Pilkada dalam Bayang-bayang Cukong
Mahalnya biaya politik di dalam pilkada langsung membuka peluang bagi pemodal atau cukong untuk memberikan dukungan dana kepada kandidat kepala daerah. Hal ini dikhawatirkan akan mencederai demokrasi dan berujung korupsi
Biaya politik pemilihan kepala daerah langsung yang tinggi memaksa setiap pasangan calon harus memiliki kekuatan modal ekonomi yang kuat. Sayangnya, harta kekayaan pasangan calon seringkali tak mencukupi. Kondisi ini menjadi pintu masuk cukong-cukong pilkada yang berujung pada pencederaan demokrasi.
Hasil kajian Litbang Kementerian Dalam Negeri pada pemilihan kepala daerah (Pilkada) langsung 2015 menunjukkan biaya politik yang harus dikeluarkan untuk memenangkan kontestasi cukup tinggi. Untuk memperebutkan kursi bupati/wali kota, biaya yang harus dirogoh mencapai Rp 20 miliar-Rp 30 miliar. Sedangkan untuk pemilihan gubernur mencapai Rp 20 miliar-Rp 100 miliar.
Sebagian besar pasangan calon (paslon) mengandalkan pemodal atau cukong untuk membiaya proses politik selama kontestasi
Ironisnya, sebagian besar pasangan calon (paslon) mengandalkan pemodal atau cukong untuk membiaya proses politik selama kontestasi. Kondisi itu tergambar dari survei yang dilakukan Litbang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kepada sejumlah paslon kepala dan wakil kepala daerah. Survei dilakukan kepada pasangan calon yang kalah dalam kontestasi Pilkada 2017 dan 2018.
Baca juga: Politik Transaksional Picu Pilkada Biaya Tinggi
Pada Pilkada 2017, misalnya, sebanyak 82,3 persen calon kepala daerah dan wakil kepala daerah menyatakan dibantu oleh pemodal. Sedangkan pada Pilkada 2018, calon kepala daerah dan wakil kepala daerah yang dibantu cukong sebanyak 70,3 persen. Hanya sedikit pasangan calon yang membiayai proses pilkada dari uangnya sendiri dan sumber-sumber pendanaan yang legal.
Selain maraknya sumber pendanaan ilegal, publik pun mempertanyakan transparansi sumbangan dana kampanye Pilkada. Hasil jajak pendapat melalui telepon oleh Litbang Kompas, 26-28 Oktober 2020, menempatkan partai politik dan pengusaha sebagai pihak paling tidak transparan dalam menyampaikan sumbangan dana kampanye.
Sebanyak 32,9 persen responden menganggap parpol tidak transparan, sedangkan 25,4 persen responden menilai pengusaha tidak transparan dalam sumbangan dana kampanye. Adapun sebanyak 9,3 persen responden menilai masyarakat umum tidak transparan dan 6,5 persen paslon yang tidak transparan. Responden yang mengaku tidak tahu sebanyak 25,9 persen.
Di 1.472 kandidat yang bertarung pada 270 daeah penyelenggara pilkada itu, 12 calon kepala dan wakil kepala daerah bahkan berharta minus
Keberadaan cukong diperkirakan masih langgeng pada Pilkada 2020. Jika dilihat dari harta kekayaan kandidat berdasarkan laporan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN) oleh KPK, rata-rata harta kekayaan calon Rp 10,6 miliar. Jumlah ini masih di bawah pengeluaran biaya politik yang mencapai Rp 20 miliar-Rp 100 miliar.
Di 1.472 kandidat yang bertarung pada 270 daeah penyelenggara pilkada itu, 12 calon kepala dan wakil kepala daerah bahkan berharta minus. Kandidat dengan harta minus terbanyak ialah calon wakil bupati Sijunjung, Sumatera Barat, Indra Gunalan, yang melaporkan hartanya minus Rp 3,5 miliar. Adapun kandidat dengan harta kekayaan terbesar ialah calon wakil gubernur Kalimantan Selatan, Muhidin, yang besarnya mencapai Rp 674 miliar.
