Penolakan RUU Haluan Ideologi Pancasila semakin kuat Selain dinilai memeras lima sila Pancasila jadi eka atau trisila, RUU itu juga tak menimbang TAP MPRS pembubaran PKI. DPR diminta fokus pada penanganan Covid-19.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·6 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penolakan terhadap Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila atau RUU HIP terus muncul dari berbagai kalangan di masyarakat. Rancangan undang-undang inisiatif DPR, yang sudah dikirimkan kepada pemerintah, memiliki batas waktu selama 60 hari untuk ditanggapi sebelum dikirim kembali ke DPR untuk diputuskan dilanjutkan atau tidak pembahasannya bersama. Selama 60 hari itu, seluruh masukan dari berbagai kalangan masyarakat akan ditampung pemerintah terlebih dahulu.
Dewan Pimpinan Pusat Majelis Ulama Indonesia (DPP MUI) pada akhir pekan ini telah menyatakan sikapnya terkait RUU HIP. Dengan maklumat Nomor: Kep-1240/DP-MUIMI/2020, DPP MUI menyatakan empat poin sikapnya menanggapi RUU HIP. Maklumat tersebut berlaku untuk DPP MUI hingga seluruh dewan pimpinan provinsi MUI di Indonesia.
Empat poin sikap dikeluarkan MUI setelah mencermati dengan saksama terhadap RUU HIP melalui berbagai kajian dan diskusi. Pertama, MUI keberatan terhadap RUU HIP karena tidak mencantumkan Ketetapan MPRS atau TAP Nomor 25/MPRS/1966 Tahun 1966 tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia (PKI). MUI meminta kepada fraksi-fraksi di DPR mempertimbangkan unsur sejarah, terutama peristiwa Gerakan 30 September yang melibatkan Partai Komunis Indonesia (PKI).
Ini berpotensi menyingkirkan peran agama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dapat pula diartikan bahwa ini adalah bentuk pengingkaran terhadap keberadaan Pembukaan dan Batang Tubuh UUD 1945 sebagai dasar negara.
Selain itu, RUU HIP juga dianggap telah mendistorsi substansi dan makna nilai-nilai Pancasila sebagaimana tertuang dalam pembukaan dan batang tubuh UUD 1945. MUI menilai Pembukaan UUD 1945 dan batang tubuhnya sudah memadai sebagai tafsir dan penjabaran dari Pancasila. Tafsir baru dalam bentuk RUU HIP justru berpotensi mendegradasi eksistensi Pancasila. Selain itu, menafsirkan pancasila menjadi trisila dan ekasila, yaitu ”gotong royong” juga dianggap sebagai upaya pengaburan dan penyimpangan makna dari Pancasila. Trisila dan ekasila dianggap secara terselubung ingin melumpuhkan sila pertama Pancasila, yaitu ”Ketuhanan Yang Maha Esa” yang dikukuhkan dengan Pasal 29 Ayat (1) UUD 1945.
”Ini berpotensi menyingkirkan peran agama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dapat pula diartikan bahwa ini adalah bentuk pengingkaran terhadap keberadaan Pembukaan dan Batang Tubuh UUD 1945 sebagai dasar negara,” ujar Wakil Ketua Umum MUI Muhyiddin Junaidi, saat dikonfirmasi, Minggu (14/6/2020).
Muhyiddin juga menyampaikan, MUI menilai RUU HIP hanya membuang waktu dan uang. Apalagi, saat ini Indonesia masih berperang melawan penyakit akibat virus korona baru (Covid-19). Pembahasan RUU ini tidak urgen, dan malah menunjukkan bahwa DPR tidak berempati terhadap masalah rakyat. Alih-alih membahas RUU yang berpotensi merugikan masyarakat, MUI meminta DPR fokus dalam mengawasi pemerintah pada upaya memotong mata rantai pandemi Covid-19.
”Kemarin saja, rakyat sudah kecolongan dengan UU Nomor 2/2020 tentang Penetapan Perppu No 1/2020. DPR bagaikan macan ompong karena hanya diam saat beberapa wewenangnya diambil di aturan tersebut. Sekarang malah berinisiatif membahas RUU lain yang bermasalah seperti RUU HIP, ” kata Muhyiddin.
Muhyiddin menegaskan, MUI meminta agar RUU HIP dibatalkan pembahasannya demi kepentingan rakyat dan bangsa Indonesia. Jika DPR tetap ngotot membahas RUU HIP, MUI bersama rakyat akan mengambil langkah untuk menekan keputusan tersebut.
”Pancasila adalah ideologi negara yang menjadi rujukan konstitusi dan perundang-undangan di bawahnya. Jangan diotak-atik dengan 80 persen pasal yang kita nilai ngawur,” kata Muhyiddin.
Muhammadiyah nilai jadi polemik sejarah
Sementara itu, Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah memang belum mengeluarkan pernyataan resmi terkait RUU HIP. Menurut rencana, pernyataan sikap resmi akan dilakukan pekan depan. Namun, Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Abdul Mu’ti, saat dihubungi mengatakan bahwa RUU HIP justru menjadi polemik sejarah masa lalu.
