Komisi III DPR menerima laporan adanya praktik jual beli asimilasi dan pembebasan bersyarat oleh oknum petugas lembaga pemasyarakatan dan diulanginya kejahatan oleh napi setelah dibebaskan.
Oleh
RINI KUSTIASIH
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat meminta Direktur Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia yang baru, Reinhard Silitonga, mengevaluasi pelaksanaan asimilasi dan integrasi yang diberikan kepada narapidana guna mengantisipasi penyebaran penyakit Covid-19 di lembaga pemasyarakatan dan rumah tahanan.
Sejumlah laporan dari daerah menginformasikan adanya praktik jual beli asimilasi dan pembebasan bersyarat oleh oknum petugas lembaga pemasyarakatan lapas serta berulangnya kejahatan yang dilakukan napi penerima asimilasi ataupun integrasi.
Dorongan dari Komisi III itu mengemuka dalam rapat dengar pendapat antara Komisi III DPR dengan Dirjen Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) yang baru, Reinhard Silitonga, Senin (11/5/2020), di Jakarta. Rapat dipimpin oleh Wakil Ketua Komisi III DPR dari Fraksi Nasdem Ahmad Sahroni.
Dalam paparannya, Reinhard mengatakan, hingga 10 Mei 2020, sebanyak 39.273 napi telah menerima kebijakan asimilasi dan reintegrasi. Dari jumlah itu, terdapat 95 orang yang melakukan pelanggaran. Pelanggaran yang dilakukan meliputi pelanggaran terhadap syarat umum, sebanyak 93 orang, yakni melakukan pelanggaran hukum dan ditetapkan sebagai tersangka atau terpidana. Dua pelanggaran lain ialah pelanggaran terhadap syarat khusus, yakni tidak melapor ke balai pemasyarakatan atau tidak mengikuti program pembimbingan yang dilakukan oleh balai pemasyarakatan.
Namun, sejumlah anggota Komisi III DPR menyoroti juga adanya laporan praktik jual beli syarat pembebasan atau asimilasi yang dilakukan oleh oknum petugas lapas. Uang yang dimintakan sebagai syarat pembebasan itu berkisar Rp 5 juta-Rp 10 juta. Di samping itu, adanya fakta beberapa napi yang melakukan kejahatan kembali setelah mengikuti program itu menunjukkan pembinaan di dalam lapas atau rutan belum optimal.
”Kami mendengar di media, program itu dijual Rp 5 juta-Rp 10 juta sehingga mereka diberikan asimilasi. Pak Menteri (Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly) mengatakan akan membentuk tim khusus. Oleh karena itu, kami ingin menanyakan sejauh mana tim khusus itu menanganinya. Sebab, kami sampai saat ini belum mendengar siapa yang bertanggung jawab dan apakah informasi itu benar adanya ataukah tidak,” tutur Wakil Ketua Komisi III DPR dari Fraksi Partai Golkar Adies Kadir.
Adapun anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Arsul Sani, mempertanyakan efektivitas pembinaan oleh Dirjen Pemasyarakatan terhadap napi. Pasalnya, saat keluar, ternyata mereka masih melakukan kejahatan. Sekalipun jumlah pelanggaran dan residivis kecil dari program itu, program tersebut perlu dievaluasi.
”Tidak pas juga menyalahkan kebijakan asimilasi ini. Tetapi, yang juga menggelitik saya, ini harus dievaluasi nanti, sebagai bagian dari rapat kita hari ini. Apa yang harus dievaluasi, karena di peraturan lainnya ada kualifikasi untuk warga binaan pemasyarakatan mendapatkan asimilasi, tetapi ini tidak transparan dan tertutup untuk publik. Nah, saya minta agar ada evaluasi atau audit dari Komisi III DPR daripada kita mengundang Ombudsman RI mengaudit kebijakan itu,” kata Arsul.
Sarifuddin Suding dari Partai Amanat Nasional (PAN) juga meminta Dirjen Pemasyarakatan untuk menelusuri kabar pungutan tersebut. Tak hanya itu, sama seperti Arsul, Suding juga mempertanyakan efektivitas pembinaan di lapas karena sebagian dari napi yang menerima asimilasi dan menjalani reintegrasi mengulangi perbuatannya atau kembali melakukan kejahatan.
Menanggapi pertanyaan itu, Reinhard yang baru sepekan menjabat mengatakan, timnya telah turun menyelidiki kebenaran informasi pungutan Rp 5 juta-Rp 10 juta itu. Informasi tersebut antara lain berasal dari lapas di Lampung. Hasil penyelidikan, tim tak menemukan adanya pungutan itu.
Namun, jawaban Reinhard tidak memuaskan anggota Komisi III DPR lainnya yang masih meminta Reinhard agar mendalami informasi tersebut.
”Kejadian ini juga ditemui di Cilacap, Banyumas, Aceh, dan Jakarta. Tidak mungkin kalau sampai ada orang mau mengarang cerita itu karena tidak ada politik. Jadi, sebaiknya segera tindak dan cari sampai ke tingkat tertinggi. Sebab, polanya sama, yakni lewat sesama tahanan,” ujar Habiburokhman, anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Gerindra.