Bantuan sosial penanganan pandemi Covid-19 lewat pemberian sembako rentan penyimpangan, seperti pada kasus dugaan penerimaan suap dan gratifikasi Mensos Juliari Batubara. Ke depan, bansos akan lewat transfer tunai.
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO, ANITA Y0SSIHARA DAN NINA SUSILO
·3 menit baca
Penyaluran bansos sembako menjadi pelajaran berharga sehingga harus dikaji kembali. Perubahan skema bansos sembako ke uang tunai menutup adanya peluang ”fee”.
JAKARTA, KOMPAS - Bantuan sosial untuk penanganan pandemi Covid-19 melalui pemberian sembilan bahan kebutuhan pokok atau sembako rentan penyimpangan, seperti pada kasus dugaan penerimaan suap dan gratifikasi Menteri Sosial Juliari P Batubara.
Ke depan, pemberian bansos diharapkan melalui uang tunai untuk meminimalkan penyimpangan dan salah kirim. Pemerintah sejauh ini tengah mengkaji perubahan skema bansos tersebut.
Sementara itu, terkait tindak lanjut kasus dugaan penerimaan suap dan gratifikasi Juliari, tim penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi menggeledah di tiga lokasi berbeda. Ketiga lokasi itu adalah kantor Kementerian Sosial serta rumah tersangka Matheus Joko Santoso dan Adi Wahyono, yang merupakan pejabat pembuat komitmen di Kemensos.
"Dugaan korupsi Juliari bisa terjadi karena proses pengadaan barang menggunakan model penunjukan langsung. Akibatnya, antara vendor dan Juliari bisa menegosiasikan fee. Diduga ada kesepakatan fee dari tiap paket pekerjaan yang disetorkan rekanan. Adapun fee disepakati Rp 10.000 per paket sembako dari nilai Rp 300.000 per paket"
Sekretaris Jenderal Sekretariat Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran Misbakhul Hasan, Selasa (8/12/2020), di Jakarta, mengatakan, dugaan korupsi Juliari bisa terjadi karena proses pengadaan barang menggunakan model penunjukan langsung. Akibatnya, antara vendor dan Juliari bisa menegosiasikan fee. Diduga ada kesepakatan fee dari tiap paket pekerjaan yang disetorkan rekanan. Adapun fee disepakati Rp 10.000 per paket sembako dari nilai Rp 300.000 per paket.
”Penyaluran bansos dengan model sembako memang rentan penyimpangan. Selain kick back atau fee yang diminta, sering kali besaran bantuan tidak sesuai dengan nominal bantuan yang seharusnya diberikan. Jadi, masyarakat miskin dirugikan berlipat-lipat,” kata Misbakhul.
Menurut Misbakhul, apa yang dilakukan Juliari diperkirakan telah direncanakan sejak awal penentuan vendor. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) akan sulit menemukan penyimpangan karena laporannya pasti bagus sesuai transaksi. Sebab, BPK hanya mengaudit secara administratif.
Kelemahan bansos sembako lainnya, lanjut Misbakhul, proses pengadaannya secara langsung rentan. Vendor yang ditunjuk sering tak kompeten dan mengandalkan suap. Di sisi lain, pejabat pembuat komitmen tak berintegritas karena meminta atau mau diberi fee proyek. Agar hal serupa tak terjadi, diharapkan ada perubahan skema bantuan.
Berisiko tinggi
Hal senada disampaikan Deputi Bidang Pencegahan KPK Pahala Nainggolan. Ia berharap tak ada lagi pemberian bansos sembako. ”Seharusnya (bansos) diberikan secara tunai karena risiko salah terima dan penyelewengan lebih kecil,” kata Pahala.
Bank, tambah Pahala, akan mengecek penerima sehingga meminimalkan salah kirim. Selain itu, pemberian bansos tunai lebih mudah ditelusuri dan diaudit karena ada jejak transaksinya. Pengadaan barang untuk bansos seperti sekarang mudah terjadi pelanggaran. Sebab, pengadaan tak menggunakan tender, ke produsen, dan tak spesifik, seperti mereknya. Hal itu membuat risiko penyelewengan sangat tinggi.
Saat dihubungi, Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendy membenarkan bahwa pemerintah tengah mengkaji perubahan skema bansos sembako menjadi bansos tunai. ”Masih dikaji,” ujar Muhadjir.
Kasus dugaan suap program bansos sembako menjadi pelajaran bagi pemerintah. Saat ini pemerintah pun kembali mengkaji perubahan skema bansos. Sebelumnya, Senin (7/12), Presiden Joko Widodo memimpin rapat terbatas tentang perubahan bansos sembako. Rapat dihadiri juga oleh Wakil Presiden Ma’ruf Amin. Rencana perubahan skema bansos sebenarnya mulai dibahas sejak Juni lalu, tetapi tak segera dilakukan hingga KPK menangkap tiga pejabat Kemensos dan akhirnya Mensos.
Pengajar Ilmu Kebijakan Publik Universitas Airlangga Surabaya, Gitadi Tegas Supramudyo, menilai, mengubah bansos sembako ke tunai bukan solusi terbaik jika tujuannya mencegah korupsi. ”Pemberian bantuan tunai masa lalu juga terjadi pemotongan. Ada dua cara, diberikan penuh, tetapi ada kickback penerima sesuai kesepakatan atau dipotong lewat broker sebagai lembaga jasa yang membantu dan notabene kepanjangan tangan oknum,” tuturnya.
"Kasus dugaan suap program bansos sembako menjadi pelajaran bagi pemerintah"
Karena itu, Gitadi menyarankan penyaluran bansos mempertimbangkan kredibilitas tim penyalur bantuan dan disertai penegakan hukum yang tegas. Pelaksanaannya perlu melibatkan institusi-institusi independen dan kredibel.
Ketua BPK Agung Firman Sampurna menegaskan, BPK telah melakukan audit terkait bansos di Kemensos. ”Laporannya akan disampaikan akhir Januari atau awal Februari 2021,” kata Agung.
Pelaksana Tugas Juru Bicara KPK Ali Fikri mengatakan, dari hasil penggeledahan, ditemukan dan diamankan dokumen-dokumen terkait perkara. Dokumen-dokumen itu akan dianalisis untuk selanjutnya disita.