DPR diminta menunda pembahasan semua RUU pada masa sidang kali ini. Para wakil rakyat tersebut diharapkan lebih fokus pada tugas pengawasan dan pengganggaran yang lebih dibutuhkan warga di masa pandemi Covid-19.
Oleh
Dian Dewi Purnamasari
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — DPR diharapkan lebih berfokus pada fungsi mereka sebagai lembaga pengawas dan menyusun anggaran selama masa darurat kesehatan masyarakat akibat Covid-19. Kedua tugas DPR itu lebih diharapkan masyarakat di masa pandemi ketimbang membahas rancangan undang-undang yang bermasalah.
Pengajar Hukum Tata Negara Universitas Andalas, Padang, Charles Simabura, saat dihubungi dari Jakarta, Jumat (10/4/2020), mengatakan, dengan mengumumkan pembahasan sejumlah RUU dalam rapat paripurna, pekan kemarin, DPR dinilai salah kaprah memaknai tugas pokok dan fungsi mereka. Sesuai konstitusi, fungsi DPR adalah legislasi, pengawasan, dan anggaran. Di masa pandemi Covid-19, DPR seharusnya berfokus pada fungsi pengawasan dan menyusun anggaran untuk mengatasi Covid-19. DPR, misalnya, bisa membuat gugus tugas tersendiri guna mengawasi kinerja gugus tugas penanganan Covid-19. DPR bisa menggandeng lembaga lain, seperti Ombudsman RI ataupun Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP).
Dengan memaksimalkan fungsi tersebut, permasalahan seperti pembelian alat rapid test ataupun impor alat pelindung diri (APD) yang ternyata buatan Indonesia bisa diselidiki lebih mendalam. DPR bisa memanggil menteri terkait untuk mengatasi persoalan selama penanganan Covid-19.
”Saat semua instansi dan lembaga berfokus merealokasi anggaran dan memfokuskan kegiatan untuk penanganan Covid-19, DPR malah salah kaprah memaknai tugas mereka dengan tetap melakukan fungsi legislasi. DPR seharusnya ikut mengawasi dan mengkritisi sikap pemerintah dalam penanganan Covid-19,” kata Charles.
Selain itu, DPR juga dapat mengawal implementasi paket kebijakan ekonomi dan stimulus yang dikeluarkan pemerintah selama pandemi Covid-19. Kebijakan relaksasi kredit bagi usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), misalnya, apakah sudah dapat dilaksanakan di lapangan. Selain itu juga program jaring pengaman sosial bagi kelompok rentan, apakah penyalurannya sudah bisa terlaksana atau belum. Hal itu lebih krusial dilaksanakan oleh DPR di masa saat ini daripada fungsi legislasi.
Menurut Charles, DPR seharusnya bersikap bijak dengan menghentikan pembahasan RUU apa pun. Apalagi, RUU bermasalah yang membutuhkan partisipasi aktif publik, seperti RUU Cipta Kerja, Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana, dan RUU Pemasyarakatan. Pemerintah sebagai lembaga eksekutif juga dapat bersikap tegas dengan menarik diri dari pembahasan RUU bermasalah. Apalagi, saat ini pemerintah sudah memberlakukan kebijakan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) sehingga proses pembahasan pun tidak akan efektif. Publik pun akan sulit mengawasi karena keterbatasan gerak dan mobilitas pada masa PSBB.
”Presiden pun untuk menunjukkan sikap kenegaraannya dapat menyatakan sikap untuk menarik diri dari pembahasan RUU apa pun di DPR,” kata Charles.
Presiden pun untuk menunjukkan sikap kenegaraannya dapat menyatakan sikap untuk menarik diri dari pembahasan RUU apa pun di DPR.
Dalam revisi UU Mahkamah Konstitusi, misalnya, Charles melihat tidak ada urgensi mendesak terhadap revisi aturan tersebut. Dibandingkan dengan revisi UU MK, masih ada yang lebih mendesak dibahas, yaitu Perppu tentang Penundaan Pilkada akibat Covid-19. Ini menunjukkan bahwa logika berpikir DPR tidak linier dan tidak menerapkan skala prioritas untuk kepentingan masyarakat.
