Pemerintah akan merekrut 1.030.000 calon ASN pada 2023. Selain guru dan tenaga kesehatan, rekrutmen juga diprioritaskan untuk tenaga berketerampilan teknologi informasi.
Oleh
NINA SUSILO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah tengah mempersiapkan rencana penerimaan lebih dari 1 juta calon aparatur sipil negara atau ASN baru untuk tahun 2023. Sebagian besar, yakni 80 persen kuota, akan dialokasikan untuk formasi pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja atau PPPK. Sementara untuk formasi pegawai negeri sipil ditetapkan hanya 20 persen.
Rencana rekrutmen calon ASN itu dibahas dalam pertemuan tertutup antara Presiden Joko Widodo dan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Azwar Anas di Istana Merdeka, Jakarta, Senin (12/6/2023). Menurut rencana, seleksi akan dimulai pada September 2023.
”Total yang akan kami rekrut pada tahun 2023 sementara sebanyak 1.030.000 orang,” kata Anas seusai pertemuan di Kompleks Istana Kepresidenan Jakarta.
Kuota tersebut ditetapkan berdasarkan usulan dari kementerian/lembaga dan pemerintah daerah. Dari jumlah tersebut, 80 persen dialokasikan untuk PPPK, sedangkan 20 persen untuk posisi PNS (CPNS) khusus untuk lulusan baru. ”Ada komplain dari anak yang baru lulus bahwa mereka juga ingin mengabdi kepada bangsa negara. Oleh karena itu, kami siapkan formasi dan masih akan terus dikaji terkait dengan talenta digital. Sebab, kalau digitalisasi berjalan di daerah, mestinya tenaga teknisi tidak perlu direkrut terus,” tuturnya.
Total yang akan kami rekrut pada tahun 2023 sementara sebanyak 1.030.000 orang.
Anas merinci, untuk instansi pusat, disiapkan formasi untuk 15.858 CPNS dosen, 18.595 CPNS tenaga teknis. Selain itu, 6.742 PPPK dosen, 12.000 PPPK guru, 12.719 PPPK tenaga kesehatan, dan 15.205 PPPK tenaga teknis lainnya.
Adapun di daerah, formasi terdiri atas 580.202 PPPK guru, 327.542 PPPK tenaga kesehatan, dan 35.000 PPPK tenaga teknis lainnya. Sebanyak 6.259 lainnya merupakan alokasi untuk CPNS dari sekolah kedinasan.
Formasi untuk lulusan baru atau fresh graduate diutamakan berkaitan dengan digitalisasi sehingga yang dibutuhkan adalah mereka yang memiliki latar belakang pendidikan teknologi informasi. Pemerintah juga memprioritaskan formasi untuk guru dan tenaga kesehatan. Sementara formasi tenaga teknis diatur hanya untuk menggantikan para pegawai yang pensiun.
Formulasi khusus
Selain rekrutmen calon ASN, pemerintah juga tengah mempersiapkan formulasi khusus bagi pegawai non-ASN yang dahulu disebut sebagai tenaga honorer. Menurut Anas, sebenarnya pemerintah menargetkan rekrutmen calon ASN dari pegawai honorer selesai pada tahun 2022. Karena itulah, pemerintah mempersiapkan formasi guru hingga 700.000 orang.
Namun, kenyataannya hanya 319.000 pegawai honorer yang diusulkan pemerintah daerah. Bahkan dari jumlah tersebut, hanya 250.000-an tenaga honorer yang lolos tes dan diangkat menjadi PPPK.
Serupa dengan guru, kuota yang disiapkan bagi tenaga kesehatan non-ASN juga tak terisi penuh. Hanya sekitar 78 persen tenaga kesehatan honorer yang lulus menjadi PPPK.
