Substansi rancangan perpres tentang tugas TNI mengatasi aksi terorisme memiliki sudut pandang bahwa terorisme bertujuan menghilangkan eksistensi negara-bangsa. Namun, perpres tak mengamodasi pengaturan eskalasi.
Oleh
Edna C Pattisina
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Substansi rancangan peraturan presiden tentang tugas Tentara Nasional Indonesia dalam mengatasi aksi terorisme memiliki sudut pandang bahwa terorisme bertujuan untuk menghilangkan eksistensi negara-bangsa. Namun, sayangnya, dalam perpres tidak dicantumkan pengaturan terkait eskalasi yang membutuhkan pelibatan TNI dalam upaya penghilangan eksistensi negara.
Rektor Universitas Jenderal Achmad Jani (Unjani) Hikmahanto Juwana, Senin (11/5/2020), mengatakan, ia setuju dengan substansi perpres tersebut. Pasalnya, saat ini bentuk aksi terorisme tidak sekadar membuat suasana teror, tetapi juga bisa menghilangkan eksistensi negara dan bangsa, termasuk NKRI. ”Sistem peradilan pidana mulai dari polisi hingga pengadilan dan lapas tidak bisa menyelesaikan terorisme yang akan meruntuhkan NKRI,” kata Guru Besar Universitas Indonesia ini.
Ia mengatakan, yang perlu diatur adalah eskalasi pada saat apa perlu melibatkan TNI. Gerakan terorisme, seperti Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS), itu memiliki eskalasi ancaman yang tinggi karena ingin menghilangkan negara bangsa. Menurut dia, TNI saat ini sudah mengadopsi hukum humaniter.
Kalau yang dikhawatirkan adalah penyalahgunaan kewenangan oleh TNI, seharusnya kita yakin TNI tidak akan terperosok untuk kedua kali dan sekarang, kan, sudah ada kontrol DPR, LSM, media, dan masyarakat.
”Kalau yang dikhawatirkan adalah penyalahgunaan kewenangan oleh TNI seharusnya kita yakin TNI tidak akan terperosok untuk kedua kali dan sekarang, kan, sudah ada kontrol DPR, LSM, media dan masyarakat,” kata Hikmahanto menambahkan.
Hendardi, Ketua Setara Institute, mengatakan, perpres tersebut adalah turunan dari Pasal 43I UU No 5/2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Oleh karena itu, perpres tidak boleh keluar dari pasal tersebut. Menurut Hendardi, seharusnya yang disusun pemerintah adalah kriteria eskalasi ancaman, jenis-jenis terorisme, prosedur pelibatan, mekanisme perbantuan, dan akuntabilitas pelibatan TNI dalam menangani terorisme.
TNI adalah alat pertahanan yang melaksanakan operasi militer selain perang berdasarkan keputusan presiden yang dikonsultasikan dengan DPR. Namun, dalam perpres tersebut, TNI mendapat tugas memberantas terorisme secara berkelanjutan, dari hulu ke hilir, di luar kerangka criminal justice system, dengan pendekatan operasi teritorial, dan memberikan justifikasi pada penggunaan anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) yang merupakan dana penyelenggaraan otonomi daerah.
”Rumusan operasi teritorial ini menjadi ancaman baru bagi kebebasan sipil warga. Rumusan model ini hanya menggambarkan kehendak memupuk anggaran dan mengokohkan kembali supremasi militer dalam kehidupan sipil,” kata Hendardi.
Rencana pemerintah menerbitkan Perpres tentang Tugas TNI dalam Mengatasi Aksi Terorisme dikritik banyak kalangan. Perpres tersebut dinilai berpotensi melanggar hak asasi manusia dan tidak sesuai dengan peraturan perundangan yang ada.
Regulasi yang berpotensi ditabrak perpres tersebut, antara lain, Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI, UU No 5/2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, dan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Belum sampai ke Kemensetneg
Pengajar hukum pidana Universitas Parahyangan, Bandung, Agustinus Pohan, Minggu (10/5/2020), mengatakan, peran TNI ialah dalam pertahanan negara, bukan penegakan hukum. Pelibatan TNI dalam penanganan tindak pidana terorisme pun harus diatur dalam batasan yang jelas sehingga tidak bertentangan dengan kewenangannya yang diatur di dalam UU TNI. Sifatnya pun perbantuan, penindakan tidak menjadi kewenangan utama TNI.
”Tidak ada gunanya juga melibatkan TNI dalam penindakan terorisme, untuk apa, dan manfaatnya apa, karena toh TNI tidak pernah dilatih untuk menangani terorisme dalam koridor hukum. TNI itu dilatih berperang,” kata Agustinus Pohan.
Pemerintah saat ini tengah menyiapkan perpres tentang pelibatan TNI dalam menangani terorisme. Dalam draf final perpres yang beredar, TNI akan memiliki fungsi penangkalan, penindakan, dan pemulihan. Rancangan perpres itu juga mengatur tentang pendanaan untuk mengatasi terorisme yang dilakukan TNI. Sumber dana tersebut berasal dari anggaran pendapatan dan belanja negara/daerah.
Setneg belum mengetahui isinya, mungkin masih di Kemhan.
Saat ini, rancangan perpres tersebut telah dikirim ke DPR untuk dimintakan pertimbangan. Namun, di sisi lain, DPR mengaku belum menerima draf perpres tersebut.
Saat ditanyakan ke Menteri Sekretariat Negara Pratikno pada Senin malam ini, draf perpres tersebut dinyatakan belum sampai ke Kemensetneg. ”Setneg belum mengetahui isinya, mungkin masih di Kemhan drafnya,” ujarnya.
Pratikno juga menyatakan, perpres adalah peraturan yang dikeluarkan khusus oleh Presiden. Oleh karena itu, perpres-nya tidak perlu dikirimkan ke DPR, tetapi cukup diundangkan oleh Kementerian Hukum dan HAM setelah ditandatangani oleh Presiden. Pengundangan perpres biasanya dalam lembaran negara agar diketahui oleh publik substansinya.
”Isi perpres itu biasanya disiapkan oleh kementerian, seperti terorisme disiapkan oleh Kemhan. Sebelum ditandatangani oleh Presiden, bisa saja isinya dikonsultasikan dengan DPR. Mungkin rancangan itu yang dikonsultasikan oleh Kemhan ke DPR,” tutur Pratikno.
Sebelumnya, dalam siaran pers Koalisi Masyarakat Sipil menyatakan, rancangan Perpres tentang Tugas TNI dalam Mengatasi Aksi Teorisme dinilai mengancam HAM di Indonesia. Siaran pers ditandatangani banyak lembaga swadaya masyarakat, di antaranya Kontras, YLBHI, dan Elsam.