Pemerintah Obral Pembebasan Bersyarat, 23 Koruptor Dikeluarkan dari Lapas
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia memberikan pembebasan bersyarat kepada 23 narapidana tindak pidana korupsi. UU No 22/2022 tentang Pemasyarakatan menjadi dasar pemberian pembebasan bersyarat tersebut.
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia memberikan pembebasan bersyarat kepada 23 narapidana tindak pidana korupsi. Pemerintah dinilai telah mengobral pembebasan bersyarat bagi para koruptor yang seharusnya tindak pidana ini ditangani secara ekstra karena merupakan kejahatan luar biasa.
Koordinator Humas dan Protokol Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) Rika Aprianti menyampaikan, pada September 2022, sebanyak 1.368 narapidana dari semua kasus tindak pidana di seluruh Indonesia mendapatkan hak bersyarat berupa pembebasan bersyarat, cuti bersyarat, dan cuti menjelang bebas.
”Di antaranya adalah 23 narapidana tipikor (tindak pidana korupsi) yang sudah dikeluarkan pada tanggal 6 September 2022 dari dua lapas (lembaga pemasyarakatan), yaitu Lapas Kelas I Sukamiskin (Jawa Barat) dan Lapas Kelas IIA Tangerang (Banten),” kata Rika melalui keterangan tertulis, Rabu (7/9/2022).
Narapidana tipikor yang telah mendapatkan pembebasan bersyarat dan langsung dikeluarkan dari Lapas Kelas II A Tangerang, yaitu Ratu Atut Choisiyah, Desi Aryani, Pinangki Sirna Malasari, dan Mirawati.
Adapun narapidana tipikor yang mendapatkan pembebasan bersyarat dan dikeluarkan dari Lapas Kelas I Sukamiskin, yaitu Syahrul Raja Sampurnajaya, Setyabudi Tejocahyono, Sugiharto, Andri Tristianto Sutrisna, Budi Susanto, Danis Hatmaji, Patrialis Akbar, Edy Nasution, Irvan Rivano Muchtar, Ojang Sohandi, Tubagus Cepy Septhiady, Zumi Zola Zulkifli, Andi Taufan Tiro, Arif Budiraharja, Supendi, Suryadharma Ali, Tubagus Chaeri Wardana Chasan, Anang Sugiana Sudihardjo, dan Amir Mirza Hutagalung.
Rika mengungkapkan, dasar pemberian pembebasan bersyarat narapidana, yakni Pasal 10 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2022 tentang Pemasyarakatan. Di dalam pasal tersebut disebutkan, narapidana yang telah memenuhi persyaratan tertentu tanpa terkecuali berhak mendapatkan salah satunya pembebasan bersyarat. Persyaratan tertentu tersebut meliputi berkelakuan baik, aktif mengikuti program pembinaan, dan telah menunjukkan penurunan tingkat risiko.
Rika mengungkapkan, dasar pemberian pembebasan bersyarat narapidana, yakni Pasal 10 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2022 tentang Pemasyarakatan.
Selain memenuhi persyaratan tertentu, narapidana yang akan diberikan pembebasan bersyarat juga harus telah menjalani paling singkat dua pertiga masa pidana dengan ketentuan dua pertiga masa pidana tersebut paling sedikit sembilan bulan.
Rika mengatakan, semua narapidana yang telah memenuhi persyaratan administratif dan substantif, dapat diberikan hak bersyarat seperti pembebasan bersyarat. ”Hak ini diberikan tanpa terkecuali dan nondiskriminatif kepada semua narapidana yang telah memenuhi persyaratan,” kata Rika.
Secara terpisah, Kepala Bagian Pemberitaan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Ali Fikri, mengatakan, pembinaan terhadap para pelaku korupsi pascaputusan pengadilan menjadi kewenangan dan kebijakan Kemenkumham. Meskipun demikian, korupsi di Indonesia yang telah diklasifikasikan sebagai extraordinary crime atau kejahatan luar biasa sepatutnya juga ditangani dengan cara-cara yang ekstra. Pelaksanaan pembinaan di lapas merupakan bagian yang tak terpisahkan dari proses penegakkan hukum.
