Persidangan Novel Baswedan Dipandang Penuh Rekayasa
Sejumlah pihak menemukan ada kejanggalan dalam persidangan kasus Novel Baswedan, mulai dari penerapan pasal hingga pembuktian yang lemah. Novel sendiri menilai persidangan tersebut penuh rekayasa dan sandiwara belaka.
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Persidangan terhadap dua terdakwa penyiraman air keras kepada penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi, Novel Baswedan, dinilai penuh rekayasa dan sandiwara. Akibatnya, apa yang terjadi dalam persidangan tersebut dapat mencederai keadilan.
Dalam diskusi secara daring, Minggu (21/6/2020), bertajuk #Enggaksengajasidang yang diselenggarakan oleh Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Novel mengungkapkan bahwa persidangan yang saat ini sedang berjalan justru tergambar untuk menutupi pelaku intelektualnya. ”Apakah jaksa yakin dua orang itu pelakunya? Saya tidak pernah mendapatkan keterangannya,” ujar Novel.
Apakah jaksa yakin dua orang itu pelakunya? Saya tidak pernah mendapatkan keterangannya.(Novel Baswedan)
Sejak dakwaan dibacakan oleh jaksa, Novel mengaku tidak pernah mendapatkan kejelasan. Sebab, apa yang dibacakan dalam dakwaan berbeda dengan pemeriksaan. Sebagai contoh, jaksa mengatakan bahwa penyerangan menggunakan air aki, padahal fakta di lapangan ditemukan bahwa pelaku menggunakan air keras.
Fakta tersebut terlihat di antaranya adanya beton yang melepuh, pengobatan terhadap Novel, bau cairan yang menyengat, dan keterangan para saksi. Dalam persidangan, Novel pernah membuat surat tertulis yang dilampiri rekomendasi Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Dalam surat tersebut, Novel meminta agar persidangan ini dilakukan secara obyektif.
Akan tetapi, pada kenyataannya jaksa dan hakim justru seperti mengarahkan bahwa cairan yang digunakan adalah air aki. Ketika Novel memprotes ke hakim, ia justru diminta membuktikan di persidangan bahwa cairan yang digunakan adalah air keras.
Padahal, di persidangan tidak pernah ada penjelasan bahwa cairan yang digunakan adalah air aki. Jaksa hanya menggunakan keterangan dari terdakwa.
Selain itu, para tetangga Novel juga menyebutkan bahwa pelakunya bukan Rahmat Kadir Mahulette dan Ronny Bugis. Mereka tidak pernah mengenali kedua orang tersebut. Namun, para saksi tersebut tidak pernah diperiksa. Jaksa hanya mendatangkan saksi terkait penyerangan dan setelah penyerangan.
Tuntutan ringan terdakwa kasus penyiraman air keras kepada Novel hanyalah formalitas dan penuh sandiwara. Hal tersebut menunjukkan bahwa sejak awal kasus ini ditangani dengan salah.(Tim Advokasi Novel Baswedan)
Puncak dari rekayasa tersebut terlihat ketika jaksa hanya menuntut para terdakwa dengan hukuman 1 tahun penjara. Novel menegaskan, tuntutan tersebut mencederai keadilan. ”Ini keterlaluan. Serangan ini bukan hanya ke diri saya, melainkan juga untuk menakut-nakuti upaya pemberantasan korupsi,” kata Novel.
Tim advokasi Novel Baswedan, Arif Maulana, mengungkapkan, tuntutan ringan terdakwa kasus penyiraman air keras kepada Novel hanyalah formalitas dan penuh sandiwara. Hal tersebut menunjukkan bahwa sejak awal kasus ini ditangani dengan salah.
”Masalah mendasar mengenai konflik kepentingan dan independensi menjadi penyebab dari berbagai kejanggalan serta proses hukum yang tidak jujur dan adil,” kata Arif.
Ia menuturkan, jaksa justru terlihat menjadi pembela terdakwa dan menyudutkan Novel sebagai korban. Ketika kuasa hukum terdakwa mencecar Novel, para jaksa justru hanya membiarkan.
