Indikasi Korupsi Tercium di Banyak Tempat
Tak hanya yang telah terkuak oleh aparat penegak hukum, indikasi korupsi di tengah krisis akibat pandemi Covid-19 juga tercium di banyak tempat. Keserakahan menjadi pemicu. Sistem pencegahan korupsi harus diperkuat.
JAKARTA,KOMPAS — Korupsi yang tetap tumbuh subur di tengah pandemi Covid-19 menodai peringatan Hari Antikorupsi dan Hari Hak Asasi Manusia Sedunia yang jatuh pada 9 dan 12 Desember mendatang.
Korupsi masif tak hanya yang telah dikuak oleh aparat penegak hukum sejak Covid-19 masuk ke Tanah Air pada Maret lalu. Mereka yang terlibat pun bukan hanya penyelenggara negara, melainkan hingga ke otoritas di level bawah. Di tengah kondisi rakyat dan negara yang kesulitan menghadapi pandemi, para koruptor layak diberatkan hukumannya, bahkan dijatuhi hukuman mati.
Menteri Sosial (Mensos) Juliari P Batubara menyerahkan diri ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) setelah ditetapkan KPK sebagai tersangka kasus dugaan suap bantuan sosial (bansos) penanganan pandemi Covid-19, Minggu (6/12/2020) dini hari.
Selain Juliari, dua pejabat pembuat komitmen (PPK) di Kemensos bersama dua orang dari pihak swasta turut ditetapkan sebagai tersangka setelah ditangkap dalam operasi tangkap tangan (OTT) KPK pada Sabtu dini hari lalu. Dalam kasus ini diduga ada penerimaan fee mencapai sekitar Rp 20,8 miliar. Sebanyak Rp 17 miliar diduga diserahkan melalui PPK kepada Juliari untuk keperluan pribadi Juliari.
Baca juga : Menteri Sosial Serahkan Diri ke KPK
Terkuaknya kasus ini kian menguatkan tetap masifnya korupsi di tengah pandemi Covid-19. Dalam dua pekan sebelumnya, operasi tangkap tangan (OTT) KPK menangkap pula Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo, Wali Kota Cimahi (Jawa Barat) Ajay Muhammad Priatna, dan Bupati Banggai Laut (Sulawesi Tengah) Wenny Bukamo. Tak berhenti di situ, awal Juli lalu, Bupati Kutai Timur Ismunandar bersama istri, Encek UR Firgasih, juga ditangkap oleh KPK.
Selain dalam kasus dugaan suap pengadaan bansos, kondisi pandemi dimanfaatkan untuk memuluskan pelarian buronan korupsi Joko Tjandra. Seperti diketahui, mantan Kepala Biro Koordinasi dan Pengawasan (Korwas) PPNS Bareskrim Polri Brigadir Jenderal (Pol) Prasetijo Utomo menerbitkan surat jalan palsu untuk Joko dengan tujuan pengawasan pandemi Covid-19. Uang suap ditengarai diterima oleh Prasetijo sebagai balas jasa telah membantu Joko. Berbekal surat jalan itu, Joko yang berstatus buronan karena kasus korupsi Bank Bali tahun 2009 bebas keluar masuk Indonesia pada Juni lalu.
Namun, di luar kasus-kasus yang telah terungkap tersebut, indikasi penyimpangan dilaporkan terjadi di mana-mana sejak Covid-19 masuk ke Tanah Air pada Maret lalu. Wawancara Kompas dengan pejabat di KPK dan lembaga pengawas keuangan negara, yaitu Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) serta Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), selama sepekan terakhir menyampaikan hal tersebut. Bahkan, jika dibandingkan dengan sebelum pandemi, indikasi korupsi dinilai lebih masif.
Anggota BPK, Harry Azhar Azis, mencontohkan pembelian alat pelindung diri (APD) dengan harga satuan yang terlalu mahal. Temuan sementara BPK, ada instansi yang membeli APD dengan harga satuan Rp 800.000 dalam rentang waktu April-Mei lalu. Padahal, harga di pasaran hanya Rp 150.000.
”Ada juga temuan soal bantuan sosial saat pandemi Covid-19. Namun, kami belum bisa simpulkan karena masih diaudit. Kalau soal bansos itu, saya kira kesempatan (korupsi) memang ada,” ujarnya saat diwawancara Kompas, Selasa (1/12/2020).
