Ketua MPR: Idealnya MPR Dikembalikan Jadi Lembaga Tertinggi Negara
Perubahan kedudukan dan fungsi MPR menyisakan persoalan. Untuk itu, dalam pidato pengantarnya di Sidang Tahunan MPR, Jakarta, Ketua MPR Bambang Soesatyo menyampaikan agar MPR dikembalikan jadi lembaga tertinggi negara.
JAKARTA, KOMPAS — Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Bambang Soesatyo mengusulkan agar MPR dikembalikan sebagai lembaga tertinggi negara. Usulan untuk mengembalikan kedudukan MPR seperti era Orde Baru itu mendapat dukungan dari Dewan Perwakilan Daerah.
Hal itu disampaikan Bambang saat menyampaikan pidato pengantar Sidang Tahunan MPR RI Tahun 2023 di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (16/8/2023). ”Setelah 25 tahun memasuki era Reformasi, saatnya merenungkan kembali penataan lembaga-lembaga negara. Sebab, reformasi 1998 telah melahirkan perubahan undang-undang dasar yang sekian lama dianggap tabu untuk diubah,” ucapnya.
Hadir dalam Sidang Tahunan MPR tersebut, antara lain, Presiden Joko Widodo, Wakil Presiden Ma’ruf Amin, Presiden ke-5 RI Megawati Soekarnoputri, Wakil Presiden ke-6 RI Try Sutrisno, Wakil Presiden ke-9 RI Hamzah Haz, serta Wakil Presiden ke-10 dan ke-12 RI Jusuf Kalla. Selain itu, ada juga Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Puan Maharani, Ketua Dewan Perwakilan Daerah La Nyalla Mattalitti, serta anggota MPR yang terdiri dari DPR dan DPD.
Setelah 25 tahun memasuki era Reformasi, saatnya merenungkan kembali penataan lembaga-lembaga negara.
Turut hadir sejumlah ketua umum parpol, di antaranya Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri, Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto, Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh, Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar, Presiden PKS Ahmad Syaikhu, Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan, Ketua Umum PPP Muhamad Mardiono, serta jajaran Kabinet Indonesia Maju.
Bambang mengatakan, perubahan Undang-Undang Dasar 1945 telah menata ulang kedudukan, fungsi, dan wewenang lembaga-lembaga negara yang sudah ada, sekaligus menciptakan lembaga-lembaga negara yang baru. Penataan ulang tersebut salah satunya terjadi pada kedudukan MPR yang semula merupakan lembaga tertinggi negara menjadi lembaga tinggi negara. Akibatnya, MPR tidak lagi menjadi satu-satunya lembaga yang melaksanakan kedaulatan rakyat sebagaimana diatur oleh UUD 1945.
Menurut Bambang, perubahan kedudukan dan fungsi MPR masih menyisakan persoalan. Salah satunya mengenai penundaan pemilu akibat kejadian di luar dugaan, seperti bencana alam, peperangan, pemberontakan, pandemi, dan keadaan darurat negara. Pemilu menjadi tidak bisa dilaksanakan tepat waktu sehingga terjadi kekosongan presiden dan wakil presiden.
”Dalam keadaan demikian, timbul pertanyaan, siapa yang memiliki kewajiban hukum untuk mengatasi keadaan-keadaan bahaya tersebut? Lembaga manakah yang berwenang menunda pelaksanaan pemilihan umum? Bagaimana pengaturan konstitusionalnya jika pemilihan umum tertunda, sedangkan masa jabatan presiden, wakil presiden, anggota-anggota MPR, DPR, DPD, dan DPRD, serta para menteri anggota kabinet telah habis?” ujar Bambang.
Menurut Bambang, masalah-masalah tersebut belum ada jalan keluar konstitusionalnya setelah perubahan UUD 1945. Sebab, di masa sebelum perubahan UUD 1945, MPR masih dapat menetapkan berbagai ketetapan yang bersifat pengaturan untuk melengkapi kevakuman pengaturan di konstitusi. Namun, setelah amendemen, kewenangan itu tidak lagi dimiliki.
