MA kembali memberikan putusan meringankan hukuman terpidana kasus korupsi dengan mengabulkan permohonan peninjauan kembali bekas panitera PN Jakarta Utara, Rohadi. Hal itu bisa memengaruhi keyakinan publik kepada KPK.
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO
·3 menit baca
Mahkamah Agung mengabulkan peninjauan kembali yang diajukan bekas panitera Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Rohadi, dan terpidana perkara Bank Century, Robert Tantular.
JAKARTA, KOMPAS — Mahkamah Agung kembali memberikan putusan yang meringankan hukuman terpidana kasus korupsi dengan mengabulkan permohonan peninjauan kembali bekas panitera Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Rohadi. Hal tersebut dipandang bisa berpengaruh pada keyakinan publik terhadap pemberantasan korupsi.
Juru Bicara MA Andi Samsan Nganro, Jumat (19/6/2020), mengatakan, MA telah mengabulkan permohonan peninjauan kembali (PK) Rohadi. MA membatalkan putusan judex facti atau Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, lalu majelis hakim PK pada MA mengadili kembali.
Rohadi dijatuhi pidana penjara 5 tahun dan denda Rp 300 juta subsider 3 bulan kurungan. Putusan tersebut dijatuhkan pada Rabu (17/6). Sebelumnya, Rohadi divonis 7 tahun penjara oleh Pengadilan Tipikor Jakarta. Dia terbukti menerima suap dari pengacara artis Saipul Jamil yang terjerat perkara percabulan (Kompas.com, 8/12/2016).
”Menurut majelis hakim PK, pemohon PK/terpidana (Rohadi) yang berstatus panitera pengganti, dan dalam hal ini berperan sebagai perantara, tak tepat dan tak relevan menerapkan dakwaan Pasal 12 Huruf a UU Tipikor,” kata Andi.
Menurut majelis hakim PK, pemohon PK/terpidana (Rohadi) yang berstatus panitera pengganti, dan dalam hal ini berperan sebagai perantara, tak tepat dan tak relevan menerapkan dakwaan Pasal 12 Huruf a UU Tipikor. (Andi Samsan Nganro)
Dia menjelaskan, salah satu unsur pada pasal itu, Rohadi telah melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya. Menurut majelis hakim, Rohadi tidak mempunyai kewenangan dalam jabatan sebagai panitera pengganti yang menunjuk majelis hakim untuk mengadili terdakwa Saipul Jamil. Selain itu, Rohadi juga tidak memiliki kewenangan memutus perkara dalam menentukan berat ringannya hukuman.
Oleh karena itu, menurut majelis hakim PK, dakwaan yang lebih tepat dikenakan kepada Rohadi adalah melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana dalam dakwaan melanggar Pasal 11 UU Tipikor.
Pidana nihil
MA pada 18 Juni 2020 juga mengabulkan PK Robert Tantular terkait tindak pidana pencucian uang. Terpidana perkara Bank Century ini sebelumnya divonis total 21 tahun penjara dalam empat perkara, yakni terkait pidana perbankan dan tindak pidana pencucian uang. Ia sudah memperoleh pembebasan bersyarat pada 2018 setelah mendapatkan total remisi 74 bulan dan 110 hari (Kompas.id, 21/1/2019).
”Permohonan PK pemohon/terpidana Robert Tantular dikabulkan dengan membatalkan putusan judex juris (putusan yang dimohonkan PK),” ujar Andi.
Ia menambahkan, majelis hakim PK pada MA menyatakan Robert terbukti bersalah melakukan tindak pidana. Meskipun Robert tetap dinyatakan bersalah, ia tidak dijatuhi pidana atau dipidana nihil. Andi menjelaskan, dipidana nihil berarti tidak dijatuhi pidana karena pidana Robert sudah melebihi 20 tahun apabila digabung dengan pidana yang sudah dijatuhkan kepadanya.
Sebelumnya, MA memutus pengurangan hukuman lewat PK kepada bekas Bupati Buton, Sulawesi Tenggara, Samsu Umar Abdul Samiun. Pada 12 Desember 2019, Samsu mendapat pengurangan hukuman pidana menjadi 3 tahun penjara. Sebelumnya, Pengadilan Tipikor Jakarta memvonis dia dengan pidana penjara 3 tahun 9 bulan dan denda Rp 150 juta subsider 3 bulan kurungan. Ia dinyatakan bersalah karena menyuap bekas Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar terkait sengketa pilkada (Kompas, 14/12/2019).
Direktur Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia Asfinawati mengingatkan, putusan MA yang berpihak kepada koruptor dapat berpengaruh pada keyakinan publik terhadap pemberantasan korupsi.
Dalam perkara pidana korupsi, seharusnya hakim MA dapat memutuskan minimal sama dengan putusan sebelumnya. Mereka juga bisa menganulir putusan bebas dari pengadilan. (Asfinawati)
Menurut Asfinawati, dalam perkara pidana korupsi, seharusnya hakim MA dapat memutuskan minimal sama dengan putusan sebelumnya. Mereka juga bisa menganulir putusan bebas dari pengadilan.
Andi Samsan mengatakan tidak bisa menanggapi pandangan orang terhadap putusan MA karena hal tersebut menyangkut kode etik. Ia menegaskan, segala putusan yang diambil majelis hakim sudah dipertimbangkan secara matang.
Guru Besar Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Eddy OS Hiariej menjelaskan, putusan MA secara asas harus berpegang pada postulat reformatio in melius. Artinya, putusan MA tak boleh lebih berat dari putusan sebelumnya. MA hanya memeriksa hukumnya dan tidak memeriksa fakta. Hal tersebut berbeda dengan pengadilan negeri dan pengadilan tinggi.