Tidak cukup sebatas menunda kluster ketenagakerjaan pada RUU Cipta Kerja, pemerintah dan DPR didorong untuk menghentikan total pembahasan ”omnibus law” tersebut. Selain karena pandemi, banyak persoalan di kluster lain.
Oleh
RINI KUSTIASIH
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penundaan pembahasan Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja yang terbatas pada kluster ketenagakerjaan dinilai tidak cukup. Fraksi-fraksi di DPR dan pemerintah memiliki kewajiban moral untuk menghentikan pembahasan secara menyeluruh, terutama karena rakyat saat ini sedang kesulitan menghadapi pandemi Covid-19.
Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus, Senin (27/4/2020), saat dihubungi dari Jakarta, mengatakan, DPR dan pemerintah memiliki tanggung jawab moral untuk memastikan pembahasan RUU Cipta Kerja yang dibentuk dengan metode omnibus law itu berempati kepada publik yang tengah berjuang menghadapi Covid-19.
”Kepedulian itu akan terasa setengah hati jika pada saat bersamaan DPR dan pemerintah melakukan pembahasan RUU Cipta Kerja yang diketahui menyedot perhatian publik. Penundaan pembahasan kluster ketenagakerjaan yang diputuskan oleh pemerintah dan DPR pun kesannya manipulatif karena hanya ingin menyenangkan salah satu kelompok, yakni buruh, dan mengabaikan kelompok lainnya yang memiliki tuntutan yang sama,” kata Lucius.
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo mengungkapkan sikap pemerintah untuk menunda pembahasan kluster ketenagakerjaan di dalam draf RUU Cipta Kerja. Hal serupa dikemukakan Ketua DPR Puan Maharani yang meminta Badan Legislasi (Baleg) DPR agar menunda pembahasan kluster ketenagakerjaan.
Lucius mengatakan, penundaan pembahasan kluster ketenagakerjaan tersebut bukan suatu komitmen yang layak dipercaya. Hal itu dipandang sebagai strategi untuk meminimalisasi upaya unjuk rasa kelompok buruh yang berpotensi mengganggu pembahasan RUU Cipta Kerja.
”Tidak ada jaminan kluster ketenagakerjaan akan menunggu akhir jika di dalam perjalanan pembahasannya DPR dan pemerintah melihat tak ada yang memprotes atau mengancam akan menekan mereka,” katanya.
Menghadapi sikap yang demikian, menurut Lucius, fraksi-fraksi di DPR seharusnya menunjukkan rasa tanggung jawab kepada rakyat saat ini sehingga mereka tidak tercatat dalam sejarah sebagai pencipta RUU yang minim empati di tengah kesusahan rakyat. Fraksi-fraksi di DPR juga punya tanggung jawab untuk memastikan mereka menyusun RUU untuk kepentingan rakyat, bukan kepentingan pengusaha ataupun kelompok tertentu yang berkepentingan dengan kehadiran RUU Cipta Kerja.
”Jika terus membahas, mereka hanya akan membuktikan bahwa dugaan RUU Cipta Kerja merupakan pesanan kelompok tertentu tak terelakkan. Kami berharap fraksi-fraksi membuat keputusan dengan hati di tengah pandemi ini agar rakyat tak merasa semakin dipinggirkan dari lingkaran pembuatan kebijakan di negara ini,” katanya.
Kewajiban fraksi
Setelah fraksi Partai Keadilan Sejahtera dan Partai Demokrat yang memutuskan tidak masuk dalam Panitia Kerja (Panja) Pembahasan RUU Cipta Kerja, Sekretaris Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) Yandri Susanto mengimbau anggota DPR dari PAN untuk keluar dari panja.
”Sebaiknya anggota dari PAN menarik diri kalau mau membela rakyat, tenaga kerja, dan bangsa ini. RUU itu terlalu merugikan tenaga kerja kita, dan membuat kepastian hukum tidak ada,” katanya, Minggu (26/4/2020).
Fraksi PAN, menurut dia, belum rapat membahas kuatnya penolakan publik atas pembahasan RUU Cipta Kerja di tengah pandemi. Oleh karena itu, penarikan dari panja baru sebatas imbauan, belum jadi keputusan fraksi.
