Tiga bulan sejak kasus positif Covid-19 pertama ditemukan di Tanah Air, partai-partai politik, terutama yang mewakili rakyat di parlemen, mulai kehilangan kepercayaan dari para pemilik mandat.
Oleh
ANITA YOSSIHARA/NIKOLAUS HARBOWO
·5 menit baca
Hasil survei Indikator Politik Indonesia menunjukkan, dari sembilan partai politik (parpol) di parlemen, hanya dua parpol yang tingkat keterpilihannya naik. Dua parpol itu adalah Partai Nasdem yang naik dari 2,3 persen pada Februari 2020 menjadi 3,3 persen dan Partai Amanat Nasional yang naik dari 1,3 persen menjadi 2,1 persen.
Sementara elektabilitas tujuh parpol parlemen lainnya mengalami penurunan. Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), sebagai pemenang Pemilu 2019, pun tak bisa mempertahankan kepercayaan rakyat. Elektabilitasnya turun drastis dari 29,8 persen pada Februari menjadi 22,2 persen.
Parpol pengusung Joko Widodo-Ma’ruf Amin lainnya juga mengalami penurunan elektabilitas. Di antaranya Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) turun dari 7,8 persen menjadi 5,7 persen dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) 3,8 persen menjadi 1,7 persen. Hanya Partai Golkar yang turun tipis dari 6,7 persen menjadi 6,4 persen.
Penurunan juga dialami Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang pada Pemilihan Presiden 2019 mengusung Prabowo Subianto-Sandiaga Uno. Gerindra yang pada Februari lalu elektabilitasnya masih 26,2 persen, kini menjadi 15,2 persen dan PKS turun dari 4,7 persen menjadi 4 persen.
Demokrat yang memosisikan diri sebagai parpol penengah tak luput dari penurunan. Elektabilitas yang sebelumnya 4,6 persen menjadi 3,6 persen. Angka elektabilitas itu didapat dari survei yang dilakukan Indikator Politik Indonesia sepanjang 16-18 Mei dengan melibatkan 1.200 responden di semua provinsi. Tingkat kepercayaan survei diklaim mencapai 95 persen dengan toleransi kesalahan (margin of error) lebih kurang 2,9 persen.
Direktur Indikator Politik Indonesia Burhanuddin Muhtadi mengungkapkan, penurunan elektabilitas parpol terjadi lantaran masyarakat melihat parpol tidak banyak terlibat dalam menyelesaikan persoalan besar bangsa saat ini, yakni pandemi Covid-19.
Rakyat pun hilang kepercayaan karena pada masa-masa sulit, parpol malah sibuk mengurusi agenda kelompok mereka sendiri.
Keputusan kontroversi
Pandangan Burhanudin mengenai buruknya kinerja parpol tak berlebihan. Sejumlah keputusan kontroversial beberapa kali diambil DPR saat rakyat sibuk menghadapi Covid-19.
Pada awal pandemi, misalnya, DPR ngotot untuk tetap membahas Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja. Keputusan DPR itu nyaris membuat buruh nekat turun ke jalan untuk berunjuk rasa di tengah ancaman virus SARS-CoV-2.
Dua RUU lain yang sempat ditunda pembahasannya karena unjuk rasa besar-besaran, akhir September 2019, juga sudah disiapkan untuk kembali dibahas. Keduanya adalah RUU Pemasyarakatan dan RUU Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).
Hasil jajak pendapat Litbang Kompas pada 15-17 April 2020 yang melibatkan 345 responden dari 34 provinsi menunjukkan, lebih dari 70 persen responden menilai RUU Cipta Kerja, RUU Pemasyarakatan, dan RUU KUHP tidak mendesak dibahas di tengah pandemi Covid-19.
Publik khawatir, jika DPR ngotot membahas dan mengesahkan RUU yang melahirkan pro-kontra di tengah pandemi ini, citranya akan semakin terpuruk. Kekhawatiran itu disampaikan 69,9 persen responden. Apalagi, secara umum sebagian besar responden dalam jajak pendapat belum puas terhadap kinerja DPR selama ini (Kompas, 20/4/2020).
