Di Tengah Pandemi, Kelompok Masyarakat Sipil Hadapi Tantangan Ganda
Masyarakat sipil mencoba beradaptasi dalam cara advokasi dan koordinasi di tengah pandemi Covid-19 selama hampir enam bulan terakhir. Masih muncul banyak tantangan.
Oleh
Dian Dewi Purnamasari/Prayogi Dwi Sulistyo/Edna C Pattisina
·6 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Hampir setengah tahun pandemi Covid-19 menerpa Indonesia, masyarakat sipil yang bergerak di isu hak asasi manusia, penegakan hukum, dan demokrasi berhadapan dengan tantangan ganda. Di satu sisi mereka berusaha melawan penyempitan ruang kebebasan sipil beberapa tahun terakhir, sementara di sisi lain berhadapan dengan keterbatasan ruang gerak fisik.
Dalam rangka menyiasati pandemi Covid-19, kelompok masyarakat sipil mengubah pola koordinasi dan advokasi menjadi lebih banyak berlangsung di ruang digital. Namun, hal itu berhadapan dengan kesulitan menjaga kedalaman kualitas jejaring dan aksesibilitas infrastruktur digital yang tidak merata antardaerah.
Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW) Adnan Topan Husodo mengakui, selama pandemi Covid-19, mereka mengalami perbedaan cara konsolidasi dan koordinasi. ICW harus menjalankan sebuah gerakan melalui daring secara terus-menerus.
”Emosinya berbeda. Namun, memang karena keterbatasan dan itu satu-satunya sarana,” ujar Adnan, saat dihubungi di Jakarta, Minggu (23/8/2020).
ICW berusaha mengoptimalkan sarana komunikasi daring, seperti grup Whatsapp, panggilan video, dan Google Meet. Karena itu, mereka pun harus menginvestasikan dana untuk kebutuhan internet.
Keterbatasan akibat pandemi cukup menyulitkan ICW melakukan advokasi. Namun, mereka berusaha mengatasinya, seperti penggunaan satu atau dua ahli untuk mengulas dan menganalisis advokasi yang dilakukan daring. ICW juga berusaha melobi secara daring dan memanfaatkan jaringan yang ada di institusi pemerintah untuk menjembatani.
Haris Azhar, pendiri Lokataru, mengatakan, pandemi Covid-19 juga memengaruhi fungsi advokasi yang dilakukan Lokataru yang terdiri dari yayasan, lembaga riset, dan lembaga bantuan hukum. Kendala itu bisa dikategorikan dua, yakni kendala alamiah dan manusia. Protokol kesehatan Covid-19 membuat ada beberapa keterbatasan kerja-kerja lapangan, seperti bertemu dengan klien.
”Pertama, dari sisi transportasi jadi terbatas. Untuk bertemu juga kami mengikuti protokol, jadi tidak bisa sering dan ramai,” kata Haris.
Dia mencontohkan, pada minggu kedua Agustus, ia bertemu dengan warga di Tanah Kusir, Jakarta, yang tanahnya mau diambil alih salah satu instansi negara. Sebagian besar dari warga itu berusia lanjut.
”Ringkih-ringkih, saya takut kalau saya tak sengaja ada virus, malah bisa menulari mereka,” kata Haris.
Di sisi lain, tidak semua orang yang diadvokasi, terutama orang-orang yang terpinggirkan, bisa mengakses internet dengan lancar. Ada yang kapasitas internetnya terbatas, ada yang perangkatnya terbatas. Di sisi lain, ada klien-klien seperti serikat pekerja di Maluku Utara yang aksesnya jadi lebih mudah dan cepat dengan daring. Haris mengatakan, ia jadi tidak perlu berangkat ke Maluku Utara untuk rapat.
Namun, Haris juga menyoroti adanya kendala yang muncul secara sistem. Ia mengatakan, ada beberapa kebijakan yang membuat ekspresi pendapat jadi terhambat. Misalnya, sekarang orang tak lagi bisa demonstrasi. Di sisi lain, ada beberapa regulasi yang malah dibahas dan akibatnya minim masukan publik. Misalnya, kata dia, RUU Cipta Kerja yang disusun dengan mekanisme omnibus law.
Advokasi menyempit
Pandemi Covid-19, menurut Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati, memperberat kinerja masyarakat sipil. Sebab, masalah yang muncul bertambah banyak, tetapi akses advokasi menyempit.
Selama pandemi, YLBHI juga aktif memantau pemenuhan hak kesehatan dan hak informasi masyarakat. Ternyata, masih banyak hak dasar itu yang tidak terpenuhi. Selama Maret-Mei, YLBHI juga menerima laporan kriminalisasi petani, perampasan lahan, hingga peretasan dan persekusi aktivis pembela HAM yang meningkat polanya. Dalam kurun waktu Maret-Mei, setidaknya ada 38 kasus yang ditangani YLBHI.
