RUU Pembinaan Haluan Ideologi Pancasila diharapkan tidak terjebak menjadi regulasi yang menempatkan Pancasila sebagai ideologi tertutup dan sekadar dijadikan sarana penguatan badan atau kelembagaan tertentu.
Oleh
RINI KUSTIASIH
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Badan Legislasi DPR menyepakati Rancangan Undang-Undang Pembinaan Haluan Ideologi Pancasila menjadi RUU inisiatif DPR. Namun, sejumlah fraksi meminta agar RUU itu tidak terjebak menjadi regulasi yang menempatkan Pancasila sebagai ideologi tertutup dan sekadar dijadikan sarana penguatan badan atau kelembagaan tertentu.
Rapat Badan Legislasi (Baleg) DPR yang memutuskan regulasi tersebut sebagai RUU inisiatif DPR digelar di Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu (22/4/2020). Rapat dipimpin Wakil Ketua Baleg DPR dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Rieke Diah Pitaloka.
Agenda rapat ialah mendengarkan pendapat minifraksi terhadap draf RUU Pembinaan Haluan Ideologi Pancasila yang disusun oleh panitia kerja dan tenaga ahli dari Badan Keahlian DPR. Dari 9 fraksi di DPR, 8 fraksi menyerahkan pendapat minifraksi. Adapun Partai Demokrat tidak menyerahkannya karena tidak sepakat dengan pembahasan RUU apa pun di tengah pandemi Covid-19.
Anggota Baleg DPR dari Fraksi Nasdem, Taufik Basari, mengatakan, fraksinya sepakat untuk membawa RUU tersebut sebagai RUU inisiatif DPR. Pembentukan RUU Pembinaan Haluan Ideologi Negara itu dipandang penting agar ada legislasi yang bisa memberikan pedoman dan arah bagi penyelenggaraan negara, ataupun arah bagi masyarakat dalam menciptakan tatanan kehidupan bermasyarakat yang sesuai dengan ideologi negara.
Fraksi Nasdem menegaskan, Pancasila adalah ideologi terbuka sehingga di dalam pemaknaannya dapat dikembangkan berbagai diskusi.
”Kita sudah pernah mengalami pengalaman bersama terkait beberapa rezim di Indonesia. Pancasila pernah dijadikan alat untuk merepresi rakyat sehingga keberadaan Pancasila itu dipandang sebagai hal yang negatif. Tentu kita tidak ingin kembali ke masa-masa itu. Jangan sampai ideologi Pancasila dijadikan alat represi oleh negara yang termuat di dalam RUU ini,” tutur Taufik.
Hal senada diungkapkan Heri Gunawan dari Fraksi Gerindra. Menurut dia, Pancasila harus pula dilihat dari sisi sejarah. Ideologi itu dulunya pernah diselewengkan di dalam pelaksanaan demokrasi terpimpin ataupun Orde Baru. Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) pun sudah menghapus ketentuan Pancasila sebagai asas tunggal. Artinya, Pancasila dikembalikan sebagai dasar negara. Dengan semangat yang sama itulah, menurut Gerindra, pembentukan RUU Pembinaan Haluan Ideologi Pancasila harus dilakukan.
”MPR telah melepas baju slogan Pancasila. Beberapa ketetapan MPR mendorong implementasi Pancasila sehingga tidak diperlukan slogan kampanye ”Saya Pancasila”. Ada kekhawatian publik, kekuasaan makin represif sehingga pemaknaan Pancasila mundur ke era demokrasi terpimpin atau Orba yang represif,” katanya.
Heri mengatakan, Gerindra menyetujui RUU itu diteruskan dalam pembahasan selanjutnya dengan catatan penafsiran Pancasila tidak bisa dimonopoli oleh kelompok tertentu, termasuk negara. ”Tafsiran atas pancasila itu tidak dijadikan alat pemukul satu kelompok terhadap kelompok lainnya. Parpol pun harus ditegaskan perannya di dalam demokrasi pancasila,” katanya.
Dalam bidang ekonomi, menurut Heri, ekonomi Pancasila yang berbasis gotong royong harus berwujud koperasi. Ekonomi Pancasila pun idealnya berpijak dari konteks lokalitas kehidupan masyarakat sendiri, yang secara riil bergerak di bidang pertanian. Selama ini, sektor tersebut menjadi kekuatan ekonomi Indonesia di bidang ketahanan pangan.
Di sisi lain, menurut Heri, RUU Pembinaan Haluan Ideologi Pancasila itu dibentuk tidak untuk menetapkan badan tertentu, semisal Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), sebagai pelaksana RUU tersebut.
Namun, pengajar Ilmu Politik di Sekolah Pascasarjana Universitas Nasional (Unas) Massa Djafar berpendapat, sejumlah RUU yang saat ini dibahas oleh DPR, termasuk RUU Pembinaan Haluan Ideologi Pancasila, pada dasarnya tidak terlalu mendesak dibahas di masa pandemi Covid-19.
Oleh karena itu, sebaiknya pembahasan RUU itu ditunda untuk memberikan kesempatan semua pihak fokus dalam penanganan Covid-19.
”Semua RUU itu tentu saja penting, tetapi apakah semendesak itu untuk dibahas sekarang. Saat ini yang justru harus dipikirkan oleh DPR ialah bagaimana mencari solusi-solusi atau jalan dalam memberikan masukan kebijakan alternatif kepada pemerintah dalam menangani Covid-19,” katanya.
Di satu sisi, peran pengawasan DPR juga sangat dinantikan rakyat sehingga DPR bisa memastikan semua program pemerintah, termasuk bantuan kepada rakyat terdampak Covid-19, betul-betul tepat sasaran. Pandemi ini pun harus dilihat lebih luas, tidak hanya masalah kesehatan yang memukul ekonomi, tetapi juga bisa memicu gejolak sosial yang besar.
”Indonesia ini secara laten menyimpan banyak persoalan, misalnya, masalah sosial-politik, konflik politik, rendahnya kepercayaan publik terhadap pemerintah, dan ancaman disintegrasi. Jadi, jangan sampai kita membuka ruang masalah-masalah laten itu naik pada situasi di mana pemerintah tidak mampu lagi mengatasi efek dari wabah ini,” tuturnya.
Dengan demikian, ketegasan sikap harus ditunjukkan oleh pemerintah dan DPR. Ketegasan dimaksud, bahwa persoalan Covid-19 ini masalah serius sehingga penanganan penyakit itu harus diutamakan daripada pembahasan RUU yang tidak mendesak.