Saat ini, menurut dia, BPK masih melakukan audit komprehensif terhadap penggunaan anggaran penanganan Covid-19 di pemerintah pusat ataupun daerah. Dari hasil audit, akan lebih terang penyimpangan yang terjadi. Alokasi anggaran untuk penanganan Covid-19 di pemerintah pusat mencapai Rp 692,2 triliun, sedangkan di anggaran daerah mencapai Rp 74,7 triliun. Audit oleh BPK ditargetkan bisa tuntas sebelum akhir tahun ini.
Jika dibandingkan dengan sebelum pandemi, Harry memprediksi, korupsi saat pandemi bisa lebih tinggi. Selain karena anggarannya yang besar, pemerintah serba cepat dalam penggunaan anggaran. Kecepatan penyerapan ini mendorong pejabat untuk fleksibel dalam menerapkan aturan. Namun, jika tidak diikuti dengan integritas dan itikad yang baik, hal tersebut bisa menjadi celah untuk korupsi.
Kepala BPKP Muhammad Yusuf Ateh menguatkan indikasi penyimpangan yang masif saat pandemi. Tidak hanya yang terkait penanganan Covid-19, tetapi juga di sektor lain.
”Potensi terjadinya korupsi ada di berbagai sektor, apalagi dalam penanganan pandemi Covid-19, semua dituntut bertindak cepat dan tepat. Aturan dilonggarkan, yang mestinya lelang, tetapi gak lelang. Nah, kalau sudah longgar begitu, peluang fraud, penyimpangan, besar,” tambahnya.
Indikasi penyimpangan kebanyakan terjadi saat pengadaan barang dan jasa. Hingga kini, BPKP telah menerima setidaknya 12 pengaduan penyimpangan. Namun, menurut Ateh, pengaduan telah selesai ditelaah dan sedang ditindaklanjuti dengan audit.
”Mengingat BPKP lebih mengedepankan upaya pencegahan daripada penindakan, dengan cepat BPKP memberikan rekomendasi-rekomendasi yang diperlukan, baik di kementerian/lembaga maupun pemerintah daerah, sehingga kelemahan-kelemahan yang ada dapat segera diatasi dan tidak terjadi korupsi dalam penanganan pandemi,” katanya.
Baca juga : Korupsi Tak Berhenti di Tengah Pandemi
Selain BPK dan BPKP, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menerima lebih kurang 300 laporan transaksi mencurigakan di rekening pejabat di pemerintah pusat ataupun daerah setiap hari selama masa pandemi. Namun, menurut Ketua PPATK Dian Ediana Rae, PPATK belum tuntas menganalisisnya sehingga belum ada transaksi yang dikategorikan sebagai bagian dari kejahatan.
”Dari laporan yang masuk ke PPATK itu, laporan dugaan korupsi yang paling besar. Namun, ada juga dari kejahatan lain, seperti peredaran narkoba, penipuan, pendanaan terorisme, dan jenis kejahatan ekonomi lain, yang ditangani PPATK,” kata Dian.
Biaya kampanye
Penyelenggaraan pemilihan kepala daerah (pilkada) di 270 daerah tahun ini ditengarai membuat korupsi kian marak. OTT Bupati Banggai Laut Wenny Bukamo oleh KPK, dengan uang suap dari pemenang tender proyek infrastruktur yang diduga untuk biaya kampanye Wenny dalam Pilkada 2020, bisa jadi bukan satu-satunya.
Deputi Bidang Pencegahan KPK Pahala Nainggolan menyebutkan, di sejumlah daerah, kepala daerah atau wakil kepala daerah bersama Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) sudah membagi-bagi proyek pengadaan untuk sejumlah perusahaan sebelum pembahasan APBD 2020 tahun lalu.
Setelah APBD disahkan, tender yang dilakukan hanya formalitas karena perusahaan pemenang tender sudah ditentukan. Dari perusahaan-perusahaan itu, para pejabat di daerah menerima upeti. Informasi terkait ini terutama diterima KPK dari daerah-daerah yang menggelar Pilkada 2020.