Rangkaian proses penetapan Pancasila sejak hari kelahiran 1 Juni 1945, Piagam Jakarta 22 Juni 1945, dan 18 Agustus 1945 seharusnya sudah selesai dan tidak perlu diangkat lagi menjadi perdebatan ideologis yang kontraproduktif. Apalagi, saat ini kondisi bangsa sedang berperang melawan Covid-19. Seharusnya, tugas bangsa Indonesia saat ini adalah mengukuhkan dan mengamalkan Pancasila agar menjadi bangsa yang merdeka, berdaulat, adil, dan makmur.
”Sebagaimana kajian Muhammadiyah, RUU HIP ini tidak urgent. Dalam UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Perundang-Undangan disebutkan, RUU harus memenuhi unsur kesesuaian, daya guna, kehasilgunaan, asas pengayoman, dan kepastian hukum. Syarat-syarat itu tidak terpenuhi dalam RUU HIP,” kata Mu’ti.
Lebih lanjut, Mu’ti mengatakan bahwa jangan sampai DPR membuat RUU yang hanya menghabiskan energi masyarakat untuk memperdebatkan sesuatu yang tidak mendesak. Lebih baik, DPR berfokus pada pekerjaan lain pada masa pandemi Covid-19 ini.
NU nilai pelembagaan Pancasila tidak perlu
Sementara itu, Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (PP ISNU) M Kholid Syeirazi mengatakan, setelah membaca draft naskah akademis maupun RUU, PP ISNU menyimpulkan bahwa tidak perlu dan tidak mendesak pelembagaan terhadap Pancasila. RUU HIP justru akan memicu tafsir tunggal Pancasila seperti di era Orde Baru. Sebab, dengan RUU HIP ini tidak ada lagi tafsir terbuka terhadap falsafah bangsa yang diletakkan oleh para pendiri bangsa (founding fathers). RUU HIP juga berpotensi akan dijadikan alat untuk memukul kelompok yang dianggap anti Pancasila.
“RUU HIP ini juga memunculkan trauma lama terhadap hantu peristiwa kelam di Indonesia seperti dengan tidak dicantumkannya TAP MPRS tentang Pembubaran PKI. Ini sangat tidak produktif dan tidak mendesak,” ujar Kholid.
Dibandingkan membuat tafsir tunggal terhadap Pancasila melalui RUU HIP, yang dibutuhkan sekarang adalah penerjemahan Pancasila dalam ideologi kerja. Misalnya, Indonesia saat ini membutuhkan UU Sistem Perekonomian Nasional yang merupakan penjelmaan dari sila kelima Pancasila ataupun Pasal 33 UUD 1945. Sebab, menurut dia, saat ini Indonesia belum memiliki aturan induk perekonomian dan penerjemahannya masih tidak jelas. UU Produksi Sumber Daya Alam, misalnya, masih terpisah-pisah sehingga tidak sinkron satu dan lainnya.
Selain itu, PP ISNU juga menilai RUU HIP ini tidak tepat jika dibahas dalam suasana Indonesia sedang berperang melawan Covid-19. Pada saat negara membutuhkan banyak energi untuk mengatasi pandemi, DPR justru muncul dengan RUU yang menjadi polemik di masyarakat.
Pemerintah tengah mempelajari
Menkopolhukam Mahfud MD dalam keterangan tertulis, Sabtu (13/6/2020), mengatakan bahwa RUU HIP merupakan inisiatif DPR dan masuk dalam Program Legislasi Nasional 2020. Saat ini, pemerintah sudah menerima RUU tersebut. Namun, presiden belum mengirimkan surat presiden (surpres) untuk membahasnya dalam proses legislasi. Pemerintah saat ini sedang mempelajari RUU tersebut secara saksama dan menyiapkan beberapa pandangan.
Pemerintah juga akan menolak jika ada usulan untuk memeras Pancasila menjadi trisila atau ekasila. Bagi pemerintah, Pancasila adalah lima sila yang tercantum di dalam Pembukaan UUD 1945 yang disahkan pada 18 Agustus 1945 dalam satu kesatuan paham. Kelima sila tersebut tidak bisa dijadikan satu atau dua atau tiga, tetapi dimaknai dalam satu kesatuan yang bisa dinarasikan dengan istilah satu tarikan napas.
Salah satu sikap keberatan pemerintah adalah tidak dicantumkannya TAP MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 dalam konsideran RUU tersebut. Berdasarkan TAP MPR Nomor I Tahun 2003, pelarangan ideologi komunis di Indonesia bersifat final dan tidak ada ruang hukum untuk mengubah atau mencabut TAP MPRS XXV tahun 1966.
Selain itu, menurut Mahfud, pemerintah juga akan menolak jika ada usulan untuk memeras Pancasila menjadi trisila atau ekasila. Bagi pemerintah, Pancasila adalah lima sila yang tercantum di dalam Pembukaan UUD 1945 yang disahkan pada 18 Agustus 1945 dalam satu kesatuan paham. Kelima sila tersebut tidak bisa dijadikan satu atau dua atau tiga, tetapi dimaknai dalam satu kesatuan yang bisa dinarasikan dengan istilah satu tarikan napas.
”Pancasila yang semula digagas dan diusulkan Bung Karno pada 1 Juni 1945 merupakan satu rangkaian dengan Piagam Jakarta tanggal 22 Juni 1945 dan rumusan Pembukaan tanggal 18 Agustus 1945. Perumusannya semua dipimpin Bung Karno sampai ada kesepakatan pendiri bangsa pada sidang BPUPKI tanggal 18 Agustus 1945,” kata Mahfud.