Bahkan, pada 12 Mei lalu, DPR mengesahkan RUU revisi UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan, Mineral, dan Batubara (Minerba) menjadi undang-undang. UU Minerba baru itu langsung mendapat sambutan negatif dari masyarakat karena mengandung sejumlah ketentuan yang merugikan rakyat, tetapi menguntungkan pengusaha tambang raksasa.
Salah satunya Pasal 169A yang mengatur penjaminan perpanjangan kontrak karya pengusaha pertambangan batubara tanpa pelelangan.
Keputusan lain yang juga bertentangan dengan kehendak publik adalah tetap digelarnya pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak pada 9 Desember 2020. Padahal, banyak kalangan mengusulkan pilkada ditunda hingga pandemi Covid-19 bisa dikendalikan. Namun, DPR bergeming, bersama pemerintah dan KPU tetap melanjutkan pilkada di akhir tahun ini.
Tak hanya keputusan kontroversial, ketidakhadiran parpol dalam berbagai kebijakan pemerintah yang memberatkan rakyat juga menjadi sebab turunnya kepercayaan rakyat.
”Parpol gagal hadir saat isu-isu kontroversial muncul di muka publik, seperti tabungan perumahan rakyat, pemindahan ibu kota, dan terakhir tuntutan masyarakat terhadap proses hukum atas penyerangan terhadap penyidik senior KPK Novel Baswedan,” kata pengajar Komunikasi Politik Universitas Paramadina, Hendri Satrio.
Sejumlah parpol menampik pandangan-pandangan itu. Sekretaris Jenderal PDI-P Hasto Kristiyanto mengatakan, sejak pandemi Covid-19 muncul, PDI-P menggalakkan gotong royong nasional, mewajibkan kader membantu rakyat.
Kader PDI-P di pemerintahan juga diinstruksikan untuk mengambil kebijakan yang berpihak kepada rakyat.
”Kepala daerah dan wakil kepala daerah dari PDI-P dengan dukungan DPRD diharuskan merealokasi anggaran untuk penanggulangan Covid-19, memperkuat ekonomi rakyat, penciptaan lapangan kerja, dan bantuan obat-obatan,” katanya.
Sekretaris Jenderal PPP Arsul Sani pun menegaskan, aktivitas sosial para pengurus serta kader PPP justru meningkat pada masa pandemi Covid-19.
”PPP mewajibkan anggota legislatifnya untuk menyumbangkan sebagian besar gaji dan tunjangannya guna membantu masyarakat, baik dalam bentuk bansos maupun perlengkapan kesehatan,” tuturnya. Karena itu, Arsul yakin kepercayaan publik kepada PPP tetap terjaga, bahkan membaik.
Sebaliknya, bagi parpol yang elektabilitasnya meningkat, beranggapan kerja parpol membantu masyarakat di tengah pandemi telah berbuah hasil.
Ketua DPP Nasdem Willy Aditya menyebutkan, partainya masif dan responsif membantu masyarakat. Sejak awal pandemi, Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh pun telah menegaskan pentingnya perubahan cara bertindak dan berpikir partai. Kader diingatkannya untuk terus bersama rakyat, apalagi saat terjadi musibah. ”Itu yang wajib. Jangan saat pemilu datang, saat musibah tidak datang,” katanya.
Sementara itu, meski tengah menghadapi konflik internal, PAN pun tetap bekerja membantu masyarakat.
Selain itu, elektabilitas PAN yang naik, menurut Wakil Ketua Umum PAN Viva Yoga Maulady, kemungkinan karena pergerakan organisasi dan konsolidasi partai sampai tingkat desa. Meski belum masif, nuansa baru di tubuh PAN sudah mulai terasa. Survei internal PAN juga disebutkannya menunjukkan elektabilitas yang terus naik.
Bagaimanapun keterlibatan parpol dalam penyelesaian persoalan masyarakat, termasuk Covid-19 dan dampaknya, tetap akan berpengaruh pada tingkat kepercayaan publik. Jika kepercayaan publik terus menurun, hal itu dikhawatirkan akan berdampak buruk pula bagi demokrasi di Indonesia. Dengan demikian, sudah semestinya parpol menjadikan turunnya elektabilitas sebagai tanda bahaya.