Usul Tambahkan Klausul ”Kedaruratan” MPR Bukan untuk Tunda Pemilu 2024
Wakil Ketua MPR Hidayat Nur Wahid mengatakan, rapat pimpinan MPR, kemarin, salah satunya membahas rencana amendemen UUD 1945. Amendemen membuat aturan penundaan pemilu di masa darurat.
JAKARTA, KOMPAS — Majelis Permusyawaratan Rakyat kembali mewacanakan amendemen konstitusi untuk membuat dasar penundaan pemilu jika terjadi situasi darurat. Namun, amendemen tersebut dipastikan baru akan dilakukan setelah Pemilu 2024 sehingga MPR tak lagi dicurigai ingin memperpanjang masa jabatan presiden. MPR pun menyadari bahwa klausul ”kedaruratan” tersebut juga mesti diatur secara rigid agar tidak multitafsir.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Wakil Ketua MPR Hidayat Nur Wahid saat dihubungi di Jakarta, Rabu (9/8/2023), mengatakan, rapat pimpinan MPR pada Selasa (8/8/2023) salah satunya membahas rencana mengamendemen UUD 1945. Amendemen dimaksud untuk membuat aturan penundaan pemilu di masa darurat.
Ide memasukkan klausul keadaan memaksa atau force majeure ini tak terlepas dari terjadinya pandemi Covid-19 yang berimbas pada penundaan pemilihan kepala daerah (pilkada) pada 2020. MPR ingin agar terdapat aturan konstitusional yang bisa menoleransi apabila pemilu tidak bisa dilaksanakan setiap lima tahun sekali sebagaimana Pasal 22E Ayat 1.
Baca Juga: Merunut Konsolidasi Amandemen UUD 1945
”Karena itu, pemikirannya, diperlukan ada payung hukum karena kalau hanya dengan UU saja tidak cukup. Kan, UUD 1945 tidak bisa dikalahkan dengan UU. Kalau perppu (peraturan pemerintah pengganti undang-undang) juga kontroversial nanti aspek legalitasnya, Karena itu, memang diperlukan aturan hukum setara dengan aturan tentang pemilu lima tahun sekali yang diatur dalam UUD 1945,” ujar Hidayat.
Karena itu, pemikirannya, diperlukan ada payung hukum. Karena kalau hanya dengan UU saja tidak cukup. Kan, UUD 1945 tidak bisa dikalahkan dengan UU. Kalau perppu (peraturan pemerintah pengganti undang-undang) juga kontroversial nanti aspek legalitasnya, Karena itu, memang diperlukan aturan hukum setara dengan aturan tentang pemilu lima tahun sekali yang diatur dalam UUD 1945.
Meski demikian, lanjut Hidayat, telah disepakati pula oleh MPR bahwasanya amendemen itu tidak dilakukan sebelum Pemilu 2024 atau untuk Pemilu 2024. Pemilu 2024 disepakati tetap berjalan sebagaimana waktu yang telah disepakati antara pemerintah dan DPR, yakni pada 14 Februrari 2024.
”Jadi, secara prinsip, (amandemen) itu untuk mengantisipasi kondisi yang akan datang. Karena kami yakin, Pemilu 2024 akan tetap terselenggara sebagaimana konsitusi dan disepakati oleh DPR dan pemerintah. Tetapi, pengalaman Covid-19 tadi, wajar untuk kemudian dipertimbangkan ke depan, bukan sekarang,” ucap Hidayat.
Jadi, secara prinsip, (amandemen) itu untuk mengantisipasi kondisi yang akan datang. Karena kami yakin, Pemilu 2024 akan tetap terselenggara sebagaimana konsitusi dan disepakati oleh DPR dan pemerintah. Tetapi, pengalaman Covid-19 tadi, wajar untuk kemudian dipertimbangkan ke depan, bukan sekarang.
Amendemen kemungkinan besar bakal dilakukan di tahun pertama atau tahun kedua pada masa jabatan MPR mendatang atau periode 2024-2029. Dengan begitu, proses amaendemen tidak berlangsung di tengah suasana politik yang sedang memanas. Lebih dari itu, para anggota MPR juga bisa berpikir secara lebih jernih, matang, dan tidak ditarik-tarik untuk kepentingan jangka pendek atau kepentingan politk yang bersifat primordial atau menguntungkan satu kelompok.
