Kepolisian diingatkan agar menghormati kebebasan berpendapat dan tidak menunjukkan wajah represif kekuasaan. Ravio kemarin dipulangkan pihak kepolisian.
JAKARTA, KOMPAS — Peneliti kebijakan publik dan advokasi legislasi Ravio Patra yang sempat ditangkap telah dipulangkan oleh kepolisian, Jumat (24/4/2020) pagi. Namun, penangkapan Ravio dinilai bisa jadi simbol wajah kekuasaan yang makin represif serta bisa mengancam kebebasan berpikir dan berpendapat yang dilindungi konstitusi.
Kepolisian Daerah Metro Jaya menangkap Ravio Patra, Rabu (22/4/202) malam, terkait dugaan penyebaran hoaks berisi anjuran menjarah pada 30 April. Namun, berdasarkan keterangan Ravio, seperti disampaikan Koalisi Tolak Kriminalisasi dan Rekayasa Kasus, akun Whatsapp Ravio diretas. Ia mengetahui peretasan itu hari Selasa karena diminta mendaftar ulang saat akan mengakses akun itu.
Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform Erasmus Napitupulu, Jumat (24/4/2020), mengatakan, sekalipun Ravio telah dibebaskan, statusnya masih sebagai saksi. Kelompok masyarakat sipil sampai kemarin belum memperoleh kejelasan Ravio menjadi saksi atas dugaan tindak pidana apa, dan apakah hal ini terkait dengan sikap kritisnya yang kerap dituangkan melalui media sosial (medsos).
Jika penangkapan Ravio itu didasarkan pada unggahannya di medsos, utamanya yang berkaitan dengan sikap kritisnya terhadap Staf Khusus Presiden dari kalangan milenial, tindakan itu dipandang sebagai upaya represif negara melalui aparat keamanannya.
”Ada kecurigaan Ravio ditangkap karena kritisnya terhadap stafsus milenial lantaran pertanyaan polisi mengarah ke sana. Pasal yang disangkakan berubah-ubah. Awalnya, ia diduga menghasut untuk melakukan tindakan penjarahan pada 30 April. Namun, belakangan dugaan itu berubah karena pertanyaan yang disampaikan juga menyasar kritisi dia melalui medsos terkait stafsus milenial dan Covid-19,” kata Erasmus.
Apabila dugaan itu benar, cara-cara penanganan kritik semacam itu dinilai Erasmus represif karena bisa menjadi teror bagi aktivis. Dengan penangkapan ini, negara berusaha menunjukkan kontrolnya terhadap masyarakat, terutama dalam penyampaian pendapat serta kritik.
Apalagi, katanya, penangkapan yang dilakukan kepolisian terhadap aktivis bukan yang pertama kali terjadi. Beberapa waktu lalu terjadi kasus serupa, yakni penangkapan terhadap Dandhy Dwi Laksono dan Ananda Badudu.
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia juga mengingatkan Polri agar tidak main tangkap karena bisa menimbulkan penilaian publik bahwa Polri mencederai kebebasan berpendapat (Kompas, 24/4/2020).
Sementara itu, anggota Komisi III DPR dari Fraksi Demokrat, Benny K Harman, mengatakan, pendapat dan pikiran tak dapat dihukum.
”Saya minta Polri tetap memegang teguh konstitusi bahwa hak atas kebebasan menyatakan pendapat, lisan dan tulisan, adalah hak asasi. Janganlah pendapat dan pikiran orang dihukum. Menghukum pikiran dan pendapat orang hanya terjadi di negara otoriter dan fasis,” ujarnya.
Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Hubungan Masyarakat Polri Brigadir Jenderal (Pol) Raden Prabowo Argo Yuwono, ketika dikonfirmasi, menegaskan, Ravio Patra telah dipulangkan. Status Ravio Patra sampai saat ini masih sebagai saksi atas kasus dugaan penyebaran hoaks.
Sebelumnya, Argo mengatakan, Polda Metro Jaya mengamankan Ravio berdasarkan laporan saksi DR yang menerima lima pesan melalui aplikasi Whatsapp yang ketika ditelusuri polisi adalah nomor Ravio. Pesan itu berisi ajakan melakukan penjarahan.
Sebelum dugaan peretasan akun Whatsapp Ravio, sekitar 30 aktivis pernah mengalami hal yang sama dalam waktu kurang dari setahun terakhir.
Ellen Kusuma dari Divisi Keamanan SAFENet mengatakan, 30 aktivis yang diduga mengalami peretasan itu sebelumnya menolak revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi. Kejadian serupa dialami aktivis yang menolak pembahasan undang-undang dengan metode omnibus law.
Menurut Ellen, hingga kini masih diupayakan pembuktian terhadap dugaan peretasan itu. Hal ini diakuinya tidak mudah mengingat dibutuhkan kemampuan forensik digital dari pihak kepolisian. Seperti Ravio, peretasan terhadap 30-an aktivis dilakukan terhadap aplikasi Whatsapp di gawai masing-masing. Modusnya sebagian dilakukan dengan menguasai akun Whatsapp yang bersangkutan lalu digunakan menyebarkan pesan yang bertentangan dengan hal yang diperjuangkan.