Polda Metro Jaya telah melepaskan Ravio Patra, peneliti dan aktivis yang kerap bersuara kritis terhadap pemerintah. Meski demikian, sejumlah pihak meyayangkan penangkapan, pemeriksaan, dan penggeledahan oleh polisi.
Oleh
Norbertus Arya Dwiangga Martiar
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kepolisian telah memulangkan Ravio Patra yang diduga terkait dugaan penyebaran hoaks. Namun, kasus penangkapan Ravio Patra tersebut memperlihatkan kriminalisasi oleh aparat penegak hukum untuk membungkam suara kritis di masyarakat.
Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Hubungan Masyarakat Polri Brigadir Jenderal (Pol) Raden Prabowo Argo Yuwono, ketika dikonfirmasi, Jumat (24/2/2020), mengatakan, Ravio Patra telah dipulangkan. Status Ravio Patra sampai saat ini masih sebagai saksi atas kasus dugaan penyebaran hoaks.
”Ya, sudah (dipulangkan). Statusnya masih sebagai saksi,” kata Argo melalui pesan singkat.
Ravio Patra telah dipulangkan. Status Ravio Patra sampai saat ini masih sebagai saksi atas kasus dugaan penyebaran hoaks.
Sebagaimana diberitakan, Kepolisian Daerah Metro Jaya menangkap Ravio Patra terkait dugaan penyebaran hoaks yang berisi anjuran menjarah pada 30 April. Namun, berdasarkan keterangan Ravio seperti disampaikan Koalisi Tolak Kriminalisasi dan Rekayasa Kasus (Katrok), akun Whatsapp Ravio diretas. Ravio sendiri mengetahui peretasan itu pada Selasa (21/4) karena diminta mendaftar ulang saat akan mengakses akun tersebut. Selama ini, Ravio Patra telah beberapa kali melontarkan kritik terkait penanganan pandemi Covid-19 dan juga kepada salah satu staf khusus Presiden.
Koalisi penolakan kriminalisasi itu terdiri dari sejumlah organisasi masyarakat sipil, seperti Safenet, YLBHI, LBH Jakarta, LBH Pers, KontraS, AMAR, ICW, Lokataru, AJAR, Amnesty International Indonesia, ICJR, dan PUSAKO. Dalam keterangan persnya, Koalisi mengungkapkan bahwa Ravio dilepaskan pada Jumat pagi sekitar pukul 08.30.
Meski demikian, Koalisi memberikan beberapa catatan terkait kasus tersebut, antara lain tim penasihat hukum dipersulit untuk memberikan bantuan hukum. Koalisi pun menilai proses penangkapan dan penggeledahan tidak sesuai prosedur. Selain itu, masih menurut Koalisi, telah terjadi intimidasi berupa kekerasan verbal baik pada saat penangkapan maupun ketika berada di Polda Metro Jaya.
Selain itu, status hukum Ravio juga berubah-ubah. Ravio sudah menjalani pemeriksaan sebagai tersangka. Namun, beberapa waktu kemudian diperiksa kembali sebagai saksi. Demikian pula penyidik sempat menginformasikan bahwa surat penahanan sudah disiapkan, padahal statusnya adalah saksi.
”Koalisi menduga bahwa diretas dan ditangkapnya Ravio terkait erat dengan kritik-kritik yang sering disampaikan Ravio di media daring atau media sosial. Kritik yang terakhir sering dilancarkan Ravio adalah terkait kinerja dan konflik kepentingan Staf Khusus Presiden dan pengelolaan data korban Covid-19,” sebagaimana dikutip dari pernyataan tertulis Koalisi.
Oleh karena itu, Koalisi meminta agar Presiden segera bertindak tegas untuk menghentikan tindakan teror dan represif kepada warga negara yang kritis. Kepolisian pun diminta agar bersikap profesional dan diminta untuk segera menangkap peretas sekaligus penyebar berita bohong yang dilakukan melalui akun Whatsapp Ravio.
Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Erasmus Napitupulu, ketika dihubungi, Jumat (24/4/2020), mengatakan, kasus penangkapan yang dilakukan kepolisian tersebut bukan yang pertama kali. Sebelumnya sudah terjadi kasus serupa, seperti penangkapan terhadap Dandhy Dwi Laksono dan Ananda Badudu beberapa waktu lalu.
”Ini bukan pertama kali dilakukan penangkapan oleh aparat penegak hukum terkait kebebasan pendapat dan kritik terhadap pemerintah. Bagi saya ini kelewatan dan sangat vulgar sekali,” kata Erasmus.
Ini bukan pertama kali dilakukan penangkapan oleh aparat penegak hukum terkait kebebasan pendapat dan kritik terhadap pemerintah. Bagi saya, ini kelewatan dan sangat vulgar sekali.
Menurut Erasmus, penggunaan ancaman pidana oleh aparat penegak hukum tersebut sangat efektif untuk membungkam kekritisan dalam masyarakat. Selain itu, cara tersebut sekaligus dapat menyebarkan ketakutan di masyarakat. Yang paling mungkin menjadi sasaran adalah aktivis, jurnalis, dan akademisi.
Secara khusus, terkait dengan kasus yang dialami Ravio, kata Erasmus, kejanggalan itu sudah terjadi sedari awal. Sebab, pemeriksaan dilakukan tertutup tanpa ada pendampingan hukum. Demikian pula status Ravio tidak jelas, entah sebagai saksi atau tersangka.
”Jadi isunya bukan tidak lanjut atau lanjut, tetapi memang sedari awal sudah tidak layak untuk dijadikan kasus. Rumah Ravio yang digeledah, bagi saya itu malaadministrasi prosedur yang sudah parah. Ini jadi kebiasaan,” ujar Erasmus.
Karena kasus penangkapan semacam ini terus berulang, menurut Erasmus, ke depan diperlukan reformasi pada Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Sebab, mekanisme penangkapan dalam KUHAP dinilai tidak jelas.
Selain itu, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) juga dinilai memiliki pasal karet. Akibatnya, semua orang akan dapat dikriminalisasi oleh aparat penegak hukum.