Kegagalan Kaderisasi Kembali Tampak
Akumulasi dari sejumlah persoalan menyebabkan jumlah pasangan bakal calon yang mendaftar untuk Pilkada 2020 menurun dibandingkan Pilkada 2015. Yang terutama, tak optimalnya fungsi partai politik.
JAKARTA, KOMPAS — Partai politik dinilai belum optimal dalam menjalankan tugasnya menghadirkan calon pemimpin ke publik. Ini terlihat dalam penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah 2020.
Jumlah pasangan bakal calon kepala/wakil kepala daerah yang dihadirkan parpol menurun jika dibandingkan pemilihan pada 2015. Kondisi ini diperburuk dengan peningkatan sembilan kali lipat jumlah pasangan bakal calon tunggal. Tak sebatas itu, di antara bakal calon yang dihadirkan parpol, ada yang berstatus sebagai bekas narapidana korupsi.
Berdasarkan data Komisi Pemilihan Umum (KPU), hingga tenggat pendaftaran bakal calon kepala/wakil kepala daerah di Pilkada 2020 pada Minggu (6/9/2020), terdapat 626 pasangan bakal calon dari jalur parpol yang mendaftar. Sementara pada Pilkada 2015, jumlah pasangan yang mendaftar 654 pasangan.
Pilkada 2020 digelar di 270 daerah atau hanya berselisih satu daerah dengan jumlah daerah yang menyelenggarakan Pilkada 2015 sebanyak 269 daerah.
Baca juga : Saat Calon Tunggal Jadi ”Jurus Sakti” Menangi Pilkada
Adapun jumlah pasangan bakal calon tunggal yang pada Pilkada 2015 hanya terdapat di tiga daerah, kini meningkat menjadi 28 daerah di Pilkada 2020. Terkait hal ini, KPU akan kembali membuka ruang pendaftaran calon. Diawali dengan tahapan sosialisasi pendaftaran pada 7-9 September dan dilanjutkan pendaftaran pada 10-12 September 2020.
Selain itu, di tengah berkurangnya jumlah bakal calon yang didaftarkan parpol, kehadiran pasangan bakal calon dari jalur perseorangan yang bisa menjadi alternatif pilihan bagi publik ikut menurun jumlahnya. Jika di Pilkada 2015 masih terdapat 156 pasangan, di Pilkada 2020 jumlahnya berkurang lebih dari separuh atau hanya 61 pasangan.
Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi Khoirunnisa Agustyati saat dihubungi, Senin (7/9/2020), mengatakan, menurunnya jumlah kandidat dari jalur parpol kemudian meningkatnya jumlah calon tunggal memperlihatkan tidak optimalnya kerja parpol.
Selama ini, dalam kaderisasi pemimpin, proses demokratisasi di internal parpol belum terlaksana dengan baik. Akibatnya, saat ada perhelatan pemilu atau pilkada, parpol seolah kekurangan stok calon pemimpin. Ke depan, menurut Khoirunnisa, hal tersebut harus diperbaiki.
”Jangan sampai dalam setiap pilkada, parpol hanya mencalonkan orang karena punya popularitas tinggi. Parpol saat ini bersikap sangat pragmatis dengan orientasi pada kemenangan semata,” kata Khoirunnisa.
Selain parpol dituntut memperbaiki diri, ia mengusulkan agar persyaratan pencalonan dari jalur parpol di Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada dikaji ulang. Syarat calon harus mengantongi dukungan dari parpol atau gabungan parpol dengan minimal 20 persen jumlah kursi DPRD atau 25 persen suara sah dalam pemilu anggota DPRD dinilai terlalu memberatkan. Tidak hanya itu, menurut Khoirunnisa, perlu ada aturan untuk membatasi jumlah parpol pengusung calon.
Khoirunnisa juga menyoroti persyaratan calon perseorangan di UU Pilkada yang terlampau berat sehingga membuat jumlah calon perseorangan terus menurun di setiap pilkada. Padahal, kehadiran calon perseorangan penting sebagai calon alternatif bagi publik. Terlebih ketika parpol hanya menghadirkan pasangan calon tunggal di pilkada.
Untuk menjawab persoalan ini, Khoirunnisa juga mendorong agar persyaratan pencalonan perseorangan di UU Pilkada dikaji ulang.
Dalam diskusi bertajuk ”Oligarki dan HAM: Konsep dan Praktiknya di Indonesia”, Direktur Eksekutif Indikator Politik Burhanuddin Muhtadi juga mengkritisi kebijakan parpol di Pilkada 2020.
Baca juga : 96 Pengawas Pemilu di Boyolali Positif Covid-19
Salah satunya karena sejumlah petahana yang dinilai baik kinerjanya oleh publik justru tidak mendapatkan dukungan dari parpol untuk maju di pilkada. Ia khawatir, implikasi dari hal ini akan membuat mereka yang ingin maju di pilkada lebih memilih berebut ”tiket” partai alih-alih prestasi di mata publik.
Selain itu, Burhanuddin mengkritisi sikap parpol di 28 daerah yang ramai-ramai memberikan dukungan untuk calon tunggal. ”Ini artinya, kompetisi yang merupakan esensi demokrasi makin hilang,” katanya.