Dalam diskusi Satu Meja The Forum bertajuk ”Kuasa Cukong di Pilkada” yang ditayangkan Kompas TV, Rabu (5/11/2020) malam, pakar otonomi daerah Djohermansyah Djohar mengatakan, cukong muncul karena biaya politik yang tinggi. Kandidat tidak bisa mencukupi seluruh biaya politik dari uangnya sendiri sehingga memerlukan bantuan pembiayaan dari pihak ketiga. Padahal, cukong selalu memiliki kepentingan atas sumbangan yang diberikan.
“Ini sangat berbahaya karena memunculkan pemerintahan bayangan, bukan kandidat yang menang yang menjalankan pemerintahan, tetapi cukong,” ujarnya.
Besaran sumbangan disesuaikan dengan peluang kemenangan masing-masing paslon sehingga siapa saja yang menang bisa tetap mengamankan bisnisnya
Diskusi yang dipandu oleh Wakil Pemimpin Umum Kompas Budiman Tanuredjo itu turut menampilkan sejumlah narasumber yang tersambung melalui telekonferensi video, yakni Komisioner Komisi Pemilihan Umum Ilham Saputra, Staf Khusus Menteri Dalam Negeri Kastorius Sinaga, Wakil Ketua KPK Nurul Gufron, dan Peneliti Indonesia Corruption Watch Almas Sjafrina.
Pada beberapa kasus, lanjut Djohermansyah, cukong yang biasanya merupakan pebisnis cenderung memberikan sumbangan tidak hanya untuk satu paslon. Besarannya disesuaikan dengan peluang kemenangan masing-masing paslon sehingga siapa saja yang menang bisa tetap mengamankan bisnisnya.
Baca juga: Saatnya Mengubah Cara Berkampanye Pilkada
Menurut dia, keberadaan cukong membahayakan penyelenggaraan pemerintahan. Kepala daerah terpilih rentan melakukan penyalahgunaan wewenang sehingga berujung pada tindak korupsi. Kerawanan terutama terjadi pada proses pengadaan barang dan jasa, perizinan, intervensi dalam pengangkatan jabatan, serta pembuatan regulasi yang mengutamakan kepentingan cukong.
“Cukong membuat pemerintah daerah tidak bisa menjalankan pemerintahan yang semangatnya untuk kesejahteraan rakyat,” ucapnya.
Salah satu cara untuk mencegah munculnya cukong, lanjut dia, yakni menurunkan biaya politik dalam Pilkada langsung. Biaya yang murah membuat paslon tidak perlu meminta dukungan dana kampanye dari cukong
Salah satu cara untuk mencegah munculnya cukong, lanjut dia, yakni menurunkan biaya politik dalam Pilkada langsung. Biaya yang murah membuat paslon tidak perlu meminta dukungan dana kampanye dari cukong. Oleh sebab itu, negara perlu hadir dengan membuat pelaksanaan pilkada yang murah, seperti menanggung biaya beberapa keperluan, antara lain biaya saksi dan alat peraga kampanye.
Ilham mengatakan, batasan sumbangan dana kampanye telah diatur melalui Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati,Dan Walikota dan Peraturan KPU Nomor 12 Tahun 2020. Untuk sumbangan yang berasal dari perseorangan dibatasi maksimal Rp 75 juta, sedangkan dari partai politik, kelompok, dan atau badan hukum swasta maksimal Rp 750 juta.
“Tetapi biasanya ada saja celah dan cara dari para calon untuk kemudian memilah-milah, misalnya memilah-milah menjadi semua minimal Rp 750 juta, totalnya mungkin lebih dari itu. Ini tidak diatur dalam perundang-undangan bagaimana jika memilah-milah seperti itu,” katanya.
Ilham melanjutkan, sumbangan dana kampanye juga diberikan kepada pasangan calon melalui perantara. Singkatnya, uang dari satu donatur diatasnamakan melalui orang-orang yang berbeda untuk diberikan kepada paslon yang sama sehingga tetap tidak melanggar aturan.
