Pasca diundangkan jadi UU Nomor 11 Tahun 2020 oleh Presiden Jokowi, ditemukan sejumlah pasal yang dinilai keliru penulisannya dalam UU Cipta Kerja itu. Pembahasan UU secara terburu-buru jadi pelajaran di masa datang.
Oleh
RINI KUSTIASIH DAN NIKOLAUS HERBOWO
·6 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah menemukan sejumlah pasal yang dinilai keliru secara teknis penulisan di dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. UU itu telah ditandatangani oleh Presiden Joko Widodo dan baru diundangkan di dalam Lembaran Negara, Senin (2/11/2020). Namun, hanya berselang sehari, kekeliruan itu disadari oleh pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat.
Kekeliruan itu ditemukan di dalam dua pasal, yakni Pasal 6 dan Pasal 175. Pemerintah dan DPR sepakat untuk melakukan perbaikan atas pasal yang dinilai keliru secara teknis penulisan itu. Dalam upaya perbaikan itu, telah ada pembicaraan antara Kementerian Sekretaris Negara dan Kesekretariatan Jenderal DPR ataupun Badan Legislasi DPR selaku alat kelengkapan Dewan yang membahas UU Cipta Kerja.
Pasal 6 yang dimaksud itu berbunyi, ”Peningkatan ekosistem investasi dan kegiatan berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 Ayat (1) Huruf a meliputi: a. penerapan perizinan berusaha berbasis risiko; b. penyederhanaan persyaratan dasar perizinan berusaha; c. penyederhanaan perizinan berusaha sektor; dan d. penyederhanaan persyaratan investasi”.
Pasal 5 Ayat (1) yang dirujuk oleh Pasal 6 itu tidak ditemui di dalam UU Cipta Kerja yang diterbitkan di dalam Lembaran Negara. Sebab. Pasal 5 di dalam UU Cipta Kerja tidak memiliki ayat. Pasal 5 UU Cipta Kerja berbunyi, ”Ruang lingkup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 meliputi bidang hukum yang diatur dalam undang-undang terkait”.
Pengajar hukum tata negara dari Sekolah Tinggi Hukum Jentera, Bivitri Susanti, Selasa (3/11/2020), mengatakan, kekeliruan serupa juga ditemukan di dalam Pasal 175 butir keenam. Pasal itu membahas perubahan Pasal 53 UU Nomor juga ada kekeliruan rujukan. Di dalam Ayat ke (5) dari Pasal 53 UU 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, disebutkan rujukannya ialah Ayat (3), sedangkan semestinya yang dimaksud adalah Ayat (4). Sebab, Ayat (3) yang dirujuk itu tidak terkait dengan maksud Ayat (5) tersebut.
Wakil Ketua Baleg dari Fraksi Nasdem Willy Aditya mengatakan, kesalahan itu baru disadari pihaknya pada Selasa (3/11/2020). Kekeliruan itu diduga terjadi sejak dalam pembahasan bersama pemerintah di DPR. Namun, karena saat ini draf UU sudah ditandatangani oleh presiden dan bahkan telah diundangkan, maka perbaikan disepakati akan dilakukan oleh Setneg.
”Nanti akan diperbaiki oleh Setneg dalam Distribusi II. Dulu pernah ada preseden pada UU No 13/2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, serta UU No 49/2008 tentang Pembentukan Kabupaten Mesuji, di mana terjadi kekeliruan teknis penulisan saat diundangkan. Lalu, dilakukan revisi dan dikeluarkan Distribusi II atas UU yang telah diperbaiki itu,” ujar Willy saat dikonfirmasi, Selasa.
Nanti akan diperbaiki oleh Setneg dalam Distribusi II. Dulu pernah ada preseden pada UU No 13/2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, serta UU No 49/2008 tentang Pembentukan Kabupaten Mesuji, di mana terjadi kekeliruan teknis penulisan saat diundangkan. Lalu, dilakukan revisi dan dikeluarkan Distribusi II atas UU yang telah diperbaiki itu.
Keterangan mengenai Distribusi II itu juga akan dicantumkan di dalam lembaran UU yang akan diundangkan setelah dilakukan perbaikan. ”Soal kekeliruan ini, kita juga baru tahu sekarang. Seharusnya memang tidak ada kata-kata ’Pasal 5 Ayat (1)’ karena pasal yang dimaksud tidak ada,” kata Willy menjelaskan tentang kekeliruan di dalam Pasal 6 UU Cipta Kerja.
Sementara itu, dalam keterangan resminya, Mensesneg Pratikno mengatakan, setelah menerima berkas RUU Cipta Kerja dari DPR, Setneg telah melakukan review (pemeriksaan) dan menemukan sejumlah kekeliruan yang bersifat teknis. Setneg juga telah menyampaikan kepada Sekretariat Jenderal DPR untuk disepakati perbaikannya. ”Hari ini kita menemukan kekeliruan teknis penulisan dalam UU No 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Namun, kekeliruan tersebut bersifat teknis administratif sehingga tidak berpengaruh terhadap implementasi UU Cipta Kerja,” ujarnya.