Draf RUU MK pun, lanjut Charles, sarat konflik kepentingan karena akan diberlakukan untuk hakim konstitusi yang menjabat sekarang. Jika RUU tersebut disahkan, artinya tidak akan ada seleksi hakim konstitusi selama beberapa tahun ke depan. Ini menunjukkan bahwa keputusan tersebut sarat dengan konflik kepentingan. Sebab, RUU tersebut menguntungkan hakim konstitusi periode sekarang. Ini menimbulkan kecurigaan di kalangan masyarakat sipil bahwa ada lobi-lobi politik dalam pembahasan RUU tersebut. Pola ini pernah terjadi sebelumnya saat kasus hak angket KPK.
”Kalau DPR mau lepas dari konflik kepentingan, seharusnya RUU itu jika benar disahkan, diberlakukan setelah ada hakim baru diangkat. Bukan untuk ketua, wakil, dan hakim konstitusi yang sekarang,” ujar Charles.
Tidak mendesak
Sementara itu, pengamat hukum tata negara Refly Harun berpendapat, apa yang terjadi di DPR selama masa pandemi Covid-19 mengoyak nalar publik. Saat pemerintah menetapkan darurat kesehatan masyarakat, DPR justru melakukan tugas pokok dan fungsi yang tidak mendesak dan dibutuhkan masyarakat. Apalagi, di tengah isu pandemi, juga muncul pemberitaan bahwa ada anggaran untuk uang muka kendaraan dinas bagi anggota DPR periode 2019-2024. Ini menunjukkan bahwa DPR memang tidak sensitif dengan situasi dan kondisi yang sedang dihadapi masyarakat.
DPR, dalam rapat paripurna pekan lalu, juga mengumumkan rencana pembahasan sejumlah RUU. Menurut Refly, DPR harus menunda sementara pembahasan RUU. Sebab, RUU yang dibahas selama masa pandemik akan mengurangi atau bahkan menghilangkan proses partisipasi publik. Padahal, proses partisipasi publik dalam pembahasan RUU diamanatkan dalam UU.
Jika memang perlu ada pembahasan, menurut Refly, hal itu masih bisa dilakukan sejauh tidak ada pengambilan keputusan. Proses pembahasan di tingkat komisi, misalnya, dapat dilakukan sebagai brainstorming atau pengayaan materi RUU tertentu. Namun, sebaiknya jangan ada keputusan penting terkait RUU karena akan menambah beban penderitaan masyarakat yang sedang berjuang dengan Covid-19.
”DPR mau membahas atau bahkan mengesahkan RUU Cipta Kerja. Siapa, sih, investor yang tertarik untuk menanamkan modal selama masa pandemi seperti ini? Ini hal yang tidak mendesak dan bisa ditunda setelah Covid-19 berlalu,” ujar Refly.
Terkait revisi UU MK, Refly juga menilai bahwa subtansi yang ada dalam draf RUU tersebut kurang cermat. Ada kecenderungan pasal-pasal, terutama soal perpanjangan masa jabatan ketua dan wakil ketua MK, menguntungkan pihak tertentu. Padahal, di luar itu, ada banyak persoalan krusial yang harus segera dibenahi untuk para pencari keadilan di MK, seperti hukum acara persidangan dan sistem pembuktian di persidangan. Hal tersebut lebih substantif dan ditunggu oleh para pencari keadilan di MK.
”Untuk masa jabatan hakim MK, saya lebih sepakat kalau usia minimalnya 55 tahun, dengan masa jabatan 9 tahun. Kenapa? Supaya ketua tidak tengok kanan-kiri dan tidak mengikuti ayunan kekuasaan ataupun lobi politik,” kata Refly.
Sebelumnya, dalam Pasal 4 draf RUU Revisi UU MK disebutkan, ketua dan wakil ketua MK dipilih dari dan oleh anggota hakim konstitusi dengan masa jabatan selama lima tahun terhitung sejak tanggal pengangkatan ketua dan wakil ketua MK. Padahal, dalam UU Nomor 8 Tahun 2011 sebelumnya, jabatan ketua MK selama 2,5 tahun.
Selain itu, dalam Pasal 87 draf RUU Revisi UU MK juga disebutkan, hakim konstitusi yang saat ini menjabat akan memasuki pensiun pada usia 70 tahun.
Selain itu, dalam UU sebelumnya diatur bahwa usia minimal menjadi hakim konstitusi adalah 47 tahun. Dalam draf revisi UU MK ini, minimal usia untuk menjadi hakim kontitusi diubah menjadi 60 tahun.