Majelis hakim justru tampak pasif. Mereka tidak menggali secara mendalam terkait upaya penyerangan terhadap pemberantasan korupsi. Padahal, Novel sudah menyerahkan hasil rekomendasi dari Ombudsman dan Komnas HAM.
Majelis hakim justru tampak pasif. Mereka tidak menggali secara mendalam terkait upaya penyerangan terhadap pemberantasan korupsi.
Komisioner Komnas HAM, M Choirul Anam, menuturkan, kasus penyerangan ini berhubungan dengan pekerjaan Novel sebagai penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi. Ia mengungkapkan, dalam penyelidikan yang dilakukan Komnas HAM, selain pelaku penyiraman, juga ada aktor lapangan yang mengintai dan auktor intelektual yang terlibat dalam kasus ini. Namun, Komnas HAM belum bisa menyimpulkan siapa auktor intelektual yang terlibat.
Terkait dengan penggunaan air keras, Anam menegaskan, hasil temuan tersebut didasari atas dokumen medik yang diperoleh Komnas HAM. Mereka menyimpulkan berdasarkan sumber formal yang mereka dapat.
Anam pun menyamakan kasus ini dengan pembunuhan aktivis HAM Munir Said Thalib. Dalam dua kasus tersebut, tidak pernah ditelusuri dengan tepat terutama dalam pola dan momentum peristiwa kejahatan tersebut terjadi. Ia menegaskan, tuntutan hukuman satu tahun terhadap para terdakwa sama saja dengan menghina komitmen Presiden Joko Widodo dalam memberantas korupsi.
Pengajar hukum pidana Universitas Parahyangan, Bandung, Agustinus Pohan, mengatakan, dalam sistem peradilan pidana harus ditemukan kebenaran materiil. Apabila tidak ditemukan kebenaran materiil, persidangan tersebut gagal.
Dalam sistem peradilan pidana harus ditemukan kebenaran materiil. Apabila tidak ditemukan kebenaran materiil, persidangan tersebut gagal.
Ia ragu dengan hasil kebenaran materiil dalam persidangan kasus penyiraman air keras terhadap Novel. Sebab, jaksa menyebutkan dalam dakwaan bahwa para terdakwa melakukan penganiayaan berat dengan rencana. Namun, dalam tuntutan mereka menyebutkan bahwa dakwaan tersebut tidak terbukti dan menganggap bahwa apa yang dilakukan terdakwa tidak direncanakan serta tidak disengaja.
Padahal, pada kenyataannya Novel mengalami luka berat hingga cacat permanen. Perencanaan juga jelas terlihat karena para terdakwa telah menyiapkan air keras atau air aki untuk melukai Novel.
Selain itu, dalam persidangan ini juga terlihat bahwa perilaku kejahatan dengan alasan balas dendam diberikan toleransi. Apalagi, kejahatan tersebut dilakukan oleh penegak hukum.
Pengajar hukum pidana Universitas Indonesia, Gandjar Laksamana, menuturkan, sejak awal ada pilihan pasal yang digunakan tidak sesuai dengan fakta peristiwa. Kemudian, ada saksi penting yang tidak dimintai keterangannya.
Ia juga melihat ada barang bukti yang tidak sempurn sehingga nilai pembuktiannya lemah. Tidak hanya itu, permintaan korban dan penasihat hukumnya tidak pernah difasilitasi dengan baik. ”Pembuktian tidak maksimal (sehingga) berujung pada tuntutan yang mencederai rasa keadilan,” kata Gandjar.
Humas Pengadilan Negeri Jakarta Utara yang juga menjadi ketua majelis hakim perkara Novel, Djuyamto, mengatakan, dirinya tidak dapat menanggapi kritikan tersebut. Sebab, hakim, apalagi yang menangani perkaranya, dilarang bicara atau komentar terkait perkara tersebut. Hal itu berkaitan dengan kode etik.