Bekas napi korupsi
Tidak optimalnya parpol menjalankan tugasnya juga tampak dari kemunculan kembali bekas narapidana korupsi di Pilkada 2020. Salah satunya seperti terlihat di Pilkada Sulawesi Utara.
Vonnie Anneke Panambunan, salah satu bakal calon gubernur Sulut, pernah dijatuhi hukuman penjara selama 1 tahun 6 bulan karena terlibat korupsi proyek Bandara Loa Kulu, Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, pada 2008. Saat itu, ia menjabat Bupati Minahasa Utara. Selepas menjalani hukuman, pada 2015, ia kembali maju ke Pilkada Minahasa Utara dan terpilih sebagai bupati. Pada Pilkada Sulut 2020, ia diusung Partai Nasdem dan Partai Keadilan Sejahtera.
Kemunculan Vonnie selain dinilai sebagai bentuk kegagalan parpol menghadirkan calon pemimpin yang berintegritas, menurut pengajar di Jurusan Ilmu Politik Universitas Sam Ratulangi, Ferry Daud Liando, juga menjadi bentuk praktik pendidikan politik yang buruk.
Vonnie, dalam jumpa pers di KPU Sulut, menyatakan komitmennya untuk tidak terjerat korupsi lagi. Ia juga menyatakan tidak punya niat mencari keuntungan pribadi dari pemerintahan jika terpilih menjadi gubernur Sulut.
”Saya yakin, dengan iman kepada Tuhan yang saya percaya, saya tidak akan masuk penjara lagi,” ujar Vonnie.
Mekanisme parpol
Secara terpisah, Sekretaris Jenderal PDI-P Hasto Kristiyanto menilai tidak tepat jika seluruh persoalan demokrasi yang terlihat dalam pilkada dialamatkan kepada parpol.
”Kritik yang hanya menyudutkan parpol sebagai akar seluruh persoalan demokrasi tidaklah tepat,” katanya.
PDI-P, misalnya, telah intens melakukan kaderisasi dan di setiap gelaran pilkada, termasuk Pilkada 2020, selalu memprioritaskan kader untuk maju di pilkada. Tak hanya bagi kader internal, parpol juga membuka ruang untuk figur-figur lain di luar PDI-P dan tidak sedikit dari mereka diusung oleh PDI-P di pilkada.
”Seluruh mekanisme partai terbuka bagi calon pemimpin baik yang berasal dari internal, profesional, jajaran birokrasi, TNI, Polri, swasta, maupun ketokohan,” ujar Hasto.
Selain dari jalur parpol, ia mengatakan, aturan telah pula membuka ruang bagi tokoh-tokoh masyarakat yang ingin maju dari jalur perseorangan.
Terkait persyaratan pencalonan dari jalur parpol yang dinilai berat, Hasto mengatakan, aturan persyaratan tersebut tetap dibutuhkan. Sebab, syarat minimal dukungan dari parpol atau gabungan parpol dapat membuat jalannya pemerintahan terpilih menjadi efektif.
Wakil Ketua Umum Golkar Ahmad Doli Kurnia Tandjung pun menampik berkurangnya jumlah calon di Pilkada 2020 karena parpol belum menjalankan tugasnya. Golkar, menurut dia, sudah berupaya mendorong kadernya untuk maju di setiap pilkada.
Namun, maju atau tidaknya mereka pada akhirnya bergantung pula pada kesiapan sumber daya dan logistik, pengalaman kepemimpinan, jaringan yang mengakar, dan kemampuan komunikasi publik.
”Kalau soal banyaknya calon tunggal itu, menurut saya, lebih karena faktor kemampuan pasangan calon untuk meyakinkan parpol. Ada kemungkinan juga karena tidak ada paslon lain yang bersedia maju,” katanya.
Masa jabatan
Anggota KPU, Hasyim Asyari, menengarai, menurunnya jumlah peserta pilkada karena adanya kelesuan politik di daerah. Hal ini disebabkan masa jabatan kepala/wakil kepala daerah yang terpilih pada pilkada kali ini yang akan berakhir kurang dari lima tahun.
Baca juga : Politik Kekerabatan Problem Struktural di Pilkada Serentak
Ini sebagai konsekuensi dari aturan di UU Pilkada yang telah mengamanahkan pilkada di seluruh daerah akan digelar serentak pada 2024. Dengan demikian, jika terpilih pada Pilkada 2020, kepala/wakil kepala daerah terpilih menjabat empat tahun, bukan selama lima tahun.
Selain itu, ia melihat ruang gerak calon bakal terbatas dalam pilkada yang digelar di tengah pandemi Covid-19. Dengan demikian, kandidat yang tak memiliki modal politik dan sumber daya yang besar bakal berpikir ulang untuk ikut berkontestasi. Penyebab lain, bertambahnya calon tunggal.
”Akumulasi tiga hal tersebut yang menjadikan jumlah pasangan calon menurun dibandingkan pilkada serentak 2015,” kata Hasyim. (DEA/EDN/OKA)