Untuk meningkatkan transparansi sumbangan dana kampanye, KPU menggandeng Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) untuk memantau rekening dana kampanye dan paslon. Penyumbang juga harus berbadan hukum sehingga kredibilitasnya bisa diawasi.
Ilham mengakui kewenangan yang dimiliki KPU terkait dana kampanye sangat terbatas. KPU hanya berwenang untuk menerima laporan penerimaan dan penggunaan dana kampanye tanpa bisa melakukan reformasi dari hasil audit dana kampanye. “Belum pernah ada diskualifikasi akibat pelanggaran dana kampanye meskipun pelanggaran itu bisa berakibat pada diskualifikasi,” ujar Ilham.
Menurut Almas, UU 10/2016 dan PKPU 12/2020 tidak memuat instrumen yang bisa memastikan bahwa laporan dana kampanye merupakan laporan yang jujur. Laporan itu seringkali dibuat untuk memenuhi syarat administratif. “Proses audit laporan dana kampanye hanya berfokus pada laporan sudah sesuai regulasi atau tidak,” ujarnya.
Oleh sebab itu, perlu ada solusi untuk melahirkan paslon yang berintegritas agar kontestasi pilkada berjalan sehat dan sesuai aturan. Pembenahan dimulai dari tahapan kandidasi di parpol. Calon yang diusung seharusnya memiliki kapasitas dan integritas yang baik. Solusi dengan melakukan pilkada asimetris juga dinilai tidak menyelesaikan masalah karena tidak menjamin politik uang antara kandidat dengan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
“Meskipun Undang-undang Cipta Kerja membuat kewenangan daerah berkurang, daerah tetap memiliki kewenangan strategis sehingga cukong masih tetap ada,” ucap Almas.
Nurul menilai, munculnya cukong diakibatkan pilkada yang berbiaya tinggi. Kandidat memiliki keinginan untuk mengembalikan dana yang dikeluarkan saat berkontestasi memperebutkan jabatan. “Bukan hanya dari cukong, meskipun dari dana pribadi, kepala daerah tetap ingin mengembalikan modal,” katanya.
Dana-dana dari cukong itu biasanya digunakan untuk kepentingan ilegal, seperti mahar politik, pembelian suara dan biaya lain yang dilarang dalam kampanye. Praktik-praktik itu cenderung mengakibatkan korupsi kepala daerah yang berujung merugikan masyarakat.
Kastorius menuturkan, gaji kepala daerah selama satu periode tidak mungkin bisa menutup pembiayaan pilkada. Kepala daerah rata-rata hanya mendapatkan gaji sekitar Rp 5 miliar selama satu periode, jauh lebih kecil dibanding rata-rata biaya politik yang dikeluarkan untuk mendapatkan kursi tersebut sehingga ada selisih yang sangat tinggi.
Gaji kepala daerah selama satu periode tidak mungkin bisa menutup pembiayaan pilkada. Kepala daerah rata-rata hanya mendapatkan gaji sekitar Rp 5 miliar selama satu periode,
Dalam kondisi ini, praktik cukong tumbuh karena ada simbiosis mutualisme antara paslon dengan pemodal. Kandidat yang menang dengan biaya cukong akhirnya mengambil keuntungan dari sumber daya yang dimiliki negara untuk mengembalikan modalnya. “Ini menjadi karpet merah untuk korupsi,” tuturnya.
Untuk memutus praktik cukong dalam pilkada, pihaknya menawarkan beberapa solusi. Pertama, harus ada evaluasi tentang system pemilihan kepala daerah yang komprehensif. Evaluasi melibatkan seluruh pemangku kepentingan dalam pilkada sehingga celah-celah munculnya cukong bisa dihindari.
Kemudian ada wacana pelaksanaan pilkada asimetris. Pilkada di daerah-daerah yang tingkat kedewasaan berdemokrasi dan indeks pembangunan manusia yang masih rendah dilakukan melalui DPRD. Namun ada ketentuan yang ketat, seperti konvensi untuk mencegah munculnya praktik politik uang antara kandidat dengan DPRD seperti saat sebelum berlangsungnya pilkada langsung.