Baik Demokrat, PKS, maupun PAN masing-masing mendapatkan jatah tiga wakil di dalam panja. Adapun fraksi dengan wakil terbanyak ialah PDI-P dengan 8 anggota, dan 1 pimpinan; Golkar dengan 6 anggota; Gerindra dengan 5 anggota dan 1 pimpinan; Nasdem dengan 3 anggota dan 1 pimpinan; PKB dengan 3 anggota dan 1 pimpinan; PAN dengan 3 anggota; serta PPP dengan 1 anggota dan 1 pimpinan. Dengan dua fraksi tidak mengirimkan wakilnya, keanggotaan Panja RUU Cipta Kerja saat ini, yakni 34 orang, masih memenuhi kuorum.
Tidak kejar tayang
Dihubungi terpisah, anggota Panja RUU Cipta Kerja dari Fraksi PDI-P, Hendrawan Supratikno, mengatakan, fraksinya mengambil sikap win-win solution di tengah kuatnya desakan publik yang meminta pembahasan RUU Cipta Kerja dibatalkan.
Penundaan pembahasan kluster ketenagakerjaan dinilai sebagai jalan tengah di antara berbagai kepentingan dalam pembahasan RUU Cipta Kerja tersebut. Penundaan dilakukan karena kluster itu dinilai paling sensitif dan kluster lainnya, sekalipun juga menyimpan potensi persoalan, dinilai tidak terlalu sensitif.
”Jadi, tidak menang-menangan, tetapi mari maju bareng. Sama-sama menang. Sama-sama menang itu apa, yakni kami siap meneruskan pembahasan, tetapi dengan catatan kluster ketenagakerjaan di-pending (ditunda) sehingga pembahasannya tidak menggunakan modus kejar tayang,” katanya.
Menurut Hendrawan, fraksinya mengupayakan pembahasan secara mendalam. Artinya, pembahasan pasal per pasal di dalam RUU itu akan disandingkan dengan UU yang ada, dan dilihat apakah ada tabrakan dengan UU sebelumnya ataukah tidak. Jika ada perbedaan, itu akan menjadi pintu masuk pengkajian RUU secara lebih mendalam.
”Antisipasi kami, begitu proses ini berjalan, dan kemudian banyak pasal dari UU yang ditabrak, maka pembahasannya ini akan lama sekali,” katanya.
Pada Senin (27/4/2020), misalnya, panja akan mengundang ahli dan pakar untuk didengarkan pendapatnya terkait dengan substansi konsideran RUU dan Bab I tentang Ketentuan Umum. Menurut Hendrawan, untuk pembahasan konsideran yang meliputi dasar filosofis, sosiologis, dan yuridis, akan memakan waktu yang lama, dan tidak cukup dalam satu atau dua kali pertemuan.
”Prosesnya akan panjang, dan mungkin akan lebih elok secara kultural, daripada kami menyatakan menolak pembahasan. Sesuai tatib, UU No 12/2011, dan UU MD3, DPR membahas RUU yang diserahkan Presiden dalam waktu 60 hari sejak surpres itu diserahkan,” katanya.
Pembahasan dibatalkan
Pengajar Ilmu Politik di Sekolah Pascasarjana Universitas Nasional (Unas), Alfan Alfian, mengatakan, penundaan kluster ketenagakerjaan hanya menunda persoalan dan sebatas solusi sementara. Artinya, ketika pandemi berakhir dan kluster itu dibahas, bukan tidak mungkin akan tetap muncul penolakan besar-besaran di tengah masyarakat.
”Idealnya, sejak awal pembahasan RUU itu dibatalkan, sebagaimana diserukan oleh akademisi, pakar, dan masukan dari masyarakat sipil. Banyak hal yang tidak sinkron dan tidak relevan dalam upaya pencapaian pertumbuhan ekonomi dan investasi. Kondisi itu membuat banyak hal lain harus dikorbankan. Semestinya, kan, tidak seperti itu,” kata Alfan.
Solusi sementara itu, Alfan melanjutkan, secara politik memang menunjukkan kemajuan dari sikap pemerintah dan DPR sebelumnya yang menginginkan pembahasan dilakukan, termasuk kluster ketenagakerjaan. Namun, sikap itu dipandang tidak memadai karena hanya memadamkan satu persoalan saja, sementara persoalan di kluster-kluster lainnya seolah luput dari perhatian pembentuk UU.
Wakil Ketua Badan Legislasi DPR Achmad Baidowi mengatakan, di dalam rapat resmi tidak pernah ada pembahasan mengenai pembatalan keseluruhan kluster atau penundaan RUU secara keseluruhan.
”Dalam rapat resmi tidak pernah membahas pembatalan atau penolakan. Yang dilakukan hanya mencari jalan tengah terkait ketenagakerjaan agar tidak menimbulkan gejolak. Kalau kluster yang lain relatif landai saja. Soal beda pendapat itu biasa saja,” katanya.