Banyak yang Kena PHK, Realokasi APBD Diarahkan untuk Bantuan Sosial
Banyaknya warga yang di-PHK akibat pandemi Covid-19 mendorong pemda merealokasi APBD lebih besar untuk penyediaan bantuan sosial bagi masyarakat. Hampir separuh hasil realokasi APBD untuk jaring pengaman sosial.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Hampir separuh dari hasil realokasi anggaran daerah untuk penanganan pandemi Covid-19 diarahkan untuk penyediaan jaring pengaman sosial bagi masyarakat yang terdampak pandemi. Hal ini karena pemerintah daerah melihat banyak warganya yang kehilangan pendapatan setelah mendapat pemutusan hubungan kerja atau PHK oleh perusahaan akibat terdampak pandemi.
Berdasarkan data yang diperoleh dari Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Kamis (16/4/2020), sudah ada 526 pemerintah daerah (pemda) yang mengutamakan dan merealokasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) untuk penanganan Covid-19. Nilai nominal dari hasil realokasi tersebut mencapai Rp 56,55 triliun.
Dari tiga prioritas realokasi yang diminta pemerintah pusat, porsi untuk penyediaan jaring pengaman sosial mendapat alokasi terbesar atau mencapai 44,49 persen atau sebesar Rp 25,16 triliun. Di urutan kedua terbesar, porsi untuk penanganan kesehatan yang jumlahnya sebesar Rp 24,11 triliun atau 42,64 persen. Terakhir, porsi untuk penanganan dampak ekonomi yang besarnya Rp 7,14 triliun atau sebesar 12,62 persen.
”Beberapa daerah menggeser anggaran penanganan dampak ekonomi ke jaring pengaman sosial pasca-diterbitkan SKB (surat keputusan bersama) Menteri Keuangan dan Menteri Dalam Negeri,” ujar Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Bina Keuangan Daerah Kementerian Dalam Negeri Mochamad Ardian Noervianto, Kamis (16/4/2020).
SKB yang terbit 9 April lalu itu salah satunya mengatur lebih detail pos-pos di APBD yang harus dirasionalisasi untuk penanganan pandemi Covid-19. SKB juga mengatur instruksi untuk mengutamakan dan merealokasi anggaran guna tiga prioritas. Ketiganya, penanganan kesehatan, dampak ekonomi, dan penyediaan jaring pengaman sosial.
Saat ditanya alasan daerah lebih banyak mengalokasikan dananya ke jaring pengaman sosial, Ardian mengatakan jumlah masyarakat yang membutuhkan bantuan sosial meningkat menyusul banyaknya PHK oleh perusahaan di sejumlah daerah. Perusahaan terpaksa melakukan hal itu karena sepinya permintaan atau bahkan tertutupnya ruang berusaha akibat pandemi Covid-19.
Selain itu, pemda juga mengikuti perintah Presiden Joko Widodo agar bantuan sosial yang menjadi tanggung jawab pemerintah pusat segera disalurkan ke masyarakat. Pemda mengikuti kebijakan itu.
Belum merealokasi
Adapun jumlah pemda yang belum melaporkan hasil realokasi APBD ke Kemendagri tersisa 14 pemda. Pemda tersebut adalah Pemerintah Provinsi Maluku dan 13 pemerintah kabupaten di Papua. Ardian mengatakan, Kemendagri terus mengimbau mereka untuk mempercepat realokasi anggaran guna penanganan Covid-19. Tenggat melakukan hal ini adalah 23 April mendatang.
Sesuai aturan di SKB, jika hingga tenggat masih ada pemda yang belum melapor, penyaluran dana alokasi umum (DAU) atau dana bagi hasil (DBH) untuk pemda tersebut bakal ditunda. Bahkan, jika hingga akhir 2020 pemda tidak juga melapor, besaran DAU atau DBH yang ditunda tersebut tidak dapat disalurkan kembali, Kompas (14/4/2020).
Salah satu pemda yang banyak mengalokasikan anggarannya untuk jaring pengaman sosial adalah Pemerintah Kabupaten Lombok Utara. Bupati Lombok Utara Najmul Akhyar mengatakan, dari total hasil realokasi APBD 2020 sebesar Rp 67 miliar, paling besar dialokasikan untuk jaring pengaman sosial.
Alasannya, di Lombok Utara, dampak ekonomi akibat Covid-19 sangat terasa. Sektor pariwisata yang menjadi andalan pendapatan asli daerah (PAD) terpuruk. Banyak warga kehilangan pekerjaan dan sektor informal lumpuh karena pandemi tersebut.
Oleh karena itu, pemda harus menutup kekurangan bantuan sosial yang sudah dikeluarkan pemerintah pusat dengan Kartu Prakerja, Program Keluarga Harapan, ataupun Program Ketahanan Pangan.
”Beruntung, kami di Lombok Utara masih punya ruang fiskal yang relatif fleksibel karena belanja pegawai di bawah 40 persen. Banyak pos anggaran, misalnya rapat, perjalanan dinas, dan belanja barang dan jasa, yang dapat dipangkas untuk penanganan Covid-19,” katanya.
Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Robert Endi Jaweng menambahkan, di saat kondisi krisis darurat kesehatan masyarakat seperti ini, perekonomian daerah juga ikut terpuruk.
Kepala daerah pun dituntut kreativitasnya untuk menggalang solidaritas dan menggerakkan kepedulian sosial dari luar pemerintah. Dana yang dihimpun dari pihak ketiga seperti pengusaha dan filantropis itu dapat digunakan untuk menutup kekurangan dana jaring pengaman sosial.
Apalagi, prediksi puncak krisis kesehatan akibat Covid-19 masih tidak menentu, berbagai sumber pendanaan untuk mengatasi persoalan ekonomi akibat Covid-19 ini perlu dioptimalkan.
”Saya kira daerah juga harus memperbaiki pola pikirnya bukan hanya sekadar tukang belanja, melainkan juga harus lebih kreatif menggerakkan seluruh elemen masyarakat untuk bersama-sama mengatasi krisis kesehatan ataupun ekonomi akibat Covid-19 ini,” tutur Robert.