Benturan Kepentingan Bisa Hambat Pengungkapan Kasus Peretasan Aktivis
Kepolisian memiliki kapasitas mengungkap pelaku peretasan Whatsapp. Tak terkecuali yang menimpa sejumlah aktivis. Hanya saja, benturan kepentingan dikhawatirkan membuat kepolisian memilih tidak mengungkapnya.
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kepolisian memiliki kapasitas mengungkap pelaku peretasan aplikasi percakapan Whatsapp. Tak terkecuali yang menimpa sejumlah aktivis, termasuk yang terbaru dialami oleh peneliti kebijakan publik Ravio Patra. Hanya saja, benturan kepentingan dikhawatirkan membuat kepolisian memilih tidak mengungkap tuntas kasus tersebut.
Ketua Indonesia Cyber Security Forum (ICSF) Ardi Sutedja, di Jakarta, Minggu (26/4/2020), menyatakan, peretasan aplikasi Whatsapp sudah sering terjadi. Kebanyakan kasus peretasan terjadi dengan motif ekonomi. Namun, belakangan peretasan kian mengkhawatirkan karena sejumlah kasus peretasan yang terjadi bermotifkan politik dan fitnah.
Kepolisian, menurut dia, sudah sering mengungkap dan menangkap pelaku peretasan. Dengan kata lain, kepolisian memiliki kapasitas untuk mengungkap para pelaku peretasan. Hanya saja, dalam kasus peretasan Whatsapp para aktivis belum ada yang terungkap. Hal ini bisa saja terjadi karena korban tidak melapor ke polisi.
”(Pelaku peretasan) sudah sering (ditangkap). Terakhir kami bergabung dalam operasi dengan Polri dan Interpol. Kuncinya harus dilaporkan sehingga bisa diungkap,” katanya.
Seperti diberitakan sebelumnya, Ravio Patra mengaku diretas Whatsapp-nya, dan dari akun tersebut muncul pesan ajakan untuk berbuat rusuh dan melakukan penjarahan. Ini yang membuat Ravio sempat diamankan oleh kepolisian.
Jauh sebelum kasus yang menimpa Ravio, sejumlah aktivis dan akademisi yang menolak revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), pertengahan September 2019, juga diretas Whatsapp-nya. Kemudian dari akun itu tersebar pesan dukungan kepada revisi UU KPK. Salah satunya dialami Ketua Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Oce Madril.
Pengajar Hukum Tata Negara Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera, Bivitri Susanti, mengungkapkan, akun Whatsapp-nya pun pernah berulang kali hendak diretas. Ia mengetahui hal itu setelah berkali-kali ditelepon nomor dari luar negeri seperti yang pernah dialami Ravio dan Oce Madril.
Ia pun berharap aparat penegak hukum bisa bergerak cepat mengusut kasus-kasus peretasan itu karena sangat meresahkan dan bukan pertama kali terjadi. ”Seharusnya, tanpa ada laporan, aparat penegak hukum bisa proaktif,” katanya.
Namun, ia khawatir kepolisian tidak proaktif karena ada benturan kepentingan. Benturan dimaksud karena aparat penegak hukum bagian dari pemerintah dan para aktivis yang Whatsapp-nya diretas sering kali mengkritik pemerintah.
Oleh karena itu, penting untuk diamati bagaimana aparat menyikapi kasus peretasan yang menimpa para aktivis.
Tidak percaya
Anggota Koalisi Tolak Kriminalisasi dan Rekayasa Kasus serta anggota tim advokasi Ravio, Alghiffari Aqsa, menilai kepolisian tidak sensitif dengan tindak pidana peretasan di Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). ”Hal itu berbeda dengan ketentuan pasal karet di UU ITE, seperti pidana pencemaran nama baik dan hoaks,” katanya.
Dalam kasus Ravio, misalnya, penyidik tidak percaya bahwa Whatsapp bisa diretas. Penyidik baru percaya Whatsapp bisa diretas jika seseorang melihat kode rahasia di telepon genggam secara langsung.
”Daripada gencar menggunakan pasal karet pencemaran nama baik, sebaiknya polisi fokus terkait peretasan akun, pencurian data pribadi, dan kasus mengubah data digital secara melawan hukum yang ada di UU ITE,” kata Alghiffari.
Sebelumnya, Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigadir Jenderal (Pol) Argo Yuwono mengatakan, ponsel Ravio telah dikirim ke laboratorium forensik. Hasil labfor akan menentukan betul atau tidaknya Whatsapp Ravio telah diretas.