Parpol Semestinya Perhatikan Etika Penyelenggaraan Negara
Setiap parpol semestinya memahami etika penyelenggaraan negara yang bebas praktik korupsi. Pelibatan eks koruptor di struktur internal parpol menandakan hilangnya semangat tata kelola pemerintahan yang bersih.
Oleh
HIDAYAT SALAM, YOSEPHA DEBRINA RATIH
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sejumlah eks narapidana korupsi kembali aktif di partai politik dan bahkan ada di antara mereka yang menduduki jabatan tinggi di struktur internal parpol. Kondisi ini mengundang keprihatinan dari kalangan aktivis antikorupsi karena dana parpol bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara serta Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.
Dalam kaitan ini, semestinya parpol memahami pentingnya mengikuti etika penyelenggaraan negara yang bebas dari praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Terhitung sejak awal 2023 setidaknya ada dua eks napi kasus korupsi yang kembali menduduki jabatan di struktural parpol. Ada bekas Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Romahurmuziy atau Romy, terpidana kasus suap untuk pengisian pejabat di Kementerian Agama. Setelah bebas, ia kembali ke PPP dan dipercaya untuk menjabat sebagai Ketua Majelis Pertimbangan PPP pada Januari lalu.
Romy divonis 2 tahun penjara oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta yang kemudian dikurangi menjadi satu tahun penjara oleh Pengadilan Tinggi DKI Jakarta.
Kemudian ada mantan Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum, terpidana kasus korupsi proyek Pusat Pendidikan, Pelatihan, dan Sarana Olahraga di Hambalang, Bogor, Jawa Barat, tahun 2010 yang merugikan negara Rp 464,5 miliar. Ia diajukan menjadi Ketua Umum Partai Kebangkitan Nusantara (PKN). Jabatan sebagai ketua umum parpol itu diberikan kepada Anas di acara Musyawarah Nasional Luar Biasa Partai Kebangkitan Nusantara di Jakarta, Jumat (14/7/2023) malam.
Ketua Badan Pemenangan Pemilu PKN Bona Simanjuntak mengatakan, Anas dipilih secara aklamasi sebagai Ketua Umum PKN. Adapun I Gede Pasek Suardika yang sebelumnya menjabat Ketua Umum PKN kini menjabat sebagai Ketua Majelis Agung PKN.
Sebelumnya, Sekretaris Jenderal PKN Sri Mulyono mengatakan, berbagai pertimbangan telah dilakukan PKN dalam memutuskan Anas menjadi Ketua Umum PKN. Figur Anas yang pernah menjadi ketua umum partai dinilai memiliki ketajaman politik sehingga bisa mengambil kesimpulan dan solusi tepat.
”Kami meyakini Anas Urbaningrum tak pernah korupsi dan putusan PK MA (peninjauan kembali Mahkamah Agung) menyatakan Anas tak terlibat proyek Hambalang dan proyek-proyek yang berkaitan dengan APBN,” ujar Mulyono.
Anas dipilih secara aklamasi sebagai Ketua Umum PKN. (Bona Simanjuntak)
Dalam putusan hakim di pengadilan tingkat pertama, Anas disebut menerima gratifikasi yang sebagian di antaranya digunakan Anas untuk kepentingannya dalam pemilihan ketua umum Partai Demokrat saat kongres di Bandung, Mei 2010. Dalam putusan peninjauan kembali, MA mengurangi hukuman Anas dari 14 tahun penjara jadi 8 tahun penjara. Hak politik Anas menduduki jabatan publik tetap dicabut selama lima tahun.
Beberapa tahun sebelumnya ada Andi Mallarangeng, bekas Menteri Pemuda dan Olahraga, terpidana kasus korupsi Wisma Atlet Hambalang, juga kembali ke Partai Demokrat setelah menjalani masa hukuman 4 tahun dan bebas murni pada 19 Juli 2017. Di Partai Demokrat, Andi menduduki jabatan sebagai Sekretaris Majelis Tinggi Partai Demokrat.
Peneliti Indonesia Corruption Watch, Kurnia Ramadhana, mengingatkan, parpol seharusnya sadar dan memahami dana parpol bersumber dari APBN dan APBD yang dilaksanakan oleh pemerintah pusat dan daerah. Ketentuan itu tercantum pada Pasal 34 Ayat 3 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik.
”Jadi, ada sumbangan dan juga kas negara masuk ke dalam parpol. Semestinya mereka juga mengikuti etika sebagai penyelenggaraan negara dalam hal ini kaitannya harus bebas dari praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme,” kata Kurnia.
Menurut dia, dengan bekas napi kasus korupsi yang turut mendapatkan jabatan atau kedudukan dalam struktur internal parpol menandakan hilangnya semangat untuk mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik dan bersih. Padahal, tugas parpol adalah memberikan pendidikan politik. Namun, upaya penerapan politik berintegritas oleh parpol justru jadi rancu karena masih menerima bekas napi korupsi.
Pengajar Hukum Pemilu di Universitas Indonesia, Titi Anggraini, juga menyampaikan, masa jeda lima tahun setelah menjalani pidana sebagai syarat bagi mantan terpidana korupsi untuk mencalonkan diri dalam kontestasi di pemilu legislatif dan pemilihan kepala daerah semestinya berlaku juga pada kepemimpinan di parpol. Hal ini mengingat parpol sebagai produsen calon wakil rakyat dan pemimpin daerah.
Mengapa ada masa jeda, kata Titi, ini berkaitan sebagai momen evaluasi untuk melihat adaptasi seseorang ketika kembali ke masyarakat. Masa jeda juga diperuntukkan untuk memberikan ruang kepada partai untuk melakukan saringan bagi figur-figur terbaik dari kader partai untuk dipromosikan dalam proses pemilu.
”Mestinya moralitas politik itu dibangun dengan baik dalam pengelolaan partai politik. Ini sebagai bentuk komitmen politik bersih dan juga tanggung jawab parpol kepada publik soal dukungan pada gerakan antikorupsi,” ungkap Titi.
Untuk menghalau politik uang pada Pemilu 2024, Komisi Pemilihan Umum bersama Badan Pengawas Pemilu dan Komisi Pemberantasan Korupsi meluncurkan kampanye ”Hajar Serangan Fajar” di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Jumat. Berdasarkan riset yang dilakukan Deep Indonesia bekerja sama dengan KPK, 72 persen responden bersikap permisif terhadap politik uang.
Para responden yang permisif itu, menurut Deputi Pendidikan dan Peran serta Masyarakat KPK Wawan Wardiana, sebanyak 82 persen di antaranya perempuan. Menurut Wawan, ada sejumlah alasan yang melatarbelakangi mereka menerima uang tersebut. Selain ekonomi, tekanan sosial turut mendorong mereka menerima uang tersebut.
Berdasarkan riset yang dilakukan Deep Indonesia bekerja sama dengan KPK, 72 persen responden bersikap permisif terhadap politik uang.
”Lalu ada tekanan juga dari pihak lain. Mungkin yang membagikan orang-orang tertentu yang harus dihormati sehingga ada rasa ewuh pekewuh (segan),” kata Wawan.
Ketua KPK Firli Bahuri mengatakan, selama 2004 hingga 2022, dari 1.615 tersangka yang ditangani KPK, 178 orang adalah kepala daerah dan 343 orang adalah anggota DPR/DPRD. Oleh karena itu, kata Firli, peran parpol mencegah korupsi sangat penting. Sebab, parpol yang menentukan regulasi dan juga kepala daerah. ”Seluruh produk kita tidak ada yang lepas dari partai politik,” ujarnya.