”Jadi, itu memang memerlukan kondisi politik yang lebih kondusif yang memungkinkan para anggota MPR berpikir secara jeli, jangka panjang, dan bersikap kenegarawanan, serta bukan untuk kepentingan kelompok jangka pendek,” kata Hidayat.
Sejauh ini, rencana amendemen tersebut masih berupa usulan. Usulan tersebut harus memenuhi syarat, seperti diatur dalam Pasal 37 UUD 1945, yaitu diusulkan secara tertulis sekurang-kurangnya 1/3 dari jumlah anggota MPR. Selain itu, usulan juga harus dibahas dalam satu sidang paripurna yang dihadiri sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota MPR.
Kemudian, keputusan untuk mengubah pasal tersebut harus mendapat persetujuan sekurang-kurangnya 50 persen plus satu anggota dari seluruh anggota MPR. ”Jadi, (aturan) itu juga tetap harus dipenuhi. Jadi, tidak serta-merta ada wacana amandemen atau pengusulan, kemudian otomatis bisa terlaksana,” kata Hidayat.
Mencegah multitafsir
Ia pun menegaskan, pentingnya untuk mendefinisikan kondisi darurat yang memungkinkan terjadinya penundaan pemilu. Dengan definisi yang jelas dan terukur, ini akan menutup ruang spekulasi dan multitafsir di publik yang bisa berujung pada politisasi penundaan pemilu.
Hidayat mengaku, pimpinan MPR telah mengonsultasikan rencana tersebut kepada Presiden Joko Widodo pada Rabu (9/8/2023) sore di Istana Kepresidenan, Jakarta. Menurut dia, Presiden mempersilakan kepada MPR untuk membahasnya sesuai konstitusi.
Ketua MPR Bambang Soesatyo saat ditemui seusai pertemuan dengan Presiden juga menegaskan, amendemen konstitusi diperlukan untuk mengantisipasi masa depan. Sebab, disadari bahwa UUD 1945 hasil amendemen keempat tersebut memerlukan penyempurnaan dan penyesuaian dengan tuntutan zaman.
Kalau sekarang, takutnya dicurigai (amendemen) untuk memperpanjang masa jabatan presiden. Untuk apa lagi? Penundaan pemilu dan seterusnya. Jadi, malah, menurut kami, kontraproduktif sehingga kita berkesimpulan, kita bahas nanti pasca-Pemilu.
Senada dengan Hidayat, Bambang mengungkapkan, pembahasan amendemen tidak akan dilakukan pada masa sekarang, melainkan setelah Pemilu 2024. ”Kalau sekarang, takutnya dicurigai (amandemen) untuk memperpanjang masa jabatan presiden. Untuk apa lagi? Penundaan pemilu dan seterusnya. Jadi, malah, menurut kami, kontraproduktif sehingga kita berkesimpulan, kita bahas nanti pasca-Pemilu,” tuturnya.
Wakil Ketua MPR Ahmad Muzani menambahkan, amendemen tidak mungkin dipaksakan pada periode ini. Sebab, semua parpol sudah konsentrasi pada persiapan Pemilu 2024 dan para calon anggota legislatif sudah bersiap di daerah pemilihan masing-masing. ”Sekarang sudah masuk tahun politik. Kalau amendemen UUD 1945 dilakukan di periode ini, rasa-rasanya enggak," ucapnya.
Baca Juga: Amendemen UUD 1945 dan Demokrasi Konstitusional
Sementara itu, Wakil Ketua MPR Arsul Sani sependapat dengan Hidayat bahwa kriteria kedaruratan penting untuk diatur secara rigid. Untuk itu, MPR mencoba menggulirkan wacana amendemen ini sehingga bisa memicu diskursus publik.
”Diskursus sosialnya harus kita bangun mulai dari sekarang supaya kita kalau ada kejadian (situasi darurat) beneran, itu enggak berantem dulu tafsirnya masing-masing,” kata Arsul.