”Kekeliruan teknis ini menjadi catatan dan masukan bagi kami untuk terus menyempurnakan kendali kualitas terhadap RUU yang hendak diundangkan agar kesalahan teknis seperti ini tidak terulang lagi,” ujar Pratikno.
Tidak diatur
Bivitri mengatakan, alasan untuk menerbitkan Distribusi II sebagaimana dimaksud Baleg DPR itu tidak diatur di dalam UU No 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Sekalipun ada preseden sebelumnya dalam menerbitkan Distribusi II atas suatu UU yang dinilai mengalami kekeliruan teknis, hal itu tidak menjustifikasi tindakan revisi sendiri atas substansi suatu UU yang telah diundangkan itu sebagai sesuatu yang benar secara hukum.
”Sekalipun Distribusi II itu pernah dilakukan, bukan berarti tindakan itu benar dan tindakan yang keliru itu harus diulangi berkali-kali,” katanya.
Menurut Bivitri, ketika suatu UU telah dinomori, itu bukan hanya soal administrasi, melainkan memiliki makna pengumuman kepada publik mengenai penempatan suatu UU ke dalam Lembaran Negara dan penjelasannya masuk ke Tambahan Lembaran Negara. Bila sudah diumumkan, tidak ada orang yang boleh mendaku dirinya tidak mengetahui UU itu ada sehingga dapat menghindar dari kewajiban menerapkan UU itu.
”Jadi, terhadap kesalahan di Pasal 6 dan Pasal 175, tidak bisa lagi dilakukan perbaikan secara sembarangan seperti yang terjadi sebelum UU ini ditandatangani, yang itu pun sebenarnya salah. Dampaknya, pasal-pasal yang sudah diketahui salah itu tidak bisa dilaksanakan,” katanya.
Direktur Pusat Studi Hukum dan Teori Konstitusi Universitas Kristen Satya Wacana Umbu Rauta mengatakan, permasalahan di dalam UU No 11/2020 tidak sekadar kesalahan ketik. Namun, menjadi gambaran upaya sinkronisasi, harmonisasi, dan pembulatan kaidah belum berjalan sebagaimana mestinya. Kesalahan lebih banyak berkenaan dengan teknik pengacuan sebagaimana diatur di dalam lampiran II UU No 12 /2011 yang telah diubah dengan UU No 15/2019 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
”Persoalan itu tidak bisa ditangani dengan merevisi kembali karena dokumen hukum tersebut telah disahkan oleh presiden dan diundangkan dalam Lembaran Negara sehingga mengikat bagi publik. Manakala ada kesalahan substansi dan redaksional harus ditempuh dengan mekanisme konstitusional pula, yaitu dengan instrumen perubahan, oleh pemerintah atau DPR,” kata Umbu.
Direktur Advokasi dan Jaringan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Indonesia Fajri Nursyamsi mengatakan, kesalahan perumusan tersebut bukan sekadar kesalahan ketik, melainkan perlu dimaknai sebagai buah dari proses pembentukan regulasi yang dipaksakan dan mengorbankan prinsip transparansi, partisipasi, dan akuntabilitas. Apabila dilihat lebih dalam, kesalahan perumusan itu merupakan bentuk pelanggaran atas asas kejelasan rumusan yang diatur dalam Pasal 5 huruf f UU No 12/2011.
”Hal itu semakin menunjukkan bahwa UU Cipta Kerja mengandung cacat formil dan harus dipertimbangkan serius oleh Mahkamah Konstitusi dalam menindaklanjuti permohonan uji formil nantinya,” ujar Fajri.
Buruh menggugat
Kami juga menuntut DPR untuk menerbitkan legislative review (tinjauan legislatif) terhadap UU Cipta Kerja dan melakukan kampanye atau sosialisasi tentang isi pasal UU Cipta Kerja yang merugikan kaum buruh tanpa melakukan hoaks atau disinformasi.
Dngan telah diterbitkannya UU Cipta Kerja, kalangan buruh pun langsung mengajukan uji konstitusionalitas MK. Ketua Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal saat dihubungi di Jakarta, Selasa, mengatakan, gugatan terhadap UU Cipta Kerja telah resmi didaftarkan ke MK. Gugatan diajukan oleh KSPI dan Ketua KSPSI Andi Gani Nena Wea. ”Untuk pertama kali, (kami melayangkan gugatan) uji materi dan menyusul uji formil,” ujar Said.
Selain menempuh jalur konstitusional, Said menyampaikan, KSPI juga akan tetap menggelar aksi demonstrasi dan mogok kerja sesuai dengan hak konstitusional buruh yang diatur dalam undang-undang. Aksi tersebut dilakukan dengan anti-kekerasan.
”Kami juga menuntut DPR untuk menerbitkan legislative review (tinjauan legislatif) terhadap UU Cipta Kerja dan melakukan kampanye atau sosialisasi tentang isi pasal UU Cipta Kerja yang merugikan kaum buruh tanpa melakukan hoaks atau disinformasi,” ujarnya.
Sementara itu, dari kajian dan analisis yang dilakukan KSPI terhadap UU Cipta Kerja, secara khusus kluster ketenagakerjaan, ditemukan banyak pasal yang hilang atau berubah sehingga merugikan kaum buruh. Di antaranya berlakunya kembali sistem upah murah.