Pilkada untuk Siapa?
Pemerintah akan menggelar pilkada pada 9 Desember saat krisis Covid-19 yang masih bereskalasi. Semendesak itukah suksesi kekuasaan elite politik sehingga darurat keselamatan jutaan rakyat dan para petugas dipertaruhkan?
Pemerintah memutuskan menggelar Pemilihan Kepala Daerah Serentak 2020 di 270 daerah pada 9 Desember di tengah krisis Covid-19 yang masih bereskalasi. Semendesak itukah suksesi kekuasaan elite politik sehingga darurat keselamatan jutaan rakyat dan para petugas sampai dipertaruhkan?
Perhelatan pilkada akan berlangsung di tengah krisis Covid-19 yang tren penyebaran dan jumlah kasusnya saat ini semakin mengkhawatirkan dan disiplin pelaksanaan protokol kesehatan masih rendah.
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD sebagaimana dikutip dari laman resmi Kemenko Polhukam menyatakan, pilkada tetap dilaksanakan 9 Desember 2020 dengan mengikuti protokol kesehatan. Alasannya, tidak ada kejelasan kapan Covid-19 akan selesai, sedangkan pemerintahan definitif harus tetap berlangsung.
”Memang ada pertanyaan selama ini dari masyarakat, mengapa tidak menunggu Covid-19 selesai. Kami sudah jelaskan berkali-kali bahwa Covid itu selesainya tidak jelas. Kapan selesainya tidak tahu. Desember belum tentu selesai juga. Kalau selesai, Alhamdulillah. Tetapi, kan, belum tentu juga. Nah, kalau belum selesai, kan, pemerintahan harus berjalan secara definitif,” kata Mahfud.
Baca juga: Hak Pilih dan Hak Hidup
Berdasarkan data Satuan Tugas Covid-19, dari 270 daerah penyelenggara pilkada, 45 daerah termasuk zona merah atau risiko tinggi dan 176 daerah termasuk zona oranye atau risiko sedang. Ini lebih-kurang posisi pada pertengahan September. Pada awal Oktober 2020, pemerintah menyebut zona merah turun dari 45 daerah menjadi 29 daerah (Kompas, 3/10/2020).
Dengan kapasitas tes dan pelacakan di sejumlah daerah yang relatif masih rendah saja, banyak daerah penyelenggara pilkada memiliki risiko penyebaran Covid-19 di level tinggi dan sedang. Artinya, kondisi riil bisa lebih buruk dari itu.
Dari 270 daerah penyelenggara pilkada, 45 daerah termasuk zona merah atau risiko tinggi dan 176 daerah termasuk zona oranye atau risiko sedang.
Di saat yang sama, tambahan kasus harian terus meningkat. Belakangan, catatannya konsisten di atas 4.000 kasus per hari. Tak pelak kasus harian pun mendaki dari rekor satu ke rekor berikutnya.
Per 4 Oktober, di Indonesia ada 303.498 kasus positif Covid-19. Adapun penambahan kasus baru dalam sehari mencapai 3.992 kasus.
Di sisi lain, protokol kesehatan yang menjadi tameng pemerintah dalam keputusannya untuk tetap melaksanakan Covid-19 masih dilanggar masyarakat dan kontestan di Pilkada 2020.
Sampai dengan 14 September saja, saat pilkada masih tahap awal dan belum kampanye, Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) sudah mencatat sedikitnya 243 pelanggaran protokol kesehatan di beberapa daerah. Bentuk pelanggarannya bervariasi.
Sampai dengan 14 September saja, saat pilkada masih tahap awal dan belum kampanye, Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) sudah mencatat sedikitnya 243 pelanggaran protokol kesehatan di beberapa daerah.
Ada, misalnya, bakal calon datang mendaftar sekalipun dinyatakan positif Covid-19. Ada kerumunan seperti arak-arakan pendukung. Bahkan, ada pula bakal calon yang tidak melampirkan hasil pemeriksaan swab. Merujuk data Komisi Pemilihan Umum (KPU) per 14 September, terdapat 60 bakal calon kepala daerah yang dinyatakan positif Covid-19. Belakangan jumlah ini menurun.
Bagi penyelenggara dan pengawas pilkada sendiri, persoalan Covid-19 sudah serius sehingga mengganggu kerja. Di Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah, misalnya, belum kampanye saja sudah terbentuk kluster penyebaran Covid-19 di Bawaslu setempat. Hasil tes menyebutkan, 103 petugas Bawaslu Kabupaten Boyolali positif Covid-19. Sementara banyak kegiatan Bawaslu bersinggungan dengan KPU dan mitra lain, mulai dari tingkat desa, kecamatan, hingga kabupaten.
