY (Susilo Bambang Yudhoyono). Ini masih menjadi budaya di hampir semua partai,” tutur Yunarto.
Jika pola aklamasi di pusat tersebut terus dilanggengkan, menurut Yunarto, itu bisa berpengaruh juga pada pola regenerasi kepemimpinan di daerah. Pemilihan kepala daerah juga akan bergantung pada sosok tertentu yang dianggap pemilik partai.
”Yang itu akan membuat perilaku elite-elite kita hanya adu dekat dengan keluarga, budaya menjilat, budaya asal bapak senang. Nah, itu yang akan menjadi konsekuensi dalam perilaku elite dan pemilih kita enggak akan terdidik sampai kapan pun,” ujarnya.
Revisi UU Parpol
Untuk mencegah kemunduran demokrasi di parpol tak berlanjut, Yunarto mengatakan, salah satu solusinya bisa dengan merevisi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik. Melalui revisi, pemilihan ketua umum parpol dapat dipaksa agar melalui uji publik dan mekanisme konvensi.
”Jadi, bisa diterjemahkan juga sekaligus dalam proses penentuan calon presiden dan kepala daerah. Itu negara memaksa proses demokratisasi terjadi lebih cepat di partai-partai. Kalau berharap kepada partai, agak sulit. Nah, itu, kan, hanya bisa diuji melalui proses yang sifatnya bottom up, dan proses itu enggak pernah ada sampai sekarang,” ucap Yunarto.
Gerindra kian solid
Sementara itu, Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Sugiono mengatakan, Gerindra masih membutuhkan kepemimpinan Prabowo untuk periode 2020-2025.
Sebagai pemimpin partai, Prabowo dinilai mampu menyolidkan semua jajaran internal partai. Soliditas itu yang membuat elektabilitas Gerindra terus meningkat dari pemilu ke pemilu.
”Kader semakin solid di bawah kepemimpinan Pak Prabowo. Saya kira secara aklamasi Partai Gerindra akan memilih Pak Prabowo kembali sebagai ketua umum saat kongres dilaksanakan,” ujar Sugiono.
Semula, Kongres Gerindra 2020 direncanakan digelar bulan depan, tetapi ditunda karena merebaknya Covid-19.
Terkait dengan pandangan Gerindra gagal melakukan regenerasi dengan tetap bertahannya Prabowo di kursi ketua umum, dia membantah hal itu. Regenerasi di partai disebutnya terus berjalan. Perekrutan kader-kader muda terus dilakukan, begitu pula proses kaderisasi secara kontinu dilakukan.
”Kami menganggap kaderisasi merupakan proses penting yang harus dilalui calon-calon pemimpin di Partai Gerindra. Pada saatnya, kader-kader tersebut diharapkan akan mampu mengawaki partai ini,” ujarnya.
”Dan sampai saat itu tiba, kami meyakini bahwa kami masih membutuhkan kepemimpinan Pak Prabowo untuk terus membimbing, mengarahkan, menempa, dan melatih kader-kader partai hingga siap menjadi pemimpin yang mampu mengemban tanggung jawab kepemimpinan yang tidak ringan tersebut,” lanjut Sugiono.