”Kita pahami bahwa penegakan hukum ini juga dimaksudkan untuk memberikan efek jera bagi para pelakunya agar tidak kembali melakukannya pada masa mendatang, sekaligus pembelajaran bagi publik agar tidak melakukan tindak pidana serupa,” kata Ali. Karena itu, dalam rangkaian penegakan hukum sepatutnya tidak ada perlakuan khusus yang justru akan mencederai semangat penegakan hukum tindak pidana korupsi.
KPK melalui kewenangan tugas penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi memiliki kebijakan untuk memberikan efek jera bagi para pelaku korupsi, baik melalui pidana pokok penjara badan maupun pidana tambahan seperti pencabutan hak politik ataupun merampas asetnya untuk memulihkan kerugian negara.
Tercatat hingga Agustus 2022, KPK telah melakukan perampasan aset atau asset recovery sebesar Rp 303,89 miliar. Asset recovery tersebut berasal dari denda, uang pengganti, rampasan, dan penetapan status penggunaan putusan inkrah tindak pidana korupsi.
Ali menegaskan, guna memaksimalkan asset recovery dalam penegakan hukum tindak pidana korupsi, KPK juga terus mendorong pengesahan RUU Perampasan Aset. ”Agar pemberantasan korupsi tidak hanya untuk memberikan efek jera bagi para pelakunya, tetapi juga memberikan sumbangsih penerimaan ke kas negara sebagai salah satu pembiayaan pembangunan nasional,” kata Ali.
Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Zaenur Rohman, mengatakan, pemerintah telah mengobral pembebasan bersyarat. Dengan banyaknya pembebasan bersyarat yang diberikan kepada narapidana koruptor menunjukkan bahwa korupsi tidak dianggap lagi sebagai kejahatan luar biasa. Sebab, seorang terpidana korupsi cukup sebentar menjalani pidana di lapas karena mendapatkan banyak remisi dan pembebasan bersyarat.
Dengan banyaknya pembebasan bersyarat yang diberikan kepada narapidana koruptor menunjukkan bahwa korupsi tidak dianggap lagi sebagai kejahatan luar biasa.
Para koruptor tersebut mudah mendapatkan remisi karena pada 2021, Mahkamah Agung membatalkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan. PP tersebut memberikan batasan pemberian remisi terhadap terpidana korupsi.
Di dalam PP No 99/2012 terdapat dua syarat utama seorang terpidana korupsi mendapatkan remisi. Pertama, menjadi pelaku yang bekerja sama membongkar kasus korupsi yang dilakukan. Kedua, sudah membayar lunas denda dan uang pengganti.
”Dengan dibatalkannya PP No 99/2012, maka semua terpidana korupsi itu berhak mendapatkan remisi. Remisinya juga sangat banyak sehingga sebentar saja menjalani pidana, seorang terpidana korupsi itu sudah bisa mendapatkan pembebasan bersyarat dan kemudian menghirup udara bebas,” kata Zaenur.
Menurut Zaenur, saat ini tidak ada lagi efek jera bagi pelaku korupsi. Seseorang tidak akan takut melakukan korupsi karena cukup sebentar menjalani hukuman pidana di lapas. Korupsi sebagai kejahatan yang bermotif ekonomi, juga tidak mendapatkan pemidanaan yang berorientasi pada penjeraan secara ekonomi atau biasa disebut pemiskinan. Sebab, rancangan undang-undang tentang perampasan aset hasil kejahatan belum disahkan.
Alhasil, masih banyak koruptor yang menyembunyikan harta hasil kekayaannya. Mereka pun menganggap bahwa potensi keuntungan melakukan korupsi lebih tinggi daripada risikonya. Karena itu, menurut Zaenur, pidana badan dianggap masih sangat penting.
Ia menegaskan, jika negara masih serius ingin memberantas korupsi dan menganggapnya sebagai permasalahan yang laten, harus ada efek jera. ”Efek jera bisa dilakukan dengan pemiskinan dan pidana badan. Itu harus tetap seimbang karena korupsi sangat merugikan keuangan negara, menyakiti hati masyarakat, dan merusak sistem,” kata Zaenur.
Menurut Zaenur, pidana badan tidak akan efektif kalau hanya sebentar saja. Karena itu, perlu diatur di dalam UU Pemasyarakatan mengenai syarat untuk mendapatkan remisi, salah satunya dengan mengadopsi pengaturan di dalam PP No 99/2012. Syarat tersebut tidak hanya ditujukan pada kasus korupsi, tetapi untuk semua jenis tindak pidana khusus.