”Ada banyak sekali kasus yang harus kami advokasi, misalnya masalah spesifik Covid-19, seperti bantuan sosial, kesehatan, dan infodemi. Di luar itu, juga ada agenda-agenda gelap pemerintah yang terus membahas RUU problematik, seperti omnibus law,” kata Asfinawati.
Dengan banyaknya kasus yang ditangani, YLBHI mau tidak mau menggunakan pola koordinasi dan konsolidasi dengan platform digital. Hal ini menciptakan budaya baru di lingkup aktivis pembela HAM.
Namun, komunikasi menggunakan teknologi ini terkadang juga menimbulkan bias. Ditambah lagi, belum semua wilayah di Indonesia mendapat akses jaringan internet yang andal. Selain itu, sejumlah anggota, sukarelawan, dan warga yang diadvokasi tidak semuanya memiliki sumber daya untuk komunikasi digital.
”Saat proses advokasi di DPR, beberapa kali YLBHI mengikuti sidang daring. Namun, begitu kami berkomentar kritis, langsung ditendang keluar. Partisipasi dengan platform digital ini ternyata sangat formal dan terbatas,” katanya.
Titi Anggraini, Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) 2010-2020, mengatakan, pihaknya memperbanyak aktivitas daring selama pandemi Covid-19. Selama ini Perludem berkiprah dalam bidang advokasi dan penguatan kapasitas, terutama dengan memantau kebijakan tingkat nasional.
”Advokasi kebijakan Perludem malah mengalami penguatan karena bertransformasi akibat ada Covid-19,” kata Titi.
Titi mengatakan, Perludem jadi lebih produktif selama masa pandemi. Perludem sedang menguji ambang batas parlemen di Mahkamah Konstitusi. Tidak saja Perludem bisa menghadiri sidang, tetapi juga jika perlu persidangan virtual, akan difasilitasi MK. Demikian juga di DPR, Badan Pengkajian DPR memberikan kesempatan bagi masyarakat hadir secara virtual dalam diskusi kebijakan publik.
Titi mengatakan, ia bahkan merasakan ada perluasan jaringan secara masif melalui diskusi-diskusi virtual. Perludem, misalnya, membuka kelas-kelas virtual yang terbuka untuk masyarakat. Jejaring jadi lebih terbuka. ”Tidak saja mahasiswa dan pelajar yang ikut, ada juga penjual kosmetik dan ada teman dari Papua yang konsisten ikut,” cerita Titi.
Menjaga kebebasan sipil
Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) mengindikasikan memburuknya kebebasan sipil di Indonesia beberapa tahun terakhir. Kendati skor keseluruhan IDI cenderung naik, dimensi kebebasan sipil cenderung melemah. Pada IDI 2019, aspek kebebasan sipil 77,20, turun 1,26 poin daripada tahun sebelumnya. Skor aspek ini pada 2018 juga turun ketimbang 2017, yakni 78,75. Adapun pada tahun 2009, skor aspek kebebasan sipil 86,97. Semakin tinggi skor, semakin baik capaian indeks.
Pada IDI, aspek kebebasan sipil dilihat dari kebebasan berkumpul, berserikat, dan berpendapat. Selain itu, juga terkait kekerasan dari kelompok agama terkait ajaran agama serta tindakan atau pernyataan pejabat yang diskriminatif dalam hal jender, etnisitas, dan kelompok rentan lainnya.
Direktur Eksekutif Setara Institute Ismail Hasani mengatakan, sebelum pandemi, masyarakat sipil sebenarnya sedang berusaha bangkit dari fenomena pengerdilan ruang dan pembatasan ekspresi. Hal itu paling dirasakan terutama oleh masyarakat sipil yang bergerak mengadvokasi isu-isu demokrasi, seperti hak asasi manusia dan kebebasan sipil. Isu tersebut, menurut Ismail, masih menjadi isu pinggiran.
Menurut dia, karena jadi isu pinggiran, pemenuhan hak tersebut oleh negara pun masih minim. Konstitusi memang menjamin kebebasan itu. Namun, dalam implementasinya, regulasi atau kebijakan yang benar-benar melindungi hal itu masih minim. Bahkan, belakangan ini malah menunjukkan gejala kemunduran demokrasi.
Di sisi lain, kata dia, kelompok masyarakat sipil, terutama yang mempromosikan kebebasan sipil dan demokrasi, diserang secara sistematik. Mulai dari kampanye negatif, upaya delegitimasi, hingga kooptasi organisasi dan gerakan masyarakat sipil. Namun, kata dia, hal-hal tersebut tak akan melemahkan perjuangan masyarakat sipil.