Pimpinan DPR Minta Pembahasan Kluster Ketenagakerjaan di RUU Cipta Kerja Ditunda
Penundaan karena semua pihak sedang fokus menangani pandemi Covid-19 dan agar DPR bisa lebih optimal menyerap masukan. Namun, penundaan sebatas pada kluster ketenagakerjaan tidak cukup.
JAKARTA, KOMPAS — Dorongan untuk menunda pembahasan kluster ketenagakerjaan di dalam Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja kian menguat di Dewan Perwakilan Rakyat. Yang terbaru muncul dari pimpinan DPR.
Namun, langkah ini dinilai belum sepenuhnya tepat karena tidak hanya kluster ketenagakerjaan yang bermasalah di dalam substansi rancangan undang-undang (RUU) yang dibentuk dengan metode omnibus law tersebut.
Ketua DPR Puan Maharani dalam keterangan resminya yang diterima Kompas, Kamis (23/4/2020) di Jakarta, mengatakan, pembahasan pasal-pasal terkait ketenagakerjaaan di RUU Cipta Kerja diminta untuk ditunda. Selain karena semua pihak sedang fokus pada penanganan pandemi Covid-19, penundaan itu juga agar DPR bisa menerima masukan masyarakat, terutama dari serikat pekerja.
”Kami minta Baleg (Badan Legislasi) tidak membahas dahulu materi-materi pada kluster ketenagakerjaan sehingga bisa menunggu aspirasi atau berdiskusi dengan masyarakat terkait dengan klaster ketenagakerjaan,” katanya.
Baca juga: RUU Cipta Kerja Bukan Solusi di Tengah Pandemi
Menurut Puan, penundaan pembahasan pasal-pasal ketenagakerjaan di dalam RUU Cipta Kerja juga dilakukan agar DPR fokus pada fungsi pengawasan, legislasi, dan anggaran pada penanganan pandemi Covid-19. Puan juga memastikan DPR tetap menjalankan tugas dan fungsinya dengan tetap menjaga protokol kesehatan untuk mencegah penyebaran virus korona.
”Pada kesempatan kali ini, ada hal-hal yang lebih penting kita lakukan bersama, yaitu terkait pembahasan omnibus law Cipta Kerja yang sampai saat ini banyak diperbincangkan masyarakat. Pada kesempatan kali ini, atas nama ketua dan pimpinan DPR, saya ingin menyampaikan bahwa terkait dengan pembahasan omnibus law Cipta Kerja, untuk klaster ketenagakerjaan, kami meminta kepada Baleg untuk menunda pembahasannya,” tutur Puan.
Keinginan menunda pembahasan klaster ketenagakerjaan juga diungkapkan Ketua Panitia Kerja RUU Cipta Kerja yang juga Ketua Baleg DPR RI Supratman Andi Agtas.
Menurut dia, pembahasan klaster ketenagakerjaan ini diusulkan untuk ditunda sampai dengan situasi memungkinkan. ”Kami bukan menarik pembahasan, tetapi menunda pembahasan, atau kita meminta supaya itu (kluster ketenagakerjaan) dibahas terpisah. Kalau soal tarik atau tidak, kan, tergantung pemerintah,” katanya.
Baca juga: Pembahasan RUU Cipta Kerja Semakin Kehilangan Legitimasi
Situasi yang memungkinkan, menurut Supratman, ialah ketika pembahasan itu mampu melibatkan serikat pekerja lebih maksimal. Adapun kluster lain yang tidak mendapatkan penolakan dari publik akan tetap dibahas.
”Hal ini sudah menjadi atensi dari fraksi kami (Gerindra). Pimpinan Fraksi Gerindra sudah menginstuksikan kepada anggota panja untuk melakukan hal tersebut,” katanya.
Permintaan Puan ataupun sikap Ketua Panja RUU Cipta Kerja untuk menunda pembahasan kluster ketenagakerjaan pada dasarnya tidak berbeda dengan pendirian DPR sedari awal. Sejak awal pembahasan RUU Cipta Kerja, Baleg DPR ingin mendahulukan kluster-kluster yang dinilai tidak mendapatkan resistensi tinggi dari publik, seperti kluster UMKM dan investasi. Adapun untuk kluster ketenagakerjaan disepakati dibahas belakangan.
Bahkan, ada usulan untuk membahas kluster ketenagakerjaan terpisah atau dikeluarkan dari draf RUU Cipta Kerja sebagaimana diungkapkan oleh Wakil Ketua Baleg DPR dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Rieke Diah Pitaloka.
Mengenai kemungkinan mengeluarkan kluster ketenagakerjaan dari draf RUU Cipta Kerja juga diungkapkan Wakil Ketua Baleg DPR dari Fraksi Nasdem Willy Aditya. Namun, kesepakatan mengenai itu harus dibicarakan dan dikomunikasikan di dalam pembahasan.
