Ruang Politisasi Dana Bansos Terbuka Lebar di Pilkada 2020
Distribusi bansos yang berbarengan dengan pelaksanaan tahapan pilkada diprediksi memperbesar ruang politisasi dana yang dialokasikan untuk menanggulangi dampak pandemi Covid-19. Bawaslu perlu memperketat pengawasan.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Ruang politisasi dana bantuan sosial yang dikucurkan untuk mengantisipasi dampak pandemi Covid-19 terbuka lebar. Sebab, waktu pemberian bantuan sosial bersamaan dengan pelaksanaan pilkada, yaitu hingga Desember 2020. Pengawasan dan penegakan hukum dari Sentra Penegakan Hukum Terpadu diharapkan dapat lebih intensif dan tegas.
Pendiri Kawal Bansos Ari Nurcahyo, Senin (20/7/2020), mengatakan, kesempatan untuk memolitisasi dana bantuan sosial (bansos) sangat terbuka. Dana bansos awalnya hanya didesain untuk tiga bulan, yaitu April sampai Juni 2020. Namun, pemerintah memperpanjang pemberian dana itu hingga Desember 2020. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati sebelumnya mengungkapkan, kebijakan memperpanjang dana bansos itu diberikan untuk menjaga level konsumsi masyarakat. Alhasil, pemberian dana bantuan ini bersamaan dengan pelaksanaan hingga hari pemungutan suara dalam Pilkada 2020.
Tujuh skema bansos ini jika tumpang tindih satu sama lain bagaimana? Kartu Prakerja, misalnya, awalnya dibuat untuk mereka yang belum menerima bansos sama sekali. Namun, dari jatah 5,6 juta penerima, ternyata jumlahnya sudah melebihi.
Ari pun mencatat ada tujuh jenis skema bansos dari pemerintah, yaitu Program Keluarga Harapan (PKH), kartu sembako, subsidi listrik, Kartu Prakerja, sembako Jabodetabek (bantuan presiden), bantuan langsung tunai (BLT) non-Jabodetabek, dan BLT dana desa. Kartu Prakerja sebelumnya bukanlah paket bantuan untuk warga terdampak Covid-19. Program tersebut merupakan realisasi janji kampanye presiden dan wakil presiden. Namun, pada praktiknya, Kartu Prakerja dimasukkan dalam skema bansos Covid-19.
”Tujuh skema bansos ini jika tumpang tindih satu sama lain bagaimana? Kartu Prakerja, misalnya, awalnya dibuat untuk mereka yang belum menerima bansos sama sekali. Namun, dari jatah 5,6 juta penerima, ternyata jumlahnya sudah melebihi,” kata Ari dalam diskusi bertema ”Kala Pandemi, Bansos jadi Bancakan Pilkada, Mungkinkah?”.
Selain tujuh jenis bansos tersebut, lanjut Ari, masih ada bansos lain yang dikeluarkan oleh pemda, baik pemerintah provinsi maupun pemerintah kabupaten/kota. Bantuan itu diberikan untuk mereka yang belum sama sekali menerima bantuan dari pemerintah pusat, tetapi masuk kategori layak untuk menerima bantuan. Saat pandemi Covid-19, muncul kelompok rentan baru, misalnya yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) atau kehilangan pekerjaan.
”Ada ruang di mana pemda dapat mengintervensi jika ada warganya belum terima bansos dari pemerintah pusat. Skema bansos yang rumit ini menjadi ruang politisasi bansos,” ucap Ari.
Sementara itu, dari sisi pendataan, juga terbuka peluang politisasi dana bansos. Sebab, Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) terakhir diperbarui pada 2015. Data tersebut dinilai kurang relevan dengan kondisi saat pandemi Covid-19. Akhirnya, pemda mendata ulang dengan cara mendata warganya secara bottom up. Data tersebut kemudian dapat diusulkan ke Kementerian Sosial sebagai calon penerima bantuan baru. Di tahapan inilah, wewenang pemda untuk mengintervensi atau menentukan siapa yang berhak menerima bantuan menjadi peluang untuk politisasi dana bansos.
Dari sisi aktor politik, segregasi politik yang terjadi antara kepala daerah dan afiliasi politik di kementerian atau lembaga juga memungkinkan potensi politisasi bansos. Tidak adanya manajemen tunggal dalam pengelolaan data bansos membuat bansos rawan diselewengkan untuk kepentingan politik.
