Data Tunggal Akurat Berbasis Identitas Kependudukan Kebutuhan Mutlak
Konsolidasi data tunggal berbasis nomor induk kependudukan untuk semua keperluan harus dilakukan serius. Untuk itu, diperlukan integrator data.
Oleh
Nikolaus Harbowo dan Ingki Rinaldi
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Langkah untuk menjadikan data besar ataupun data hasil riset sebagai fondasi dalam pengambilan kebijakan publik harus dimulai dari konsolidasi data tunggal kependudukan yang akurat. Sebab, apabila data kependudukan tidak berkualitas, kebijakan yang dibuat akan meleset, sekaligus membuka potensi penyelewengan program.
Pandemi Covid-19 serta penanganan dampaknya menunjukkan data masih menjadi persoalan di Indonesia yang memiliki penduduk lebih dari 250 juta jiwa. Dengan prediksi Covid-19 akan menimbulkan ”normal baru” dalam interaksi antarmanusia, pola interaksi pemerintah-warga juga perlu berubah sehingga konsolidasi data pemerintah untuk kebijakan publik makin mendesak.
Terkait hal itu, Guru Besar Statistika IPB University Asep Saefuddin, dihubungi dari Jakarta, Senin (4/5/2020), menekankan, kebijakan dari pemerintah daerah hingga pemerintah pusat harus bersumber dari satu data kependudukan sehingga semua aspek terkait penduduk dari berbagai sektor bisa termonitor dengan baik. Kementerian Dalam Negeri sebagai pemegang basis data kependudukan harus mampu menjamin validitas dan kualitas data itu.
Untuk itu, kata Asep, sistem pemutakhiran data harus diperbaiki. Sistem perekaman kartu tanda penduduk elektronik (KTP-el) harus dibarengi pembersihan data rutin secara ketat, mulai dari desa/kelurahan, kecamatan, kabupaten/kota, provinsi, hingga Kemendagri.
”Kepala desa bisa memvalidasi kebenaran data yang di-input warganya. Itu terus dilakukan hingga tingkat teratas. Jadi, data kependudukan yang dikeluarkan Kemendagri dipercaya jadi acuan,” tuturnya.
Asep menyampaikan, pemanfaatan data tunggal dan mutakhir terasa vital ketika memasuki masa pandemi Covid-19 ataupun masa pemulihan dampak pandemi. Pemerintah daerah dan pusat membutuhkan data penambahan jumlah pengangguran serta warga miskin baru yang terdampak pandemi. Data yang tidak dimutakhirkan secara rigid dan berjenjang atau ketiadaan data tunggal berbasis nomor induk kependudukan, katanya, memunculkan masalah baru pada penerapan kebijakan.
Data yang memunculkan taksiran terlalu kecil bisa menyebabkan masyarakat yang seharusnya mendapatkan program bantuan malah tak terlindungi. Adapun estimasi yang terlalu tinggi malah membuat pengeluaran anggaran jadi besar dan rentan diselewengkan. ”Sekarang semua menjadi berantakan karena birokrasi gagap data. Penyelesaian masalah tak punya target yang jelas atau meleset dari target. Ke depan, ini harus menjadi pembelajaran buat kita semua, data jadi sangat vital dalam pembangunan,” tutur Asep.
Satu data
Deputi Bidang Pengembangan Regional Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Rudy Soeprihadi Prawiradinata berpendapat, semua kementerian/lembaga serta pemerintah daerah harus mengacu pada satu data sehingga terjadi sinkronisasi penerapan kebijakan.
”Kelemahan kita dalam pendataan. Pendataan bukan menjadi hal yang penting. Padahal, data sebagai basis perencanaan. Kalau data jelek, meski metodologinya sudah betul, perencanaan juga jelek. Data yang masuk tidak benar, enggak benar juga hasilnya,” papar Rudy.
Namun, menurut Rudy, data yang berkualitas tetap harus diolah oleh sumber daya manusia yang berkapasitas pula. Oleh karena itu, peningkatan kapasitas aparatur sipil negara juga menjadi keharusan agar ke depan setiap kebijakan bisa berorientasi pada data.
Sementara itu, Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kemendagri Zudan Arif Fakrulloh mengatakan, seharusnya saat ini seluruh data yang dipakai kementerian/lembaga serta pemerintah daerah bersumber dari nomor induk kependudukan (NIK) yang terekam di KTP-el. Dengan demikian, kesalahan pelaksanaan kebijakan tidak akan terjadi.