Ketua Kelompok Fraksi Golkar di Baleg DPR, Firman Subagyo, mengatakan, pembahasan RUU Cipta Kerja tetap berjalan. Namun, secara khusus untuk kluster ketenagakerjaan, pembahasan akan ditunda hingga masa pandemi dinyatakan telah berakhir oleh pemerintah.
”Jadi, tetap akan kami bahas, tetapi masalah naskah-naskah terkait ketenagakerjaan tentunya nanti bisa ditunda pembahasannya sampai menunggu situasi yang kondusif. Jadi, sekarang kami prioritaskan kepada hal-hal yang mendesak. Ini sudah kesepakatan,” ujar Firman.
Menurut Firman, pembahasan RUU harus tetap berjalan karena perlindungan dan kepastian hukum bagi pekerja informal sangat mendesak. Apalagi, banyak pekerja terdampak akibat pandemi Covid-19, seperti terkena pemutusan hubungan kerja.
Firman juga meminta kepada buruh agar menyiapkan konsep-konsep yang diharapkan. Masukan tersebut kelak dapat disampaikan pada saat pembahasan naskah ketenagakerjaan dilanjutkan kembali.
”Ini, kan, harus dijaga semua keseimbangannya antara buruh dan industri karena sekarang ini sama-sama macet. Tak boleh mengabaikan hak-hak karyawan dan setelah pandemi jangan sampai terjadi PHK besar-besaran. Solusinya lewat omnibus law ini,” tuturnya.
Baca juga: Nasib Buruh di antara Korona dan ”Omnibus Law”
Meredam aksi
Sejumlah pihak menilai sikap DPR itu hanya untuk meredam kemungkinan unjuk rasa kelompok buruh pada 30 April mendatang. Di sisi lain, sikap itu menunjukkan minimnya kesadaran wakil rakyat tentang potensi masalah di dalam substansi RUU Cipta Kerja yang tersebar di banyak kluster, tidak hanya di dalam kluster ketenagakerjaan.
”Isi RUU Cipta Kerja ini, kan, banyak bermasalah, tidak hanya kluster ketenagakerjaan. Semestinya dari awal memang semua pembahasan klusternya ditunda, atau semua legislasi di masa Covid-19 ini ditunda,” kata Charles Simabura, pengajar hukum tata negara dari Universitas Andalas.
Menurut Charles, sikap DPR yang ingin menunda pembahasan kluster ketenagakerjaan ini seolah ingin meredam reaksi dari buruh. Alasannya, saat ini yang mampu memobilisasi massa ialah kelompok buruh. Adapun kelompok lain yang peduli pada isu-isu di dalam kluster lainnya, seperti lingkungan hidup, agraria, masyarakat adat, dinilai tidak memiliki kemampuan mobilisasi massa sebesar buruh.
”DPR mungkin berhitung kondisi sosial politiknya karena buruh bisa dimobilisasi, sedangkan kelompok yang lain tidak. Padahal, substansi RUU Cipta Kerja yang bermasalah itu bukan hanya kluster ketenagakerjaan. Ini hanya strategi politik DPR untuk meredam gejolak buruh,” katanya.
DPR, menurut Charles, dalam kondisi darurat Covid-19 ini malah seperti mencoba menebak kira-kira isu apa yang mendapatkan reaksi dari publik. Mereka tidak berupaya mengelaborasi lebih jauh substansi RUU di dalam kluster di luar ketenagakerjaan yang juga problematik. Di sisi lain, momentum pembahasan RUU itu sangat tidak tepat karena dilakukan di tengah pandemi yang memicu minimnya aspirasi publik.
Menurut Charles, jika memang DPR peduli dan ingin fokus dengan isu Covid-19, serta ingin mendalami satu per satu kluster di dalam draf RUU Cipta Kerja, mereka seharusnya tidak buru-buru membawa RUU ini masuk ke tahap pembahasan atau membentuk panja.
DPR bisa membuat tim khusus yang mengecek naskah akademis dan mendalami pasal per pasal draf RUU itu dengan melibatkan publik. Namun, pendalaman itu tidak dilakukan di dalam tahap pembahasan.
”Jangan dulu RUU ini dibahas di dalam panja karena, ketika itu masuk ke dalam tahap pembahasan, nuansa politiknya akan lebih kental daripada kajian akademisnya,” kata Charles.
DPR seharusnya berani bersikap dengan mengkaji draf RUU yang problematik tersebut sehingga, ketika akan masuk ke dalam tahap pembahasan, betul-betul matang dan telah mendengarkan suara publik. Terlebih lagi, RUU Cipta Kerja itu merupakan RUU yang dibentuk dengan metode omnibus law yang memang harus dibahas bersamaan antarkluster.
”Kalau dibahas terpisah atau disepakati kluster per kluster, ada kemungkinan terjadi benturan aturan antarkluster. Sebab, satu aturan yang telah disepakati di kluster satu boleh jadi tidak sesuai atau bertabrakan dengan kluster lain yang dibahas terpisah,” ucap Charles.