Anas menjelaskan, persoalan itu terjadi bukan hanya karena tes seleksi, melainkan juga lantaran pemerintah daerah yang tidak mengirimkan data pegawai non-ASN kepada pemerintah pusat. ”Arahan Presiden tidak boleh ada PHK (pemutusan hubungan kerja) massal, tapi tidak boleh pula ada pembengkakan anggaran. Karena itu, kami sedang merumuskan formulasi khusus sebagai jalan keluar dari persoalan tersebut,” ujarnya.
Pada tahun 2018, pemerintah menerbitkan aturan untuk menghentikan rekrutmen tenaga honorer. Pemerintah juga mengatur pengangkatan tenaga honorer menjadi PNS dalam masa transisi selama lima tahun. Namun, di kahir masa transisi, jumlah tenaga honorer yang dilaporkan justru membengkak, dari awalnya 400.000 orang menjadi 2,4 juta orang. Pemerintah pusat bersama dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), asosiasi pemerintah kabupaten/kota, dan gubernur seluruh Indonesia kemudian mencari jalan tengah.
Saat ini, pemerintah tengah menyiapkan rumusan kebijakan untuk pegawai non-ASN dan ditargetkan rampung sebelum November 2023. Salah satu konsep yang dipertimbangkan adalah PPPK sistem kerja tetap dan PPPK sistem kerja tidak tetap.
Pemerintah juga menyiapkan kebijakan khusus untuk rekrutmen pegawai di Papua. Sebab, sebelumnya, dari 20.000 formasi PPPK untuk persiapan daerah otonom baru, pemerintah daerah hanya mengusulkan sebanyak 8.000 pegawai.
Anas menegaskan, kuota pegawai yang belum terisi untuk Papua ini tidak hilang. Presiden Jokowi, bahkan, telah memutuskan adanya afirmasi agar 80 persen formasi pegawai di Papua diisi oleh warga Papua asli. Sementara kuota untuk warga lainnya 20 persen.
Selain itu, Anas juga menyampaikan tingkat kelulusan PPPK dosen dalam rekrutmen pegawai non-ASN lalu hanya 31 persen. Untuk pranata komputer, dari 10.000 formasi, hanya 3 persen yang lulus tes.
Pemerintah masih mengkaji persoalan yang menyebabkan rendahnya tingkat kelulusan PPPK dosen dan pranata komputer. Apakah karena nilai ambang batas kelulusan atau passing grade terlalu tinggi atau karena kompetensi pegawai yang kurang. Kajian dilakukan karena tidak sedikit pegawai non-ASN yang mengikuti seleksi sudah mengabdi 10 hingga 15 tahun. ”Oleh karena itu, butuh afirmasi dan akan dibuat skenario terkait berbagai kemungkinan,” ucapnya.
Pemetaan akurat
Secara terpisah, pengajar Kebijakan Publik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga Surabaya Gitadi Tegas Supramudyo mengatakan, memprioritaskan tenaga teknologi informasi dalam seleksi calon ASN adalah keniscayaan dan hal biasa. Namun, untuk tenaga kependidikan, Gitadi mengusulkan supaya formasi ditentukan berdasarkan pemetaan yang akurat dan detail.
Sementara terkait tenaga honorer, Gitadi memperkirakan akan terus menjadi persoalan tanpa ujung yang jelas karena tidak ada upaya besar, konseptual, dan ketegasan untuk menyelesaikannya. Pengangkatan sepihak terus terjadi tanpa didasari kebutuhan bidangnya.
”Kebijakan tegas dan terkonsep baik membutuhkan basis data yang kuat, akurat, dan kebijakan yang cerdas. Di era digital sekarang mestinya (hal itu) relatif mudah. Yang perlu adalah strategi menolak intervensi apa pun, terutama politik,” tuturnya.
Untuk itu, Gitadi mengusulkan supaya tenaga honorer ini diuji oleh lembaga independen dan kredibel dengan parameter ketat untuk memilih ASN terbaik. Pemerintah juga bisa memilih opsi pemberhetian dengan kompensasi khusus, terutama bagi pegawai yang sudah lama mengabdi.