”Semua seharusnya menggunakan tolok ukur yang sama. Pintu akses utamanya NIK. Karena itu, kami bisa mewujudkan satu data kependudukan. Kalau ketik NIK, itu akan terwujud single identity number,” tutur Zudan.
Penggunaan NIK sebagai basis data, menurut Zudan, juga telah diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2018 tentang Strategi Nasional Pencegahan Korupsi. Dengan pemanfaatan data yang satu tersebut, potensi penyelewengan bisa diminimalkan.
NIK saat ini juga telah dimanfaatkan Badan Pusat Statistik dalam Sensus Penduduk 2020. Proses tersebut membantu kerja Kemendagri dalam pemutakhiran data.
”Jadi, manfaatnya bisa untuk update data. Ada orang yang meninggal, bayi lahir, orang pensiun; dari polisi (sampai) anggota DPR yang tidak terpilih lagi, juga bisa diketahui. Ini menuju satu data kependudukan,” tuturnya.
Zudan menyadari Indonesia saat ini belum memiliki integrator data, yakni lembaga yang mengintegrasikan seluruh data. Setiap kementerian/lembaga mengacu pada datanya sendiri-sendiri. Akibatnya, katanya, hal itu memunculkan potensi terjadinya data ganda yang menyebabkan orang yang berhak mendapat bantuan menjadi tidak dapat.
Konsep single identity number ialah satu data untuk segala keperluan. Di dalamnya termasuk pula untuk keperluan sektor pendidikan, kesehatan, pertanian, pemilihan umum, dan lainnya.
”Itu besar sekali. Padahal, kalau diintegrasikan melalui data dukcapil, akan ketahuan siapa yang ganda dan lain-lain. Jadi, di Indonesia, perlu kesepakatan nasional siapa lembaga yang ditunjuk sebagai integrator data sehingga tidak tumpang tindih. Sebab, apa pun pembangunan itu yang dituju penduduknya. Penduduk itu pembedanya NIK,” papar Zudan.
Satu data semua keperluan
Pendiri Institut Otonomi Daerah yang juga Guru Besar Institut Pemerintahan Dalam Negeri, Djohermansyah Djohan, mengatakan, konsep single identity number dalam bentuk KTP-el cukup masif digunakan di berbagai sektor. Akan tetapi, saat ini kecenderungannya masih lebih dominan pada urusan yang terkait dengan kepentingan bisnis, misalnya untuk membuka rekening perbankan.
Sementara untuk urusan kesejahteraan masyarakat, menurut dia, relatif kurang terurus. Ini seperti terjadi pada data kemiskinan penduduk. Djohermansyah menyebutkan, bahkan Kementerian Sosial membangun data sendiri terkait kemiskinan penduduk.
Padahal, tambah Djohermansyah, konsep single identity number ialah satu data untuk segala keperluan. Di dalamnya termasuk pula untuk keperluan sektor pendidikan, kesehatan, pertanian, pemilihan umum, dan lainnya.
Ia mengatakan, dalam urusan tersebut, Kementerian Dalam Negeri bisa memimpin programnya. Dia mendorong agar jangan sampai identitas tunggal dibuat ke dalam sistem silo-silo yang tersekat atau terpisah sebagaimana di masa sebelumnya. Koordinasi bisa dilakukan oleh wakil presiden dengan mengundang menteri terkait untuk mengoptimalkan fungsi ketunggalan data.
Menurut Djohermansyah, hal-hal tersebut perlu didorong untuk segera dilakukan seusai masa pandemi Covid-19. Ia menilai aspek pemutakhiran data penduduk, seperti kelahiran, kematian, mutasi penduduk, atau penduduk berusia 17 tahun sehubungan dengan hak pilih, relatif mudah dilakukan. Teknologi informasi yang tersedia dapat dipergunakan untuk keperluan tersebut.
Peneliti Pusat Penelitian Kependudukan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Andy Ahmad Zaelany, menekankan pentingnya kesadaran data di tengah masyarakat dan pemerintah. Perbaikan di masa depan harus dimulai dengan pencatatan dan penyusunan data secara baik dari daerah hingga pusat. Pembaruan juga mesti dilakukan dengan kemampuan penyimpanan data atau pengarsipan yang kuat.