Keluarga Korban Semanggi I dan II Gugat Jaksa Agung ke PTUN
Gugatan terkait pernyataan Jaksa Agung ST Burhanuddin yang menyatakan tragedi Semanggi I dan II bukan pelanggaran HAM berat. Gugatan sengaja didaftarkan pada 12 Mei 2020 untuk mengingat Tragedi Trisakti, 22 tahun silam.
Oleh
Edna C Pattisina
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Keluarga korban kasus pelanggaran hak asasi manusia berat masa lalu, yaitu Semanggi I dan II, menggugat Jaksa Agung ST Burhanuddin di Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta. Gugatan terkait pernyataan jaksa agung saat rapat dengan Komisi III DPR, 16 Januari 2020, yang menyatakan Semanggi I dan Semanggi II bukan kasus pelanggaran HAM berat.
”Yang menuntut atas nama Ibu almarhum Yun Hap-Ho Kim Ngo dan saya,” kata Maria Katarina Sumarsih, ibu dari almarhum Bernardinus Realino Norma Irawan atau Wawan, seusai mendaftarkan gugatannya di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta, Selasa (12/5/2020). Mereka didampingi oleh pengacara dari Koalisi untuk Keadilan Semanggi I dan II (Kontras, Amnesty Internasional Indonesia, YLBHI, LBH Jakarta, AJAR).
Untuk diketahui, Yun Hap merupakan mahasiswa semester 7 Jurusan Elektro Universitas Indonesia, Jakarta, yang tewas ditembak dalam Tragedi Semanggi II, 24 September 1999. Adapun Wawan adalah mahasiswa Fakultas Ekonomi Universitas Atmajaya, Jakarta, yang juga tewas ditembak saat Tragedi Semanggi I, 13 November 1998.
Gugatan sengaja didaftarkan pada 12 Mei 2020 untuk mengingat peristiwa penembakan di dalam kampus Trisakti, Jakarta, tepat 22 tahun yang lalu. Tragedi yang dikenal Tragedi Trisakti itu menewaskan empat mahasiswa Trisakti.
Sumarsih mengatakan, sebelum gugatan dilayangkan, pihaknya sudah mengirimkan surat keberatan pada Jaksa Agung. Akan tetapi, jawaban yang diterima tidak relevan dengan keberatan yang diajukan.
Dimas Bagus Arya, wakil dari Kontras, mengatakan, langkah hukum ini strategis karena pernyataan itu menodai perjuangan panjang penyintas dan keluarga. ”Gugatan terhadap Jaksa Agung ini merupakan upaya kolektif melalui litigasi strategis. Audiensi selama lebih dari 20 tahun menjadi catatan panjang upaya penuntasan kasus pelanggaran HAM berat yang belum juga terwujud,” ujarnya.
”Dua puluh dua tahun bukan waktu yang singkat. Walau kami lelah, kami akan lewati jalan yang bisa kami lalui untuk menuntut penyelesaian dan penegakan hukum terhadap penembakan para mahasiswa ini agar tidak terjadi lagi di Indonesia,” kata Sumarsih.
Ia menekankan pengusutan kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu, termasuk Semanggi I dan II, sangat penting. ”Kalau tanpa proses hukum, Indonesia akan terus langgengkan impunitas. Keberulangan harus diputus dengan penegakan hukum,” ujar Sumarsih.
Ia mencontohkan, kasus penembakan mahasiswa yang kembali terjadi di Kendari, saat mereka berunjuk rasa menolak sejumlah RUU kontroversial, tahun lalu, yang hingga kini tak jelas pengusutannya. Begitu pula kekerasan yang ditempuh aparat dalam membubarkan unjuk rasa kala itu.
Saleh Alghifari, perwakilan kuasa hukum dari LBH Jakarta, mengatakan, gugatan ke PTUN relevan karena pernyataan jaksa agung itu bersifat resmi dan berdampak pada kebijakan pengungkapan pelanggaran HAM yang berat, dalam hal ini Semanggi I dan II. ”Tujuan akhir kami adalah Jaksa Agung menarik kembali perkataannya dan meneruskan proses hukum,” kata Saleh.
Saleh menyesalkan pernyataan itu disampaikan seorang Jaksa Agung, yang seharusnya tahu bahwa dalam sistem hukum Indonesia yang menjadi acuan utama adalah Komnas HAM. Sementara selama ini Komnas HAM telah menyatakan peristiwa Semanggi I dan II adalah pelanggaran HAM berat.
Justitia Avila Veda dari Amnesty International Indonesia menambahkan, dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18 Tahun 2007, konteks untuk menentukan dugaan pelanggaran HAM dalam suatu peristiwa ada di luar mandat DPR.
Koalisi untuk Keadilan Semanggi I dan II menyatakan, pernyataan Jaksa Agung menyebabkan keluarga korban sebagai para penggugat mengalami kerugian langsung.
Pernyataan Jaksa Agung telah menghambat proses hukum pelanggaran HAM Berat Peristiwa Semanggi I dan II, menghalangi kepentingan keluarga korban untuk mendapatkan keadilan atas meninggalnya para korban Peristiwa Semanggi I dan II, serta menghalangi keluarga korban mendapatkan akses kepastian hukum dan kebenaran peristiwa pelanggaran HAM.
Pernyataan Jaksa Agung juga turut mengaburkan fakta bahwa peristiwa Semanggi I dan II adalah pelanggaran HAM berat. Hal ini dinilai mencederai perjuangan keluarga korban dan seluruh masyarakat pendukung yang tidak pernah berhenti sejak 1998.
Melalui gugatan TUN ini, Jaksa Agung diharapkan mengklarifikasi dan membatalkan pernyataan yang menyatakan peristiwa Semanggi I dan II bukan merupakan kasus pelanggaran HAM berat. Selain itu, mendorong Jaksa Agung melanjutkan penyidikan kasus-kasus pelanggaran HAM berat berdasarkan penyelidikan dan laporan dari Komnas HAM, sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.