RUU Perampasan Aset Salah Satu Syarat Keanggotaan RI di FATF
Salah satu syarat agar bisa menjadi anggota tetap Kelompok Kerja Aksi Keuangan untuk Pencucian Uang (FATF), Indonesia harus memperbaiki aturan pengembalian aset tindak pidana lewat pengesahan RUU Perampasan Aset.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — DPR berkomitmen mendukung upaya pemerintah menjadi anggota tetap Kelompok Kerja Aksi Keuangan untuk Pencucian Uang (FATF). Salah satu syaratnya adalah Indonesia harus memperbaiki aturan pengembalian aset tindak pidana melalui pengesahan Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset. Untuk membahas RUU itu, DPR menunggu surat presiden dikirimkan.
Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Nasdem, Taufik Basari, saat dihubungi, Jumat (13/4/2023), mengatakan, secara pribadi, pihaknya sangat mendukung upaya pemerintah menjadikan Indonesia sebagai anggota tetap FATF tersebut. Dengan menjadi anggota tetap, artinya pencegahan dan pemberantasan pencucian uang semakin serius. Dia berharap keseriusan Presiden Joko Widodo mencegah dan memberantas TPPU itu juga diikuti jajaran di bawahnya. Sebab, jika RUU itu bisa disahkan akan menjadi warisan atau legacy pemerintahan Jokowi-Ma’ruf Amin dalam hal pencegahan korupsi dan pencucian uang.
”Kami memandang Presiden memang sangat serius untuk segera menyelesaikan ini. Tetapi, sepertinya masih butuh waktu di internal pemerintah untuk menyelesaikannya. Jadi, DPR mendorong dan mendukung pemerintah agar segera menyelesaikan hal ini,” kata Taufik.
Menurut Taufik, penyelesaian penyusunan draf naskah akademik dan RUU Perampasan Aset adalah urusan internal yang bisa diselesaikan di lingkup pemerintah sendiri. Namun, dia heran mengapa penyelesaian penyusunan RUU itu memerlukan desakan di ranah publik. Bahkan, DPR sempat disebut sebagai pihak yang menghambat pengesahan RUU itu. Padahal, nyatanya, surat presiden belum pernah dikirim ke DPR.
”Kami memandang Presiden memang sangat serius untuk segera menyelesaikan ini. Tetapi, sepertinya masih butuh waktu di internal pemerintah untuk menyelesaikannya. Jadi, DPR mendorong dan mendukung pemerintah agar segera menyelesaikan hal ini. ”
”Langkah itu tentu membuat masyarakat semakin bertanya-tanya. Kami menyambut baik ketika akhirnya masyarakat bisa mendapatkan informasi yang benar bahwa RUU itu adalah usulan atau inisiatif dari pemerintah. Ketika kemarin muncul desakan kepada DPR, desakan itu salah alamat,” ucapnya.
Sementara itu, anggota Komisi III DPR dari Fraksi Persatuan Pembangunan (PPP), Arsul Sani, mengungkapkan, posisi DPR menunggu surat presiden dikirimkan dari pemerintah ke parlemen. Jika surat presiden sudah sampai ke parlemen, tentu akan disikapi oleh DPR. Prosesnya adalah surat diterima oleh pimpinan DPR. Setelah itu, pimpinan menyerahkan ke Badan Musyawarah (Bamus). Bamus-lah yang akan menentukan RUU akan dibahas oleh Badan Legislasi DPR (Baleg), Panitia Kerja (Panja) di Komisi III, atau gabungan Komisi melalui Panitia Khusus (Pansus).
”Kami tentu perlu mendengar dari seluruh pemangku kepentingan, termasuk masyarakat sipil. Kalau ada harapan akselerasi di tingkat DPR, itu konteksnya RUU segera dibahas. Tetapi, apakah akan cepat disahkan atau tidak tentu belum bisa disikapi saat ini karena apa isi RUU-nya saja belum kami ketahui. ”
”Kami tentu perlu mendengar dari seluruh pemangku kepentingan, termasuk masyarakat sipil. Kalau ada harapan akselerasi di tingkat DPR, itu konteksnya RUU segera dibahas. Tetapi apakah akan cepat disahkan atau tidak tentu belum bisa disikapi saat ini karena apa isi RUU-nya saja belum kami ketahui,” ungkapnya.
Rapat konsolidasi
Sebelumnya, untuk mempercepat penyerahan surat presiden terkait RUU Perampasan Aset, pemerintah akan menggelar rapat konsolidasi percepatan pemberian persetujuan draf aturan tersebut. Menurut rencana, Jumat (14/4/2023) ini, enam pemimpin instansi yang dimintai persetujuan paraf naskah akademik dan RUU akan dikumpulkan di Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan.
”Untuk mempercepat penyerahan surat presiden terkait RUU Perampasan Aset, pemerintah akan menggelar rapat konsolidasi percepatan pemberian persetujuan draf aturan tersebut. ”
Langkah itu dilakukan untuk mempercepat pemberian persetujuan terhadap draf naskah akademik dan RUU Perampasan Aset. Hingga Rabu (12/4/2023), ada satu pemimpin lembaga yang belum memberi paraf persetujuan, yaitu Kepala Polri Jenderal (Pol) Listyo Sigit Prabowo. Namun, kepada Kompas, Listyo mengatakan akan segera memberikan paraf persetujuan pada Rabu malam. Sebab, dokumen tersebut baru diajukan stafnya pada hari tersebut.
Namun, menurut Arsul, karena pada 14 April-15 Mei 2023 DPR sudah memasuki masa reses, kemungkinan surat presiden itu akan dikirimkan pemerintah pada masa sidang berikutnya.
Pimpinan lima instansi lainnya, yaitu Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD; Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna H Laoly; dan Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Ivan Yustiavandana, sudah memberikan paraf persetujuan. Menteri Keungan Sri Mulyani Indrawati dan Jaksa Agung ST Burhanuddin sudah menyusul memberikan paraf persetujuan pada pekan ini. Namun, mereka juga membubuhkan catatan khusus pada draf RUU Perampasan Aset.
Berdasarkan informasi yang dihimpun Kompas, catatan yang diberikan Menkeu Sri Mulyani tidak terlalu substantif. Adapun catatan yang diberikan oleh Jaksa Agung lumayan substantif. Permasalahan itu diharapkan bisa selesai dalam rapat konsolidasi internal di Kemenko Polhukam, Jumat ini, termasuk dokumen persetujuan paraf dari Kapolri yang pada Kamis siang belum terkonfirmasi diterima oleh pihak pemerintah, juga akan ditanyakan dalam forum tertutup tersebut.
Sebelumnya, Mahfud MD menyampaikan, secara umum RUU Perampasan Aset sudah selesai, tinggal tersisa satu paraf lagi. Karena itu, perlu upaya percepatan agar surpres bisa segera dikirim ke DPR. ”Insya Allah, sesudah Lebaran dikirim surat presiden RUU Perampasan Aset ke DPR,” katanya. (DEA)