Ketua KPK Firli Bahuri kembali mengingatkan seluruh kepala daerah agar tidak korupsi. ”Jangan pernah juga berpikir bahwa tidak pernah terungkap korupsinya,” tegasnya.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Setelah menyelidiki kasus dugaan korupsi pengadaan barang dan jasa di Kabupaten Hulu Sungai Utara, Kalimantan Selatan, selama hampir dua bulan, Komisi Pemberantasan Korupsi menetapkan Bupati Hulu Sungai Utara, Abdul Wahid, sebagai tersangka. Dengan terus bertambahnya pimpinan daerah yang terjerat kasus korupsi, KPK kembali mengingatkan seluruh kepala daerah untuk tidak mengkhianati amanat rakyat.
Perkara ini berawal dari operasi tangkap tangan (OTT) oleh tim KPK pada 15 September 2021 di Hulu Sungai Utara (HSU). Saat itu, KPK menetapkan tiga tersangka, yakni Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Kabupaten Hulu Sungai Utara Maliki, Direktur CV Hanamas Marhaini, serta Direktur CV Kalpataru Fachriadi.
Kemudian, pada Kamis (18/11/2021), tim KPK menemukan bukti permulaan yang cukup dan menetapkan satu tersangka lagi, yakni Bupati Hulu Sungai Utara Abdul Wahid.
Abdul disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 dan Pasal 12 B Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat 1 ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) juncto Pasal 64 KUHP juncto Pasal 65 KUHP. Untuk penyidikan, Abdul langsung ditahan selama 20 hari ke depan di rumah tahanan KPK pada Gedung Merah Putih, Jakarta.
Ketua KPK Firli Bahuri, dalam jumpa pers di Gedung KPK, Kamis, mengingatkan, kepala daerah sebagai penyelenggara negara yang telah digaji dari uang rakyat seharusnya dapat menjadi teladan yang baik dengan mewujudkan tata kelola pemerintahan yang bersih, transparan, dan akuntabel di wilayahnya. Bukan sebaliknya, mengingkari amanah jabatannya untuk mendapatkan keuntungan pribadi dan kelompoknya melalui praktik-praktik korupsi.
”Untuk itu, KPK terus mengingatkan seluruh kepala daerah agar jangan pernah melakukan korupsi. Jangan pernah juga berpikir bahwa tidak pernah terungkap kasus korupsinya. Jalankan amanah dan tanggung jawab yang diberikan sebaik-baiknya karena Anda dipilih oleh rakyat. Jangan pernah korupsi dan jangan pernah mengkhianati amanat rakyat,” ujar Firli.
Konstruksi perkara
Kasus ini bermula saat Abdul menunjuk Maliki sebagai Plt Kepala Dinas PUPR Kabupaten Hulu Sungai Utara pada awal 2019. Diduga ada penyerahan sejumlah uang oleh Maliki untuk menduduki jabatan tersebut karena sebelumnya telah ada permintaan oleh Abdul. Abdul menerima uang itu di rumah Maliki pada sekitar Desember 2018 yang diserahkan langsung oleh Maliki melalui ajudan Abdul.
Kemudian sekitar awal tahun 2021, Maliki menemui Abdul di rumah dinas jabatan bupati untuk melaporkan terkait plotting paket pekerjaan lelang pada bidang sumber daya air Dinas PUPR Hulu Sungai Utara tahun 2021. Dalam dokumen laporan paket plotting pekerjaan tersebut, Maliki telah menyusun sedemikian rupa dan menyebutkan nama-nama dari para kontraktor yang akan dimenangkan dan mengerjakan berbagai proyek itu.
Selanjutnya, Abdul menyetujui paket plotting ini dengan syarat adanya pemberian komitmen fee dari nilai proyek dengan persentase pembagian fee, yaitu 10 persen untuk Abdul dan 5 persen untuk Maliki. Adapun, pemberian komitmen fee yang antara lain diduga diterima oleh Abdul melalui Maliki, yaitu dari Marhaini dan Fachriadi, dengan jumlah sekitar Rp 500 juta.
Selain melalui perantaraan Maliki, Abdul diduga menerima komitmen fee dari beberapa proyek lainnya melalui perantaraan beberapa pihak di Dinas PUPR Kabupaten Hulu Sungai Utara. Di antaranya, Rp 4,6 miliar pada tahun 2019, Rp 12 miliar (2020), Rp 1,8 miliar (2021).
Selama penyidikan berlangsung, tim penyidik telah mengamankan sejumlah uang dalam bentuk tunai dengan pecahan mata uang rupiah dan juga mata uang asing yang hingga saat ini masih terus dilakukan penghitungan jumlahnya.
Firli mengingatkan, tindak pidana korupsi pada suatu proyek pembangunan mengakibatkan terdegradasinya kualitas hasil pengadaan barang dan jasa, sekaligus menghambat upaya pemerintah dalam pemulihan ekonomi nasional. Dampak panjangnya, masyarakat sebagai penerima manfaatnya menjadi pihak yang paling dirugikan.
Kasus lain
KPK juga menginformasikan perkembangan kasus lain, yakni kasus korupsi pengadaan barang tanggap darurat bencana pandemi Covid-19 pada Dinas Sosial Kabupaten Bandung Barat, yang salah satunya menyeret bekas Bupati Bandung Barat Aa Umbara Sutisna, serta anaknya, Andri Wibawa.
Pelaksana Tugas Juru Bicara KPK Ipi Maryati Kuding mengatakan, pada Rabu (17/11/2021), tim jaksa KPK melalui kepaniteraan pidana khusus Pengadilan Tipikor Bandung telah menyerahkan memori kasasi untuk Andri Wibawa dan pengusaha M Totoh Gunawan. Selain itu, KPK telah menyerahkan memori banding untuk terdakwa Aa Umbara.
”Terkait memori kasasi dan memori banding dimaksud, KPK berharap majelis hakim, baik di tingkat banding maupun tingkat kasasi, sepenuhnya mengabulkan permintaan tim jaksa sesuai dengan fakta hukum selama persidangan dan memutus sesuai dengan rasa keadilan publik,” tutur Ipi.
Dalam kasus ini, majelis hakim Pengadilan Tipikor Bandung telah memvonis bebas Andri dan Totoh. Mereka dinilai tidak terbukti melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana Pasal 12 huruf i UU Tipikor juncto Pasal 55 Ayat 1 ke-1 KUHP. Adapun Aa Umbara dijatuhi vonis penjara selama 5 tahun.