Komnas HAM: Hentikan Penyegelan Bakal Makam Sesepuh Sunda Wiwitan
Komnas HAM meminta Pemkab Kuningan untuk tidak menyegel bakal makam sesepuh masyarakat Sunda Wiwitan. Polres Kuningan pun diminta untuk menjaga keamanan daerahnya serta menindak pelaku kekerasan dan ujaran kebencian
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Komisi Nasional Hak Asasi Manusia meminta Bupati Kuningan dan jajarannya untuk menghentikan segala bentuk penyegelan dan proses pembongkaran bakal makam sesepuh masyarakat adat Sunda Wiwitan. Tindakan tersebut dinilai bertentangan dengan konstitusi dan hak asasi manusia.
Selain itu, Komnas HAM juga meminta Kepolisian Resor (Polres) Kuningan untuk menjaga keamanan daerah, mencegah kekerasan, dan ujaran kebencian di wilayahnya serta bertindak tegas jika ada tindakan melawan hukum.
Komisioner Komnas HAM Beka Ulung Hapsara mengatakan, tindakan yang dilakukan Pemkab Kuningan mencederai hak asasi manusia. Berdasarkan penuturan masyarakat adat, sebelumnya AKUR Cigugur sudah mengajukan penetapan masyarakat adat di Situs Curug Go\'ong, Kuningan. Namun, Bupati Kuningan menolak permohonan itu. Kemudian, saat masyarakat adat membuat pasarean, tiba-tiba Satpol PP Kabupaten Kuningan menyegel bangunan tersebut melalui surat nomor 300/851/GAKDA. Satpol PP menilai bahwa bangunan tersebut melanggar Perda Nomor 13/2019 tentang Penyelenggaraan Izin Mendirikan Bangunan (IMB).
”Larangan pembangunan dan penyegelan pasarean itu bertentangan dengan prinsip dan nilai-nilai hak asasi manusia yang diatur dalam Pasal 28 E Ayat 1 UUD 1945. Di pasal itu diatur tentang kebebasan memeluk agama dan beribadat menurut agamanya,” kata Beka, dalam konferensi pers yang digelar secara virtual, Selasa (28/7/2020).
Larangan pembangunan dan penyegelan pasarean itu bertentangan dengan prinsip dan nilai-nilai hak asasi manusia yang diatur dalam Pasal 28 E Ayat 1 UUD 1945. Di pasal itu diatur tentang kebebasan memeluk agama dan beribadat menurut agamanya. (Beka Ulung Hapsara)
Sebelumnya, tepatnya pada Senin (21/7), satuan polisi pamong praja telah menyegel bakal makam sesepuh Sunda Wiwitan yang terletak di Blok Curug Go’ong, Desa Cisantana, Kecamatan Cigugur, Kuningan. Massa dari sejumlah organisasi masyarakat turut menyaksikan penyegelan dengan pita oranye itu.
Perwakilan Masyarakat Adat Karuhun Urang Sunda Wiwitan (AKUR) Djuwita Djatikusumah Putri mengatakan, pihaknya sudah melaporkan kejadian penyegelan bakal makam sesepuh tersebut kepada Komnas HAM. Menurut Djuwita, diskriminasi yang dilakukan Satpol PP dan Pemerintah Kabupaten Kuningan merupakan tindakan yang tidak adil. Tokoh masyarakat adat Sunda Wiwitan selama ini terlibat aktif dalam gerakan toleransi di Indonesia. Namun, ketika mereka mendirikan bakal makam atau pasarean di lahan pribadi justru mendapatkan diskriminasi.
Bakal makam tersebut berdiri di atas lahan pribadi yang sudah dibeli oleh Pangeran Djatikusumah, tokoh Sunda Wiwitan. Akta jual beli tanah sebagai bukti kepemilikan ada.