Hak hidup
Ketua Umum Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia Ede Surya Darmawan menyatakan, Indonesia belum menghadapi Covid-19 saat tahapan Pilkada Serentak 2020 mulai disiapkan tahun lalu. Pemerintah mengumumkan kasus perdana Covid-19 di Tanah Air per 2 Maret 2020.
Melihat eskalasi krisis akibat Covid-19, pemerintah dan DPR pada Agustus lalu tetap berketetapan pilkada jalan terus dengan penyesuaian sebagaimana dituangkan dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga atas UU Pilkada.
”Seharusnya klausul (penundaan) dalam perppu itu dipakai karena terbukti situasinya semakin tidak terkendali. Penerapan normal baru tidak jalan. Inpres yang memberikan sanksi kepada pelanggar protokol kesehatan juga tidak jalan. PSBB (pembatasan sosial berskala besar) sudah lewat karena pelaksanaannya tak seketat yang pertama dulu. Ada banyak inkonsistensi,” kata Surya.
Berbagai variabel penanganan Covid-19, menurut Surya, belum memadahi. Variabel itu, antara lain, soal kapasitas tes yang tak merata sehingga peta zona risiko tidak akurat, kapasitas laboratorium yang tak cukup dan keberadaannya yang tak merata, masyarakat yang minim pemahaman, serta ketersediaan dan kecukupan sarana layanan perawatan yang belum memadai.
Atas kondisi mutakhir tersebut, Surya berpendapat tindakan paling bijak adalah menunda pilkada serentak tahun ini. Hak politik, baik memilih maupun dipilih, adalah penting dan dijamin negara. Namun, hak hidup masyarakat jauh lebih utama dan wajib dijamin negara pula.
”Sebenarnya agenda terbesar kita sekarang menghentikan status darurat kesehatan masyarakat. Hari ini kondisinya masih darurat. Karena itulah, semua sumber daya sebaiknya diarahkan ke sana. Mestinya ini menjadi pijakan bersama karena kasus terbukti terus meningkat,” kata Surya.
Sebenarnya agenda terbesar kita sekarang menghentikan status darurat kesehatan masyarakat. Hari ini kondisinya masih darurat. Karena itulah, semua sumber daya sebaiknya diarahkan ke sana (Ede Surya Darmawan)
Pengajar Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta, Zainal Arifin Mochtar, menyatakan, dirinya tidak menemukan satu pun alasan rasional untuk tetap menyelenggarakan pilkada di tengah krisis Covid-19. Oleh karena itu, pilkada serentak semestinya ditunda.
”Tidak ada alasan yuridis, filosofis, dan sosiologis yang bisa dijadikan sandaran untuk pilkada harus digelar Desember 2020. Apalagi, itu tidak sebanding dengan risiko yang harus dihadapi rakyat,” kata Zainal.
Kebutuhan kepala daerah definitif sebagaimana disampaikan Mahfud, misalnya, menurut Zainal, tidak bisa menjadi alasan karena bisa dipenuhi tanpa pilkada serentak melalui penerbitan payung hukum baru. Ini lebih masuk akal ketimbang memaksakan pilkada serentak pada Desember yang membahayakan nyawa pemilih dan para petugas.
”Banyak sekali yang dipertaruhkan, ya, kualitas pilkada, ya, kesehatan masyarakat dan petugas sebagai hal yang jauh lebih utama. Memaksakan pilkada di 9 Desember itu, entah untuk apa. Jangan-jangan ini dibiarkan agar ada perputaran uang di masyarakat karena keuangan negara terbatas. Jangan-jangan sampai segitu. Tentu ini dugaan konyol karena saya benar-benar tidak menemukan alasan rasional untuk tetap menggelar pilkada di 9 Desember itu,” kata Zainal.
Di tengah Covid-19, seluruh rangkaian pilkada tidak akan berjalan efektif karena petugas dan pengawas tidak akan bisa bekerja efektif. Di saat yang sama, peluang apatisme pemilih menjadi sangat besar sehingga politik uang kian marak.
