Penerapan Kuasa Presiden atas ASN Tidak Bisa Sembarangan
Sekalipun Presiden berwenang penuh atas ASN, prosesnya tetap harus mengedepankan sistem merit. Selain itu, pelaksanaannya harus diawasi Komisi ASN.
Oleh
Nikolaus Harbowo dan Prayogi Dwi Sulistyo
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penerapan kuasa penuh Presiden terhadap manajemen aparatur sipil negara atau ASN tidak bisa sembarangan. Ada sejumlah kondisi yang harus terpenuhi agar hal itu bisa diterapkan. Begitu pula dalam pelaksanaannya harus tetap berbasis sistem merit dan diawasi oleh Komisi ASN.
Kewenangan penuh Presiden dalam manajemen ASN itu tertuang di dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 17 Tahun 2020. Di PP yang diteken pada 28 Februari 2020 tersebut, Presiden berwenang menetapkan pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian ASN.
Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Tjahjo Kumolo, saat dihubungi di Jakarta, Jumat (15/5/2020), mengatakan, lahirnya PP yang merevisi PP No 11/2017 itu bertujuan untuk lebih mendorong pengembangan karier, pemenuhan kebutuhan organisasi, dan pengembangan kompetensi ASN.
”Perubahan justru mendorong agar PPK (pejabat pembina kepegawaian) dapat melaksanakan sistem merit dengan cepat. Namun, di lain pihak, Presiden dapat menarik kembali kewenangan yang telah didelegasikan ke PPK jika ditemukan pelanggaran sistem merit oleh PPK,” ujar Tjahjo.
Guru Besar dan Dekan Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia Eko Prasodjo menjelaskan, dalam norma hukum formal, Presiden dapat mengangkat, memindahkan, dan memberhentikan ASN. Ini selaras dengan Pasal 4 Ayat 1 UUD 1945 di mana Presiden merupakan pemegang kekuasaan pemerintahan, termasuk di dalamnya kepegawaian.
Namun, ia mengingatkan, kewenangan penuh Presiden itu hanya berlaku jika terjadi pelanggaran sistem merit pada ASN oleh PPK dan untuk efektivitas pemerintahan.
Selebihnya, kewenangan pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian ASN mesti didelegasikan oleh Presiden kepada PPK. Yang dimaksud PPK adalah menteri, kepala lembaga, dan kepala daerah.
”Jadi, selama semua proses berbasis sistem merit, maka Presiden tidak bisa menarik kewenangan PPK,” ujarnya.
Sekalipun Presiden berwenang penuh atas ASN, mantan Wakil Menpan dan RB ini mengingatkan, prosesnya tetap harus mengedepankan sistem merit. Selain itu, pelaksanaannya juga harus diawasi Komisi ASN.
Jabatan non-PNS
Selain aturan kewenangan penuh, PP terbaru itu juga mengatur jabatan pimpinan tinggi (JPT) utama dan madya di bidang rahasia negara, pertahanan, keamanan, pengelolaan aparatur negara, kesekretariatan negara, pengelolaan sumber daya alam, yang dapat diisi dari kalangan non-pegawai negeri sipil (PNS). Asalkan, pengisian jabatan itu mendapat persetujuan Presiden setelah melalui pertimbangan dari menteri, Kepala Badan Kepegawaian Negara (BKN), dan Menteri Keuangan.
Terkait hal ini, Eko mengatakan, Undang-Undang No 5/2014 tentang ASN telah memberikan peluang bagi non-PNS untuk menjadi JPT madya dan utama.
”Selama basis syarat kompetensi dan kontrak kinerja jelas, tak ada masalah. Masyarakat juga bisa mengawasi apakah seorang non-PNS layak atau tidak. Hal itu diterapkan di negara-negara maju. Di Korea Selatan, sejak 1983, sebanyak 32 persen JPT madya dari non-PNS,” kata Eko.
Ketua Komisi ASN Agus Pramusinto pun berharap pengisian jabatan dari kalangan non-PNS dilakukan dengan tetap berbasis pada sistem merit.