Dari sisi aktor politik, segregasi politik yang terjadi antara kepala daerah dan afiliasi politik di kementerian atau lembaga juga memungkinkan potensi politisasi bansos. Tidak adanya manajemen tunggal dalam pengelolaan data bansos membuat bansos rawan diselewengkan untuk kepentingan politik. Apalagi bansos yang sifatnya barang, seperti kebutuhan pokok atau natura. Bansos seperti itu sulit diawasi dalam hal transparansi penyalurannya. Berbeda dengan bansos uang yang disalurkan melalui rekening bank, yang lebih mudah diawasi transparansinya.
”Ruang politisasi dana bansos sangat terbuka lebar sehingga Bawaslu dan Sentra Gakkumdu harus lebih ekstra ketat dalam pengawasan,” kata Ari.
Perketat pengawasan
Sementara itu, anggota Bawaslu, M Afifuddin, mengatakan, pemanfaatan bansos untuk sosialisasi pilkada dapat dimanfaatkan calon untuk membeli suara, praktik politik pork barrel atau alokasi pengeluaran pemerintah untuk proyek lokal untuk membawa uang ke distrik perwakilan, ataupun mobilisasi politik melalui program sosial. Sejauh ini, temuan politisasi dana bansos yang sudah masuk ke Bawaslu ada sebanyak 11 provinsi dan tersebar di sejumlah kabupaten/kota.
Untuk penegakan hukum, Bawaslu mengacu pada Pasal 71 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota. Dalam Pasal 71 Ayat (1) disebutkan bahwa pejabat negara, pejabat daerah, pejabat, dan aparatur sipil negara, anggota TNI/Polri, dan kepala desa atau lurah dilarang membuat keputusan atau tindakan yang menguntungkan salah satu calon.
Adapun Pasal 2 UU yang sama menyebutkan, gubernur, wakil gubernur, bupati, atau wakil bupati, dan wali kota, atau wakil wali kota dilarang menggunakan kewenangan, program, dan kegiatan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon, baik di daerah sendiri maupun di daerah lain, dalam waktu enam bulan sebelum tanggal penetapan sampai dengan penetapan pasangan calon terpilih.
Pasal 4 bahkan mengatur tentang ketentuan pidana bagi setiap pejabat negara, pejabat aparatur sipil negara, dan kepala desa atau lurah yang dengan sengaja menjanjikan atau memberikan uang untuk memengaruhi penyelenggara pemilihan dan/atau pemilih dipidana minimal 1 bulan dan paling lama 6 bulan atau denda minimal Rp 600.000 dan maksimal Rp 6 juta.
”Ada tiga strategi pengawasan yang diterapkan Bawaslu, yaitu pencegahan, penindakan, dan partisipatif bersama masyarakat,” ucap Afifuddin.
Direktur Eksekutif Jaringan Demokrasi Indonesia (JaDI) Sumatera Utara Nazir Salim Manik meragukan apakah Bawaslu dan Sentra Gakkumdu dapat sepenuhnya melakukan pengawasan terhadap pelanggaran Pasal 71 UU No 10/2016. Sebab, pemerintah daerah melalui UU No 2/2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covid-19 juga telah diamanatkan untuk melakukan realokasi anggaran.
”Tanpa situasi pandemi Covid-19 pun, sebenarnya kepala daerah sudah menggunakan dana bansos seperti bantuan rumah ibadah, kelompok masyarakat, dan lain-lain untuk menarik perhatian publik. Apalagi dengan situasi pandemi seperti ini, justru peluang situasi untuk memanfaatkan bansos untuk kepentingan pilkada sangat terbuka,” ujar Nazir.
Bawaslu dan Sentra Gakkumdu diharapkan untuk benar-benar serius dalam melakukan perannya dalam mengawasi penyaluran bansos, baik dari APBD maupun APBN.
Nazir meminta kepada Bawaslu dan Sentra Gakkumdu untuk benar-benar serius dalam melakukan perannya dalam mengawasi penyaluran bansos, baik dari APBD maupun APBN. Sebab, jika terbukti melakukan politisasi bansos atau praktik politik uang, konsekuensinya adalah pencalonan seseorang dapat dibatalkan.