Kondisi pandemi lantas memasifkan praktik korupsi itu. Apalagi pada saat pandemi, menurut dia, ada pengadaan barang dan jasa yang dapat dilakukan pemerintah daerah tanpa persetujuan DPRD.
Pungutan liar
Tak hanya di tataran penyelenggara negara, korupsi skala kecil dalam bentuk pungutan liar dan pemotongan bansos banyak pula dilaporkan masyarakat.
Ini seperti terlihat dari laporan yang masuk ke tim Jaga Bansos KPK sejak aplikasi itu pertama diluncurkan akhir Mei lalu. Hingga 6 Desember 2020 tercatat ada 151 penerima bansos yang mengadukan bahwa jumlah bantuan dana yang diterima kurang dari seharusnya. Kemudian, 201 penerima bansos mengeluhkan bantuan tidak dibagikan oleh aparat. Di luar itu, ada pula 19 penerima bansos yang mengeluhkan buruknya kualitas bantuan yang diterima.
Menurut hasil telaah tim Jaga Bansos KPK, biasanya modus pungli yang dilakukan petugas, aparat, atau kepala desa berkedok biaya pengurusan atau biaya administrasi. Padahal, seharusnya tidak ada biaya apa pun yang dikeluarkan untuk dapat menerima bansos.
Terhadap laporan yang masuk itu, tim pengelola Jaga Bansos telah meneruskannya kepada tim pengaduan masyarakat untuk ditelaah. Jika memenuhi unsur pidana, KPK akan memprosesnya. Sebaliknya, jika tidak, tindak lanjutnya diserahkan kepada instansi terkait sebagai bahan perbaikan dalam proses penyaluran bansos.
Laporan soal korupsi kecil-kecilan ataupun korupsi skala besar yang dilakukan penyelenggara negara menguatkan persepsi publik terhadap korupsi yang masih marak setahun terakhir.
Hasil survei Transparency International Indonesia (TII) yang terangkum dalam Global Corruption Barometer 2020 menunjukkan, 49 persen responden menilai, tingkat korupsi meningkat selama satu tahun terakhir. Lebih dari 90 persen responden merasa, korupsi di tubuh pemerintah merupakan masalah besar atau jauh di atas rata-rata negara-negara di Asia yang besarnya 74 persen. Survei dilakukan melalui telepon pada 15 Juni hingga 24 Juli 2020 dengan melibatkan 1.000 responden rumah tangga.
Baca juga : TII: Pemberantasan Korupsi di Indonesia Masih Stagnan
Keserakahan
Ketua Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) UGM Oce Madril mengatakan, rentetan peristiwa korupsi yang terjadi pada saat pandemi menunjukkan karakter korupsi yang didasari oleh kerakusan atau keserakahan. Latar pejabat publik melakukan korupsi itu pun diyakini bukan karena memerlukan uang untuk memenuhi kebutuhannya (by needs), melainkan lebih didasari oleh keserakahan (by greed).
”Kalau kita lihat profil korupsi, itu terjadi karena by greed. Karena keserakahan itulah mereka memperjualbelikan kekuasaan yang mereka miliki. Mereka mematok harga kekuasaan yang mereka miliki dengan jumlah tertentu. Sebagai contoh, korupsi di KKP (Kementerian Kelautan dan Perikanan) dan penangkapan Wali Kota Cimahi. Itu menunjukkan mereka yang memperjualbelikan kekuasaan atau kewenangannya demi imbalan tertentu. Begitu juga dalam kasus Joko Tjandra,” kata Oce.
Perbuatan pejabat publik yang demikian itu, lanjutnya, menunjukkan, korupsi tidak mengenal momentum. Bahkan, saat orang lain mengalami kesulitan karena pandemi atau situasi darurat lain, seperti bencana, korupsi itu mungkin saja terjadi. Banyaknya laporan tentang pungli bansos saat pandemi juga menunjukkan sikap abai pejabat publik.
”Berhadapan dengan aktor-aktor korupsi karena keserakahan semacam ini, tentu harus diberikan hukuman yang berat. Mereka sebagai pejabat publik seharusnya menjaga sistem agar sehat dan berjalan sesuai hukum. Akan tetapi, mereka justru menjadi sumber masalahnya,” kata Oce.