Djuwita memastikan bahwa bakal makam tersebut berdiri di atas lahan pribadi yang sudah dibeli oleh Pangeran Djatikusumah, tokoh Sunda Wiwitan. Akta jual beli tanah sebagai bukti kepemilikan ada. Pihak Sunda Wiwitan juga sudah mencoba mengikuti prosedur perizinan yang ada dengan mengurus izin mendirikan bangunan (IMB). Namun, langkah pengurusan izin itu seolah dipersulit sejak di level kelurahan hingga kecamatan.
”Banyak yang mengatakan bahwa pasarean itu berdiri di atas tanah sengketa. Di sini saya klarifikasi bahwa itu tidak betul. Pangeran Djatikusumah sudah membeli tanah tersebut dan kami punya akta jual belinya,” kata Juwita.
Djuwita menambahkan, diskriminasi yang dilakukan oleh Pemkab Kuningan seolah-olah merobek sikap toleransi yang selama ini dibangun oleh masyarakat adat. Selama ini, masyarakat adat terus menjaga toleransi sehingga tidak ada perseteruan. Namun, penyegelan makam yang diduga dipicu oleh tekanan ormas tertentu itu menunjukkan bahwa diskriminasi telah dilakukan pemerintah.
Apalagi, sebenarnya masyarakat adat sudah mencoba patuh mengurus perizinan. Namun, proses pengurusan izin itu pun seolah dipersulit. Tak hanya dalam mengurus IMB pasarean, Djuwita juga mengaku dipersulit dalam urusan perizinan yang lainnya. Saat pengukuran tanah pribadi milik masyarakat adat, misalnya. Pihak Badan Pertanahan Nasional (BPN) yang berwenang mengurus justru mempersulit.
”Yang semakin membuat kami terluka adalah masalah penyegelan makam ini membuka luka lama soal silsilah leluhur kami. Hal itu kembali diungkit dan sangat menyakiti kami,” terang Djuwita.
Setiap warga negara juga berhak menganut kepercayaan yang merupakan bagian dari hak asasi manusia yang termasuk dalam hak-hak sipil dan politik.
Beka Ulung Hapsara menambahkan, setiap warga negara juga berhak menganut kepercayaan yang merupakan bagian dari hak asasi manusia yang termasuk dalam hak-hak sipil dan politik. Tindakan diskriminasi yang dilakukan oleh Pemkab Kuningan juga melanggar Pasal Ayat (1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM. Pasal itu menyebutkan, dalam rangka penegakan hak asasi manusia, perbedaan dan kebutuhan dalam masyarakat hukum adat harus diperhatikan dan dilindungi oleh hukum, masyarakat, dan pemerintah.
Ketua Bidang Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia Muhammad Isnur menambahkan, pihaknya mengecam tindakan Bupati Kuningan yang lebih mengedepankan unsur administrasi dibandingkan dengan HAM. Bahkan, ada anggapan bahwa keterangan sepihak dari ormas tertentu dijadikan sebagai dasar hukum penyegelan tersebut. Padahal, bupati selaku bagian dari pemerintah seharusnya menegakkan hukum.
Jika tindakan diskriminasi dan kesewenang-wenangan itu terus dilanjutkan, hal itu akan menjadi bentuk genosida budaya terhadap masyarakat adat.
Jika tindakan diskriminasi dan kesewenang-wenangan itu terus dilanjutkan, Isnur khawatir hal itu akan menjadi bentuk genosida budaya terhadap masyarakat adat. Indonesia seharusnya meniru tindakan yang dilakukan oleh Australia yang melindungi suku asli Aborigin. Di sana, hak-hak masyarakat adat dijamin dan dilindungi oleh undang undang. Di Indonesia, justru pemenuhan hak-hak tersebut dikebiri oleh syarat-syarat administratif.
Sebelumnya, Kepala Satpol PP Kuningan Indra Purwantoro mengatakan, sesuai perda, penyegelan dilakukan terhadap tugu, bukan makam. Padahal, perda tidak menjelaskan kriteria tugu yang dimaksud seperti apa. ”Sesuai dengan Kamus Besar Bahasa Indonesia, tugu adalah bangunan tinggi yang terbuat dari batu, bata, dan sebagainya,” kata Indra sambil menunjukkan KBBI daring.