Pilkada serentak Desember, Zainal menambahkan, hampir pasti menghasilkan pilkada yang kualitasnya buruk. Di tengah Covid-19, seluruh rangkaian pilkada tidak akan berjalan efektif karena petugas dan pengawas tidak akan bisa bekerja efektif. Di saat yang sama, peluang apatisme pemilih menjadi sangat besar sehingga politik uang kian marak.
”Buat apa orang datang ke TPS kalau terancam mati. Saya punya ibu usia 70 tahun, sudah pasti saya minta untuk tidak datang ke TPS. Dalam situasi yang demikian, potensi menjual suara menjadi semakin marak,” kata Zainal.
Baca juga: Dahulukan Keselamatan Jiwa
Dia juga khawatir, politik uang akan merajalela. Belum persoalan lain yang akan membuat kerja petugas dan pengawas menjadi tidak efektif.
”Dalam kondisi normal saja, kita semua tahu kualitas pilkada kita, apalagi dengan situasi Covid-19 ini,” kata Zainal.
Pengajar sosiologi Universitas Brawijaya, Malang, Jawa Timur, Anton Novenanto, berpendapat, Covid-19 menyebabkan situasi darurat di berbagai aspek kehidupan masyarakat dan negara. Dalam kondisi itu, pemerintah pusat dan pemerintah daerah belum bisa mengendalikan Covid-19. Faktanya justru persoalan Covid-19 kian mengkhawatirkan.
Lebih baik anggaran pilkada dialihkan untuk penanganan kesehatan masyarakat. Ini jauh lebih bermanfaat daripada menghabiskan anggaran untuk pilkada yang ujung-ujungnya justru membahayakan keselamatan masyarakat (Anton Novenanto)
Oleh karena itu, langkah bijaksana dalam situasi darurat ini adalah menunda pilkada hingga kasus Covid-19 benar-benar terkendali dan situasi stabil. Prinsip utamanya adalah kesehatan masyarakat yang utama.
”Lebih baik anggaran pilkada dialihkan untuk penanganan kesehatan masyarakat. Ini jauh lebih bermanfaat daripada menghabiskan anggaran untuk pilkada yang ujung-ujungnya justru membahayakan keselamatan masyarakat,” kata Anton.
Moral dan etika
Pengajar Departemen Manajemen dan Kebijakan Publik UGM, Agustinus Subarsono, menyatakan tidak yakin protokol kesehatan dan upaya penegakan hukum bisa mengendalikan keadaan. Regulasi bisa dibuat. Namun, pada tataran praktis, terbukti pengendaliannya sulit dilakukan sehingga risikonya terlalu besar bagi masyarakat dan petugas.
Keputusan menggelar pilkada serentak pada 9 Desember adalah keputusan politik. Barangkali, Subarsono melanjutkan, pertimbangan politik lebih dominan karena keputusan politik dasarnya adalah resultante dari pertarungan kelompok-kelompok kepentingan yang terlibat dalam pengambil keputusan. Adalah kepentingan politik atau kelompok kepentingan yang terbesar yang lalu menang.
”Yang diperlukan sekarang elite politik adalah sensitivitas terhadap persoalan sosial, yang ini berarti lebih dekat pada kepentingan publik dan etika. Kalau bicara etika, bicara moralitas,” kata Subarsono.
Baca juga: Timbang Serius Risiko Pilkada
Seorang petugas penyelenggara pilkada mengungkapkan ketakutannya tertular Covid-19 selama menjalankan tahapan pilkada tahun ini. Persoalan ini saja sudah membuat kerja penyelenggara jadi tidak optimal. Apalagi, jika kluster penyebaran Covid-19 sudah terbentuk di dalam penyelenggara pilkada dan mitra-mitranya.
”Banyak tahapan pilkada yang tidak bisa dilakukan secara daring. Jadi, mau tidak mau harus tatap muka. Dengan protokol kesehatan sekali pun, risiko terpapar Covid-19 tetap terbuka. Apalagi, kami bekerja dan bertemu dengan banyak orang dari berbagai latar belakang,” kata petugas tersebut.
Ia berharap pemerintah menunda pilkada serentak. Selanjutnya perhelatan politik itu bisa dilaksanakan, minimal setelah pemerintah menggelar vaksinasi Covid-19 kepada para petugas dan masyarakat Indonesia.
Sampai hari ini, pemerintah masih menjadwalkan pilkada 9 Desember. Sudah banyak persoalan, argumentasi, kekhawatiran, dan ketakutan diungkapkan berbagai pihak. Pertanyaannya, pilkada itu untuk siapa?