Usulan PPHN
Padahal, lanjut Bambang, sesuai Pasal 1 Ayat (2) UUD 1945 sebelum amendemen, MPR dapat diatribusikan dengan kewenangan subyektif superlatif dan kewajiban hukum untuk mengambil keputusan atau penetapan-penetapan yang bersifat pengaturan. Kewenangan tersebut untuk mengatasi dampak dari suatu keadaan kahar fiskal ataupun kahar politik yang tidak dapat diantisipasi dan tidak bisa dikendalikan secara wajar.
”Idealnya memang MPR RI dikembalikan menjadi lembaga tertinggi negara. (Hal itu) sebagaimana disampaikan Presiden ke-5 Republik Indonesia Ibu Megawati Soekarnoputri saat Hari Jadi Ke-58 Lemhannas tanggal 23 Mei 2023 yang lalu,” katanya.
Di sisi lain, Bambang menilai sudah saatnya memikirkan adanya peta jalan jangka panjang yang jelas untuk menuntun arah bangsa. Sebab, Indonesia membutuhkan perencanaan jangka panjang yang holistik, konsisten, berkelanjutan, dan berkesinambungan. Perencanaan yang menjadi acuan dari suatu periode pemerintahan ke periode pemerintahan berikutnya, termasuk antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah.
Oleh karena itu, ia menilai agar masyarakat perlu mempertimbangkan pentingnya Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN) sebagai produk hukum yang dapat mencegah sekaligus menjadi solusi mengatasi persoalan yang dihadapi oleh negara. ”Pembahasan PPHN seyogianya dapat dilakukan setelah pelaksanaan Pemilihan Umum 2024 sehingga memiliki waktu yang cukup dan legitimasi yang kuat,” ujarnya.
Ketua Dewan Perwakilan Daerah La Nyalla Mattalitti mengatakan, DPD mendukung gagasan untuk mengembalikan MPR sebagai lembaga tertinggi negara. Dukungan tersebut menjadi keputusan Sidang Paripurna DPD pada 14 Juli 2023. Ada lima hal pokok yang menjadi garis besar tawaran proposal kenegaraan untuk penguatan sistem kelembagaan negara.
”Pertama, mengembalikan MPR sebagai lembaga tertinggi negara sebagai sebuah sistem demokrasi yang berkecukupan yang menampung semua elemen bangsa, yang menjadi penjelmaan rakyat sebagai pemilik dan pelaksana kedaulatan,” katanya.
DPD mengusulkan agar membuka peluang adanya anggota DPR yang berasal dari peserta pemilu unsur perseorangan atau non-partisan, selain dari anggota partai politik.
Calon perseorangan
Selanjutnya, DPD mengusulkan agar membuka peluang adanya anggota DPR yang berasal dari peserta pemilu unsur perseorangan atau non-partisan, selain dari anggota partai politik. Langkah ini merupakan bagian dari upaya untuk memastikan bahwa proses pembentukan undang-undang yang dilakukan DPR bersama Presiden tidak didominasi oleh keterwakilan kelompok partai politik saja. Pembahasan undang-undang secara utuh juga seharusnya dibahas oleh keterwakilan masyarakat nonpartai.
Kemudian, utusan daerah dan utusan golongan diisi melalui mekanisme pengisian dari bawah, bukan penunjukan oleh presiden seperti saat Orde Baru. Komposisi utusan daerah mengacu pada kesejarahan wilayah yang berbasis negara-negara lama, sedangkan utusan golongan diisi organisasi masyarakat dan organisasi profesi. Utusan daerah dan utusan golongan tersebut diberikan kewenangan untuk memberikan pendapat terhadap materi rancangan undang-undang yang dibentuk oleh DPR bersama presiden sebagai bagian dari keterlibatan publik yang utuh.
Terakhir, menempatkan secara tepat tugas, peran, dan fungsi lembaga negara yang sudah dibentuk di era reformasi sebagai bagian dari kebutuhan sistem dan struktur ketatanegaraan. ”Dengan demikian, kita sebagai bangsa telah kembali kepada Pancasila secara utuh, sekaligus kita sebagai bangsa akan kembali terajut dalam tekad bersama di dalam semangat ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, musyawarah, dan keadilan sosial,” tutur La Nyalla.