Oce mengingatkan, Pasal 2 Ayat (2) Undang-undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 yang telah diubah dengan UU No 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi telah mengatur pemberatan hukuman terhadap mereka yang melakukan penyalahgunaan dalam kondisi tertentu. Bahkan, pemberatan itu dapat berupa hukuman mati.
Penjelasan Pasal 2 Ayat (2) itu menerangkan, frasa ”dalam kondisi tertentu” ialah apabila tindak pidana tersebut dilakukan pada waktu negara dalam keadaan bahaya sesuai dengan UU yang berlaku. Misalnya, jika terjadi bencana alam nasional, pengulangan tindak pidana korupsi, dan ketika negara dalam kondisi krisis ekonomi dan moneter.
”Korupsi bansos untuk bantuan dampak pandemi, misalnya, dapat dimaknai merupakan korupsi yang dilakukan saat negara dalam kondisi bencana dan saat negara dalam kondisi krisis ekonomi dan moneter. Itu dapat menjadi alasan dijatuhkannya hukuman pemberatan bagi pelakunya,” ucapnya.
Berlandaskan pada ketentuan itu, Oce berharap penegakan hukum dilakukan tegas terhadap setiap orang yang memanfaatkan kondisi pandemi untuk korupsi. Sekalipun hukuman maksimalnya adalah hukuman mati, dapat saja pemberatan hukuman ditunjukkan dengan pemberian hukuman penjara yang lebih berat atau denda yang lebih besar.
Sistem pencegahan
Untuk mengatasi persoalan korupsi yang terus terjadi, Oce meminta pemerintah tidak kehilangan fokus dalam mengawal kegiatan dan program-programnya, terutama pada masa pandemi. Sebab, pada saat pandemi, kerentanan terjadinya korupsi semakin tinggi, tidak hanya dalam program-program yang terkait Covid-19, tetapi juga sektor lain.
Adapun pengajar Hukum Universitas Airlangga, Herlambang P Wiratraman, mengingatkan kembali pentingnya memperbaiki sistem pencegahan dan pengawasan.
Menurut dia, karena korupsi terkait erat dengan kekuasaan atau kewenangan, sistem itu harus dibangun melalui sistem politik.
”Sistem politik yang kita jalani saat ini kalau dilihat dari sosiologi hukum menunjukkan sistem politik kartel. Tidak hanya sistem partai politiknya, tetapi sistem politiknya, mulai dari sistem pemilu, desain pemilu yang transaksional, sehingga membuka peluang terjadinya tukar-menukar jabatan dengan izin, baik itu untuk eksploitasi tambang, izin RS, dan lain-lain,” katanya.
Baca juga : Pedang Tajam Antikorupsi Kembali Menghunjam Jawa Barat
Sistem politik semacam itulah yang memudahkan korupsi terus terjadi. Sejauh perbaikan terhadap sistem itu tidak dipandang serius, menurut Herlambang, korupsi akan mudah terjadi di Indonesia. Di sisi lain, sistem pemberantasan korupsi saat ini dinilai telah dilemahkan. Oleh karena itu, untuk mengatasi korupsi, terutama pada masa pandemi, harus dilakukan perbaikan secara holistik.
Menurut Pahala Nainggolan, yang paling penting dalam pencegahan korupsi adalah komitmen dari pimpinan kementerian/lembaga atau pemerintah daerah. ”Kalau ini sudah ada dan kuat, rasanya 50 persen dari pencegahan sudah bisa jalan,” katanya.
Atas usulan agar hukuman bagi koruptor yang melakukan korupsi saat kondisi negara dan rakyat sedang susah diperberat, Wakil Ketua KPK Nawawi Pomolango mengatakan, KPK akan mempertimbangkannya.
”Tentu kami akan memperhatikan soal tuntutan ini. Kondisi ini bisa kami jadikan alasan untuk memperberat tuntutan yang kami ajukan. Setiap tipikor yang belangsung di tengah situasi negeri dalam keadaan sulit seperti ini, itu menjadi alasan bagi KPK untuk menjadikan tuntutan tersebut maksimal. Paling tidak terhadap mereka yang menjadi tersangka pelaku tipikor,” kata Nawawi. (BOW/DEA/PDS/REK/APA)