Untuk menjawab keraguan publik atas penanganan kasus pelarian Joko Tjandra yang melibatkan jaksa Pinangki, Kejaksaan Agung berjanji akan membuka ruang untuk KPK. Saat gelar perkara terbuka kemungkinan KPK dilibatkan.
Oleh
Norbertus Arya Dwiangga Martiar
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Untuk menjawab keraguan publik terhadap penanganan kasus pelarian Joko Tjandra yang melibatkan jaksa Pinangki Sirna Malasari, Kejaksaan Agung berjanji akan membuka ruang bagi Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK untuk terlibat. Tak hanya itu, saat perkara akan ditingkatkan ke penuntutan, terbuka peluang gelar perkara melibatkan pula KPK.
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung (Kejagung) Hari Setiyono, saat jumpa pers, Senin (31/8/2020), mengatakan, dalam penanganan kasus-kasus korupsi selama ini, KPK dan Kejagung saling mendukung dan membantu. Ini terutama didasarkan pada nota kesepahaman yang telah dibuat antara KPK dan Kejagung.
Begitu pula dalam kasus Pinangki. Ruang untuk KPK terlibat dalam pengusutan perkara pasti dibuka. Terlebih, ketika saat ini publik masih meragukan penanganan perkara itu oleh Kejagung.
”Untuk menjawab keraguan publik, pasti akan koordinasi dan supervisi oleh KPK, dan nanti secara transparan, ketika perkara akan naik ke penuntutan kami akan koordinasi dengan KPK, jika perlu nanti akan dilakukan gelar perkara dengan mengundang kawan KPK untuk menjawab keraguan publik,” ujar Hari.
Untuk diketahui, Bareskrim Polri sudah lebih dulu melibatkan KPK dalam penyidikan sejumlah kasus pelarian Joko Tjandra yang ditangani Bareskrim. Tak hanya KPK, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) juga dilibatkan.
Hingga saat ini, penyidik dari Kejaksaan Agung telah memeriksa 12 orang dalam kasus dugaan tindak pidana korupsi dengan tersangka Joko Soegiarto Tjandra dan jaksa Pinangki Sirna Malasari.
Pada Senin (31/8), penyidik memeriksa tujuh saksi, antara lain Anita Kolopaking (mantan pengacara Joko Tjandra), sopir tersangka jaksa Pinangki, dan beberapa pegawai dari Garuda Indonesia. Untuk Anita Kolopaking, pemeriksaan dilakukan di Badan Reserse Kriminal Polri.
Sampai saat ini, jaksa Pinangki disangka dengan Pasal 5 Ayat 1 huruf b Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Adapun tersangka Joko disangka Pasal 5 Ayat 1 huruf a, Pasal 5 Ayat 1 huruf b, dan Pasal 13 dari undang-undang yang sama.
Hari menolak jika dikatakan proses penyidikan di Kejagung berjalan lambat. Sebaliknya, menurut Hari, proses penanganan kasus itu berjalan cepat. Ini terlihat dari surat perintah penyidikan yang terbit pada 4 Agustus, kemudian penerapan tersangka jaksa Pinangki sudah dilakukan pada 11 Agustus yang diikuti dengan penetapan tersangka Joko pada 27 Agustus.
”Kalau ada yang mengatakan itu lelet, maka mana yang lebih cepat? Kami jawab, apakah ini lelet? Apakah ada penanganan perkara yang lebih cepat dari ini?” ujar Hari.
Secara terpisah, Koordinator Masyarakat Anti-Korupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman mendatangi Gedung Bundar Kejagung, Senin. Boyamin mengatakan, dirinya menyerahkan surat permintaan pelibatan KPK untuk menangani perkara yang menyangkut jaksa Pinangki.
Menurutnya, Kejagung perlu mengundang KPK dalam setiap kegiatan gelar perkara. Di sisi lain, KPK pun diminta agar memberikan bantuan ahli dan bukti elektronik berupa sadapan atau rekaman untuk memperkuat pembuktian. Hal itu dapat digunakan sebagai alat bukti petunjuk.
Selain itu, Kejagung juga diharapkan bersikap terbuka jika KPK menjalankan tugas supervisi dan koordinasi. ”Sebab, selama ini masih terdapat keengganan Kejagung dalam menanggapi desakan masyarakat untuk keterlibatan KPK,” kata Boyamin.
Hal senada diungkapkan Peneliti dari Indonesia Corruption Watch (ICW), Kurnia Ramadhana. Menurut Kurnia, Kejagung rentan konflik kepentingan jika terus menyidik perkara dengan tersangka jaksa Pinangki. Selain karena penyidiknya sesama jaksa, terdapat pula kemungkinan adanya aktor lain dari internal Kejaksaan yang terlibat dalam kasus itu.
”Di kasus Joko Tjandra ini ada banyak pekerjaan rumah. Tidak hanya karena harus memproses jaksa PSM (Pinangki Sirna Malasari), tetapi juga pihak internal lainnya,” kata Kurnia.
Sementara itu, terkait kebakaran gedung utama Kejagung, beberapa waktu lalu, Hari Setiyono mengatakan, perkiraan sementara kerugian akibat kebakaran mencapai Rp 1,118 triliun.
Jumlah itu terdiri atas kerugian gedung yang ditaksir sebesar Rp 178,32 miliar serta perkiraan kerugian peralatan dan mesin sekitar Rp 940,22 miliar.
”Ini perkiraan sementara karena tim atau penaksir belum bisa memasuki area karena masih dipasang garis polisi. Jadi, secara rinci nanti tim perlengkapan kalau sudah diizinkan masuk, maka akan mendata,” kata Hari.