Perppu penundaan pilkada serentak 2020 dibutuhkan sebagai dasar hukum penundaan perhelatan politik lokal lima tahunan tersebut. Perppu juga sebaiknya mengatur pelaksanaan pemilihan yang lebih fleksibel.
Oleh
Ingki Rinaldi
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah perlu segera menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang tentang penundaan pelaksanaan pilkada serentak 2020 dari yang semula akan dilaksanakan 23 September menjadi 9 Desember 2020. Dasar hukum penundaan pilkada serentak di 270 daerah itu hingga kini belum ada.
Selain memberikan dasar hukum untuk penundaan, perppu juga diharapkan mengatur penyederhanaan tahapan pilkada.
Anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Fritz Edward Siregar, dalam diskusi daring tentang penyelenggaraan pilkada yang digelar Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara (APHTN/HAN) pada Senin (27/4/2020), mengatakan, hingga saat ini, dasar hukum untuk penundaan pilkada belum ada. Sebab, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada dan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 2 Tahun 2020 tentang Tahapan, Program, dan Jadwal Penyelenggaraan Pemilihan hingga kini masih berlaku. Regulasi tersebut tidak dapat digunakan sebagai payung hukum untuk menunda pilkada.
Menurut dia, tidak ada pengaturan penundaan pilkada secara nasional dalam regulasi tersebut. Hanya terdapat pengaturan pemilihan susulan atau lanjutan.
”Itulah kenapa perppu dibutuhkan untuk isi kekosongan hukum,” kata Fritz.
Selain Fritz, diskusi itu juga menghadirkan sejumlah narasumber, yakni Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini; pengajar hukum tata negara Universitas Trisakti Jakarta, Radian Syam; pengajar hukum tata negara Universitas Pamulang, Bachtiar; dan pengajar hukum tata negara Sekolah Tinggi Ilmu Hukum (STIH) Jentera, Bivitri Susanti.
Isi perppu
Mengenai isi perppu, Fritz mengaku belum mengetahuinya. Ia pun belum mendapatkan informasi apakah draf perppu itu nantinya bersifat minimalis hanya mengatur waktu pelaksanaan pilkada ataukah maksimalis mengatur juga hal-hal teknis yang terkait dengan alasan penundaan dilakukan. Hal-hal teknis itu misalnya terkait dengan penyederhanaan proses yang sesuai dengan tuntutan untuk memutus penyebaran wabah Covid-19.
Fritz juga menyebutkan bahwa Bawaslu mengusulkan untuk menunda pilkada pada September 2021. Hal ini menyusul tidak adanya jaminan kapan Indonesia akan terbebas dari Covid-19. Atau kalaupun sudah bebas, lanjut Fritz, bagaimana dengan dampak dari luar negeri yang kemungkinan akan memunculkan dampak ”pingpong” dari wabah tersebut di Indonesia.
Sementara Titi menyebutkan, dengan tidak adanya pihak yang bisa memastikan kapan terbebas dari wabah Covid-19, mekanisme pemilihan bisa dibuat dengan lebih akomodarif serta mengadaptasi situasi krisis. Misalnya dengan pemilihan awal dan kampanye daring.
Ia menuturkan, jika pilkada dilakukan 9 Desember 2020, hal itu akan menurunkan kualitas teknis. Selain itu, pemerintah bisa dianggap kurang serius menghadapi pandemik. Juga bisa menurunkan partisipasi pemilih dan menjadikan kampanye yang tidak menyajikan konten program.
Adapun Radian menilai, konten perppu yang akan diterbitkan harus jelas. Ia juga menilai, jika pilkada diselenggarakan 9 Desember 2020, maka akan terjadi kesimpangsiuran perangkat hukum.
Pasalnya, selain perppu, masih dibutuhkan PKPU dan Peraturan Bawaslu. Jika pilkada dipaksakan pada Desember 2020, ujar Radian, maka akan terjadi bentrokan dan ketidakharmonisan perangkat-perangkat hukum.
Sementara Bachtiar mengemukakan sejumlah syarat untuk menyederhanakan pilkada. Di antaranya jaminan rasa aman dan percaya yang mesti diberikan pemerintah dan penyelengara pemilu. Kedewasan berdemokrasi dinilainya merupakan keniscayaan dalam situasi darurat kebencanaan untuk memberikan payung hukum pelaksanaan pilkada serentak.
Sebelumnya, anggota KPU, Viryan Azis, yang dihubungi secara terpisah, mengatakan, faktor regulasi, sosialisasi, bimbingan teknis, dan anggaran menjadi sejumlah faktor utama terkait dengan perubahan manajemen pemilu. Sehubungan dengan belum diterbitkannya perppu, ia menyebutkan bahwa pemerintah pasti menimbang dengan saksama dan matang sehingga memerlukan waktu yang cukup.